Oleh
Adreaningsih Rustandi
“Berdiri
tegak, dagu terangkat, pandangan mata ke depan dan tersenyum.
Sempurna!” demikian dia bergumam. Bahkan setiap kali, sebelum
hendak membuka sebuah pintu besar sebuah ruangan yang disebutnya
sebagai kelas. Rena, gadis periang yang sempurna itu, kembali
mengatakan kalimatnya di dalam hati. Dan ketika pintu itu terbuka,
semua mata tertuju padanya.
“Hai
Ren… Pagi!”
“Ren,
sini gabung.”
“Kok
baru berangkat? Kita dari tadi nunggu kamu.”
Ya!
Dia memang hebat. Pintar, cantik, kaya, punya banyak teman dan
hal-hal lain yang membuatnya istimewa. Tapi sebenarnya, dia bukan
seperti yang orang lain pikirkan. Bahkan gadis itu membenci apapun
tentang dirinya sendiri.
Rena
hanya tersenyum dan berjalan menuju arah suara-suara itu datang.
“Maaf, bisnya lama.” jawabnya sambil menepuk kedua tangannya di
depan wajahnya, diiringi ekspresi menyesal yang mendalam.
Beberapa
lama kemudian, terdengar suara bel yang menggema di gedung sekolah
itu dan membuat suasana kelas itu mendadak teratur. Seorang pria tua
empat puluh tahun, melangkah masuk dari pintu yang lebarnya hampir
satu meter itu. Pak Roni, adalah guru project. Bukan jenis pelajaran
serumit matematika atau sesulit kimia. Melainkan sesuatu yang sangat
sederhana. Seperti namanya “Project”. Pak Roni selalu memberikan
tugas yang aneh-aneh dan berbeda dari guru-guru lainnya. Seperti
tahun lalu, dia menugaskan murid-muridnya untuk membuat daftar
hari-hari yang berkesan seumur hidup, dan jumlahnya harus lebih dari
seratus! Dia gila… itu pendapat murid-murid tentangnya.
“Rumah
sakit.” Pak Roni mengulang kalimat itu setidaknya sudah tiga kali,
lalu menatap kami yang sudah cukup lama menunggu kalimat yang akan
diucapkannya selanjutnya. Tapi dia tidak mengatakan apapun, hanya
berjalan mengelilingi kami sambil membagikan kertas. Kertas itu ada
dua, satu bewarna putih dan biru. Pada kertas biru terdapat sebuah
kombinasi tiga digit angka yang aneh. Lalu setelah membagikan kertas
itu Pak Roni kembali ke depan kelas dan menjelaskannya dengan santai.
“Buatlah
sebuah daftar, 10 daftar tentang apa yang kalian inginkan selama ini.
Kertas putih milik kalian, dan satunya lagi saya ingin kalian berbagi
dengan seseorang.” Jelasnya, lalu terdengar sebuah pertanyaan di
ujung meja sana.
“Berbagi
dengan siapa?” tanya salah satu siswa di kelas itu
“Seseorang
yang kalian harus temui, di rumah sakit.” jawab pak Roni singkat,
lalu menghela nafasnya dan meneruskan kalimatnya
“Angka
masing-masih kertas kalian berbeda-beda bukan? Itu sebuah nomer
ruangan yang harus kalian datangi” lanjutnya yang makin membuat
seluruh siswanya bingung.
“Untuk
apa kami datang ke sana?” tanya seseorang di seberang meja itu.
“Untuk
bertanya pada mereka tentang apa yang paling mereka inginkan dalam
hidup mereka.” tungkas Pak Roni lalu satu pertanyaan lagi muncul
dari salah satu siswa di meja belakang kelas itu
“ Lalu
apa yang harus kami lakukan?”
“Begini…..”
kata pak Roni
“Tulislah
semua keinginan kalian di kertas putih itu sebanyak sepuluh saja.
Setelah itu datangilah mereka. Lalu tanyakan pada mereka pertanyaan
yang sama.” lalu Pak Roni memberikan satu petunjuk singkat sebelum
keluar dari kelas itu.
“Jangan
mendatangi pemilik kertas biru, sebelum mengisi kertas putih kalian.
Tulis dengan spidol hitam dan tidak boleh ada coretan. Pengumpulannya
sampai akhir bulan ini.” lalu ia mengakhiri kelasnya hari itu.
“Haa!
Seenaknya saja memberi perintah, memang kami ini seperti boneka!
Tugas apa itu! Rumah sakit? Dasar, kurang kerjaan!” gerutu Rena
dalam hati. Baginya definisi sekolah itu adalah arena keunggulan
hidupnya bukan arena perbudakan dirinya. Sekolah… tempat untuk
dapat berdiri tegak, dagu terangkat, pandangan mata ke depan dan
tersenyum penuh
kepalsuan.
Hampir
sepanjang hari, sampai bel terakhir berbunyi. Dan setelah itu… dia
bukanlah seseorang yang dikenal siapapun, bahkan tidak untuk dirinya
sendiri.
Satu
hari itu berjalan dengan sangat cepat, diawali dengan tugas aneh di
kelas project sampai kelas matematika yang benar-benar memulaskan
para siswanya. Cuaca di luar sedang hujan, sepertinya langit sedang
tidak ingin memperlihatkan birunya. Lalu beberapa saat kemudian
terdengar suara bel terakhir yang dua kali lebih panjang dari bel
masuk.
Kringgg~
Kringggg~
Mereka…
siswa yang tadinya tertidur pulas tanpa beban di bagian meja belakang
itu, dengan spontan membuka matanya sambil memastikan suara yang
datang. Dan saat itu juga senyum lebar menghiasi wajah mereka “Sudah
selesai ya? akkhirrnyaaa” terdengar suara itu seberang sana.
Mungkin
bagi seluruh siswa, pulang ke rumah adalah sesuatu yang
ditunggu-tunggu, tapi tidak untuk Rena. Bukankah sekolah itu definisi
untuk arena keunggulan hidupnya? Jadi dapat dipastikan, sesuatu apa
saja yang terjadi setelah sekolah usai, bukanlah sesuatu yang di
kuasainya.
“Ren…
gak
pulang?” tanya seorang temannya dengan pandangan heran yang melihat
Rena masih duduk termenung menatap langit dari kaca jendela kelasnya
“Ya…duluan
aja.” jawab gadis itu singkat sambil mengangkat wajahnya dan
tersenyum.
Kelas
itu sudah kosong beberapa menit yang lalu, tapi Rena masih duduk di
sana. Hanya terdengar suara rintikan air hujan dan suara detik jam
dinding yang beriringan. Gadis itu menghela nafasnya, lalu menarik
kursinya perlahan, berdiri, dan meninggalkan ruangan itu. Bayangan
dirinya semakin jauh dan menghilang.
Langkah
kaki selanjutnya dia sudah mencapai sebuah halte bis yang tidak jauh
dari gerbang sekolahnya. Halte bis itu tidak terlalu ramai, yang
terlihat hanyalah seorang pegawai kantor yang sibuk dengan ponselnya,
ibu rumah tangga dengan semua sayur segar di tas belanjaannya, dan
dia sendiri yang sedang berdiri diantara orang-orang itu. Setiap kali
Rena melihat kearah pegawai kantor tadi rasanya seperti hidup itu
lebih dari sangat membosankan. Bayangkan saja, mengulangi hari yang
agendanya itu-itu saja, dimarah-marahi atasan dan wajah-wajah lesu
tak bertenaga. Lalu tatapannya mulai teralih kepada ibu rumah tangga
yang membawa sayur-sayur segar di tas belanjaannya tadi, yang
terpikirkan pastilah: suatu saat nanti semua orang juga akan seperti
itu, mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga pada umumnya,
dan sepertinya jika itu suatu saat terjadi, pastilah hidup
sudah berakhir.
Masa
muda itu, tidak selamanya dimiliki, dan tidak selamanya ditinggali.
Suatu saat, bunga yang paling harum dan mekar disuatu musim juga akan
layu seiring dengan berjalannya waktu, namun itulah kehidupan. Gadis
itu menyadarinya bahkan jauh sebelum dia tahu akan definisi kehidupan
itu.
Suara
mesin bis yang mendekat membuat dirinya spontan berdiri. Lalu
beberapa detik kemudian, dia sudah mendapati dirinya duduk di kursi
belakang bis itu. Halte pemberhentian selanjutnya masih sekitar lima
belas menit dari tempat itu. Hujan masih belum menyerah rupanya,
setidaknya hanya rintikan kecil, tapi sama saja. Suara dering ponsel
yang bergetar dalam tasnya membuat dirinya tersentak kaget.
“Halo?
…… ya, hmm..” jawabnya singkat lalu menutup ponselnya.
Pandangan matanya masih menatap keluar jendela bis itu, tapi lima
belas menit adalah waktu yang sangat singkat. Beberapa orang menuruni
bis itu bersama dirinya. Setiap orang yang menuruni bis itu membuka
payungnya satu persatu dan ada yang sudah di tunggu oleh
teman-temannya atau keluarganya yang menyodorkan payung untuk orang
yang mereka tunggu. Hanya dia… hanya Rena yang tidak. Sampai pada
halte itu, dia menyusuri jalanan trotoar agar sampai ke rumahnya,
bajunya sudah basah, begitu juga rambutnya. Dia menangis. Walaupun
air matanya tersamarkan oleh hujan, tetap saja dia tidak mungkin
membohongi dirinya sendiri.
“Aku
pulang.” sambil membuka pintu besar sebuah rumah di kompleks
perumahan elite itu. Sepi, ia tampak tidak terkejut. Bahkan jika
suasana rumah itu berbeda itu malah menjadi aneh. Dia menutup pintu
itu, lalu berjalan menaiki anak tangga dan membuka pintu lagi. Kali
ini ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur berukuran besar yang
cukup menawan. Rumah itu bagus, terang, luas, cantik, dan mewah.
Namun bukanlah rumah yang hangat.
Di
atas meja, disamping tempat tidurnya ada sebuah kado yang cukup besar
bersamaan dengan kartu ucapan “Selamat ulang tahun Rena….. dari
Ayah dan Ibu”
“Ha!!
Sejak kapan ulang tahunku menjadi hari ini.?!” serunya sambil
melempar kado itu ke dinding kamarnya. Sebuah buku keluar dari kotak
itu, tapi masa bodoh…. dia tidak peduli sama sekali. Sejenak
kemudian dia teringat tentang tugas kelas projectnya, lalu dengan
sedikit menggerutu dia mengeluarkan semua isi tasnya yang sudah
setengah basah kuyup itu.
“Ini
dia…untung tidak basah.” gumamnya pada diri sendiri.
“Oke….”
dia melanjutkan “Hal yang kuinginkan adalah…..” lalu memulai
dengan menuliskan angka satu pada lembaran kertas putih yang
dibagikan Pak Roni tadi.
“Ingin
…. apa ya?” gumamnya sambil mengetuk-ngetukkan ujung pensil ke
dagunya. Sekilas dia memandangi sekelilingnya. Lalu memantapkan
posisi duduknya dan menuliskan keinginannya…
1.
Aku ingin punya band
2. Aku ingin pergi jauh-jauh
3. Aku ingin bisa terbang
4. Aku ingin punya kebun tulip
5. Aku ingin rumah ini dihancurkan saja
6. Aku ingin menjadi orang lain
7. Aku ingin jadi tokoh utama dalam drama
8. Aku ingin nilaiku selalu bagus walaupun aku tidak belajar
9. Aku ingin agar aku tidak punya masalah apapun
10. …..
2. Aku ingin pergi jauh-jauh
3. Aku ingin bisa terbang
4. Aku ingin punya kebun tulip
5. Aku ingin rumah ini dihancurkan saja
6. Aku ingin menjadi orang lain
7. Aku ingin jadi tokoh utama dalam drama
8. Aku ingin nilaiku selalu bagus walaupun aku tidak belajar
9. Aku ingin agar aku tidak punya masalah apapun
10. …..
Dia
berhenti. Masih ada satu keinginan lagi, tapi dia sudah terlalu malas
untuk melanjutkannya. Dengan langkah tersenggal-senggal dia menuju
tempat tidurnya dan dalam hitungan menit dia sudah tertidur pulas.
Kertas itu dibiarkannya di atas meja sampai pagi hari menjelang.
*
Suara bunyi alarm
itu membuat dirinya terpaksa membuka matanya, tapi hanya untuk
menekan tombol snoze
pada alarm ponselnya.
“Inikan
hari minggu!!!!!” lalu dia kembali menutup tubuhnya dengan selimut
tebal itu. Sesaat kemudian dia teringat tugas projectnya. Rena itu,
lebih suka pekerjaannya lebih cepat selesai, daripada menunda-nunda
tidak jelas. Itu mungkin yang membuatnya selalu lebih unggul dari
teman-teman sekelasnya.
Hari
itu, punya pagi yang cerah. Hari yang baik untuk sekedar pergi ke
café atau jalan-jalan ke taman dekat kompleks perumahannya, atau
mungkin berkunjung ke rumah sakit?
“Hmm
kamar 112…..” bisiknya ketika dia mendapati dirinya sudah berada
di konidor sebuah rumah sakit tidak jauh dari rumahnya.
“110…..111…
ini dia 112.” sambil menunjuk pintu kamar itu. Dia mengetuk dua
kali lalu berjalan masuk ke ruangan itu. Tampak seorang anak
laki-laki seusianya yang sedang duduk di ranjang , sambil membaca
sebuah buku di tangannya.
“Permisi….,.”
serunya ketika membuka pintu itu
“Iya,
silahkan masuk.” jawab anak laki-laki bernama Arya tadi. Namanya
sudah diketik tebal dan ditempelkan di depan pintu masuk ruangan itu.
“Selamat
pagi….saya Rena.” sambil menjulurkan tangannya dan tersenyum.
“Ah
iya aku tahu, kamu siswanya Pak Roni bukan?” jawabnya terus terang.
Aroma
ruangan itu sangat segar, berbeda ketika berada di koridor tadi.
Aroma daun pepermint dan udara pagi, rasanya sejuk dan nyaman. Arya
itu, orang yang hangat dan baik. Dia selalu memberi
kesan yang baik setiap gadis itu memberi satu demi satu pertanyaan.
“Kamu
sakit apa?” tanya Rena penasaran
“Kanker…aku
dalam tahap pemulihan.” jawabnya sambil tersenyum
Deg!
Jantungnya berdebar. Kanker? Kata yang lucu. Selalu terpikirkan
olehnya bahwa kanker adalah definisi lain untuk penyakit yang muncul
di koran-koran pagi. Tapi ketika melihatnya, penyakit itu adalah
sesuatu yang sangat mengganggunya.
“Boleh
aku tanya sesuatu?” Rena kembali bertanya, tapi kali ini tatapan
matanya lebih dalam menatap Arya.
“Tentu,
senang sekali jika aku bisa membantumu” balasnya riang
Gadis
itu masih terdiam, dia terus mengatur nafasnya lalu kembali
memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan.
“Keinginan…..”
dia diam sejenak, “Apa keinginan kamu selama ini?” gadis itu lalu
melanjutkan kalimatnya. Sepi, tiada jawaban, sempat terpikirkan
olehnya bahwa dia menyesal dengan pertanyaan itu, dan juga
untuk keputusannya datang hari ini. Namun dia salah….
“Lebih
menghargai….” jawab Arya setelah itu, “Lebih menghargai apa
yang sudah kumiliki.” Lanjutnya,
“Aku cukup bersyukur masih bisa hidup, lebih bersyukur tentang apa
yang sudah aku miliki, dan aku tidak lagi mengeluh…. mengeluh
tentang sesuatu yang tidak kumiliki, tidak lagi.” lalu tersenyum
menatap Rena
“Hanya
itu?” balas gadis itu
“Aku
juga ingin agar orang lain berpikir sama sepertiku, itu saja.”
jawab laki-laki itu. Suaranya lirih, berbicara dengan caranya
sendiri. Berbicara dari hati ke hati.
Ruangan
Arya, bagi Rena merupakan ruangan yang paling nyaman. Padahal,
tidak seluas kamarnya. Juga, tidak sebagus rumahnya tapi
baginya terasa hangat, sehangat orang Arya . Beberapa menit
sudah berlalu, dia tahu harus meninggalkan ruangan itu cepat atau
lambat.
“Aku…
boleh datang ke sini lagi kan?” kata Rena penuh harap.
“Tentu…..
aku pasti akan senang punya teman.” jawab Arya menghargai.
Sore
hari setelah kunjungan itu, Rena hanya duduk termenung di kamarnya.
Memikirkan semua yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Tentang
menghargai apa yang sudah dimilikinya. Dia mengingat sesuatu, dan
mencari kertas biru yang kemarin disimpannya di laci mejanya.
“Ini
dia” serunya senang. “Hm….” gadis itu berpikir sejenak lalu
menuliskan keinginan Arya di atas kertas itu
- 1. Dia ingin agar bisa lebih menghargai apa yang sudah dia miliki.
- 2. Dia ingin orang lain juga dapat berpendapat sama tentang diri mereka.
- 3. …..
Gadis
itu diam sejenak, lalu kemudian memahami. Dibanding dengan
keinginannya, keinginan Arya lebih sederhana dan tulus. Kemudian
matanya mulai menatap ruangan di sekelilingnya. Dia punya segalanya!
Sesaat kemudian dia melirik kearah kado yang tergeletak di lantai
yang kemarin dibantingnya. Dia mendekati kotak itu yang sudah
terbuka, di sampingnya terdapat sebuah buku yang cukup tebal.
Dibuka-buka
halaman buku itu dan dengan menggerutu gadis itu berkata
“Apa-apaan….kotak
sebesar ini, cuma buat buku?” Timpal gadis itu kemudian. Lalu
tangannya berhenti ketika sebuah judul cerita di halaman dua ratus
tiga puluh delapan. Keluarga
yang Sempurna,
kemudian matanya mulai membaca satu kata pertama, dia tidak bisa
berhenti… lalu membaca cerita selanjutnya, dan seterusnya sampai
dia terlelap. Gadis itu mulai memahami, mengerti dan mulai
menghargai.
*
Ya! Suara itu
lagi….Suara berisik alarm pagi itu. Tapi kali ini berbeda,
setidaknya hari ini terlihat berbeda di mata Rena. Tiba-tiba
sebuah suara datang.
“Rena…ayo
sarapan sama ayah.” seru seorang laki-laki tua berkacamata yang
baru saja masuk kekamarnya. Rena kaget tak percaya.
“Ayah…
sudah pulang? kapan?” tanya gadis itu penasaran
“Tadi
malam, tapi Rena sudah tidur… ayo makan.” seru ayahnya penuh
semangat.
Pagi
itu memang berbeda. Semuanya berbeda, seakan dirinya baru hidup. Meja
makan itu, menampilkan potret keluarga yang sempurna. Benar! Gadis
itu mulai bisa mengubah sudut pandang tentang dirinya, keinginannya,
dan hidupnya.
Sebelum
dirinya mengambil tas ransel untuk berangkat sekolah, dia menuliskan
permintaannya yang kesepuluh, yang sempat ditundanya. Dengan sepenuh
hati dia menuliskan,
10.
Aku ingin, agar aku tidak pernah menuliskan ke sembilan keinginanku.
Sebagai gantinya, aku ingin lebih mensyukuri apa yang telah aku
punya… lebih menghargai setiap detiknya, sebelum itu benar-benar
berakhir.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 6.30. Kakinya sudah sampai pada halaman
gedung sekolah itu, dan menelusuri konidor lantai dua yang langsung
tertuju pada ruang guru.
“Permisi…”
Katanya, sambil mengetuk pintu ruangan itu.
“Ya,
masuk! Ada apa?” Jawab seseorang yang berada dalam ruangan, Pak
Roni.
“Saya
ingin mengumpulkan tugas kelas Pak.” Jawab Rena dengan percaya
diri.
“Oh..
iya sudah selesai? Cepat sekali.” Tanggap Pak Rono, sambil
menerima kertas yang disodorkan Rena. Setelah itu dia
meninggalkan ruangan itu. Pak Roni, terus membaca jawaban yang ada
pada kertas itu, seulas senyum menghiasi wajahnya.
“Seperti
biasa, dia mengabaikan petunjukku… setidaknya hanya untuk keinginan
yang kesepuluh.” gumam Pak Roni saat itu dan tersenyum penuh arti.
Namun bayangan Rena sudah pergi jauh meninggalkan tempat itu, juga
meninggalkan dirinya yang lama. Dan untuk saat ini dan
selanjutnya, akhirnya… Rena bisa berdiri tegak, dagu
terangkat, pandangan mata ke depan, tersenyum dan menghargai dirinya
sendiri: Sudah sempurna!*.
Adreaningsih
Rustandie, Siswi SMKN Teknologi Industri Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar