Oleh Nabila Gita Andani
Aku terlahir sebagai
seseorang yang selalu berusaha mencari eksistensi kebebasan.
Oke,
tepatnya bukan terlahir mungkin, melainkan terbentuk
menjadi.
Sejak kecil, aku dididik dengan cara-cara tradisional ala Zaman
Penjajahan. Indonesia sudah merdeka selama 67 tahun, tapi aku tak
pernah merasakan sejuknya kemerdekaan, indahnya melepaskan diri,
maupun kenikmatan hidup bebas.
Aku
dijajah oleh pikiranku sendiri. Juga oleh pikiran orang lain.
Matahari
baru beranjak dari peraduannya, dan langit seolah menarik awan-awan
ke dalam pelukannya. Aku membuka jendela besar yang ada di dekat
ruang keluarga, lalu menarik napas dalam-dalam, menikmati saripati
bumi yang berfusi dengan udara. Mengingat ini hari libur,
bisa dipastikan akan menjadi hari yang sempurna. Aku mengambil toples
berisi biskuit, lalu duduk di sofa dan menyalakan televisi. Aku
menyaksikan acara kesukaanku, ketika tiba-tiba Mama menghampiriku,
duduk di sebelahku. “Sarah, kamu ngapain
sih,
nonton gituan
melulu. Apa itu, anime
atau apalah. Cari yang bermutu dong, yang bermisi pendidikan,” Mama
mengambil remot televisi yang ada di meja. Mulutku terlalu penuh
dengan biskuit dan aku hanya dapat melambaikan tanganku keras-keras,
yang merupakan: “Jangan diganti channel-nya!
Lagi seru!”
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Channel telah berganti, layar televisi menampilkan seorang presenter dengan dandanan menor, duduk di sofa, di sebelahnya ada seorang anak kecil, dan seorang ibu berkain batik.
Talk
show.
Aku mendengus kesal. “Ssst, dengarkan,” ujar Mama tanpa menoleh
ke arahku. Rupanya dia telah terbius oleh gambar bergerak di layar
televisi itu.
“Wah,
sejak kapan Nana mulai bermain piano?”
“Sejak
umur tiga tahun, Kak.”
“Wah,
Ibu Tukiyem pastinya sungguh gigih dalam membesarkan anaknya.
Pemirsa, di usia tujuh tahun, Nana sudah menjadi asisten dosen untuk
fakultas Seni Musik di salah satu universitas ternama di Inggris!
Wah, bukan main, ya. Nah, pemirsa pasti mau tahu, kan, bagaimana cara
Ibu Tukiyem membesarkan anaknya? Nah, kita langsung tanyakan kepada
Ibu Tukiyem saja, ya!”
“Iya…
Nana itu awalnya belajar secara otodidak. Dulu, Nana suka sekali
bermain pianika, sejak dia melihat pemain piano di televisi. Kami
memang orang tidak punya, jadi kami tidak punya piano. Tapi, berkat
karunia Tuhan, suatu hari ada orang yang melihat keterampilan Nana
dalam memainkan pianika, lalu tertarik untuk menjadikannya murid.”
“Wah!
Hebat sekali, ya. Berarti Nana memang sudah ada bakat sejak kecil!”
“Ma…
ganti, dong. Ini kan liburan,” protesku sambil mengerucutkan bibir.
“Sst!
Dengarkan!” jawab Mama.
“Ma,
kenapa, sih, aku harus ngikutin
mereka terus?! Bakat tiap orang beda-beda, Ma! Mama sendiri kan,
yang bilang jangan terpengaruh sama orang lain?!” seruku cepat.
“Itu
beda, Sarah. Kalau dalam hal kebaikan, kenapa tidak?” jawab Mama
cepat, masih tanpa menoleh ke arahku. “Lihat itu, masih tujuh tahun
sudah jadi asisten dosen! Makanya, kamu belajar yang…”
Aku
tidak tahu apa yang dikatakan Mama selanjutnya. Aku uga tidak
tertarik untuk mengetahuinya. Aku meninggalkan ruang keluarga,
mengembalikan toples kue ke dalam lemari. Mama tidak mau tahu soal
bakatku. Dia mengarahkanku kepada sesuatu yang bahkan tidak begitu
kusukai. Aku tahu, Mama ingin menuntunku menjadi orang yang berguna
bagi masyarakat. Tapi ia tak tahu, bahwa seringkali menjadi
berguna itu menyakitkan. Aku harus berpura-pura menjadi orang lain
dan mengalami krisis jati diri.
*
Aku naik ke lantai
atas, masuk ke kamarku, mengunci diri. Mungkin aku hanya perlu
sedikit pencerahan… karena itu aku merangkak naik ke tempat tidur,
lalu mendekati jendela besar yang langsung menghadap ke halaman
depan. Aku menyibakkan tirai besar berwarna merah jambu pucat ke sisi
kanan, juga ke sisi kiri, sehingga aku bisa melihat dengan leluasa
objek-objek yang ada di halaman depan.
Aku
melihat sosok yang sudah tak asing lagi, sahabat sekaligus
tetanggaku, Reza. Reza. Ia remaja multitalenta, sangat berbakat
dalam musik. Bisa dibilang, Reza adalah yin,
sedangkan aku adalah yang.
Kami sangat berbeda dalam berbagai hal, namun perbedaan itulah yang
menjembatani persahabatan kami. Aku menyeringai, lalu membuka jendela
dengan cepat. “Hooi!! Rezaa!”
Reza
yang sedang asyik memainkan bola basketnya langsung mencari sumber
suara. Lalu mata kami saling beradu. “Ah, rupanya kau. Ganggu orang
saja,” ujarnya santai, lalu kembali memainkan bola basketnya,
men-dribble-nya
ke berbagai arah dengan cepat. Aku berkacak pinggang. “Sombong, ya.
Sebentar, aku turun!” seruku sambil menutup jendela, berlari
ke bawah dengan cepat. “Ma, aku keluar sebentar, ya! Ada Reza!”
seruku ketika berlari melewati ruang keluarga. Mama hanya berdehem,
masih asyik dengan televisinya.
“Hei!”
seru Reza ketika aku membuka pintu depan. Ia berjalan mendekatiku.
“Hari ini kamu kosong?” tanyanya sambil memutar bola basket di
tangannya. Aku memutar bola mataku, pikiranku menerawang ke arah
rencana kegiatanku hari ini.
“Kosong.
Mau ke mana?” Aku balas bertanya.
“Malam
ini akan ada pasar malam di lapangan. Sebaiknya kau minta izin dulu
pada ibumu, mungkin kita akan pulang agak larut,” jelasnya masih
sambil memainkan bola basket.
*
“Baiklah, tapi
jangan lebih dari jam sembilan, ya,” ujar Mama sambil menyelipkan
selembar uang bergambar Soekarno-Hatta ke dalam telapak tanganku.
“Makasih, Ma! Sarah berangkat dulu, ya!” ujarku seraya mencium
tangan Mama, lalu berlari keluar sambil memakai topi.
“Lama!”
seru Reza sambil mengerucutkan bibirnya. Dia sudah berada di depan
rumahku, bertengger di atas sepedanya sambil memainkan bel. Aku
menduduki tempat di belakang sadel sepeda yang didudukinya, seraya
membetulkan letak topiku, “Ayo!” Reza menoleh ke belakang, lalu
menjulurkan lidahnya. Ketika aku baru saja akan membalasnya, dia
sudah terlanjur mengayuh dengan kecepatan tinggi. “Aaahh!!”
Biar
kuberitahu, Reza sangat senang melakukan segala sesuatu dengan
kecepatan tinggi. “Aku suka kecepatan. Karena dengan melaju secepat
mungkin, aku merasa bebas. Rasanya seperti keluar dari perputaran
bumi yang terus berulang,” ujarnya. Kurasa, separah apapun
kemacetan di Jakarta, dia akan tetap mengayuh dengan kecepatan
tinggi. Karena dia selalu punya jalan pintas. “Ah. Macet lagi,”
keluhnya saat kecepatannya terpaksa menurun akibat barisan mobil yang
sangat panjang di hadapan kami.
“Kalau
tidak macet, bukan Jakarta namanya,” komentarku sambil melirik ke
arah mobil di sebelah kami.
“Kita
terlalu diracuni oleh gambaran ibukota idaman, sih,” dengus Reza
sambil naik ke trotoar, lalu berbelok ke sebuah gang tikus. “Coba
semuanya dimulai sedikit-sedikit. Tidak akan seperti ini. Realistis
sedikit, lah,” Reza masih terus berorasi sambil memacu sepedanya.
Aku hanya tertawa.
Reza
selalu berkomentar soal pemerintahan dan politik, bahkan terkadang
terlalu mempermasalahkan bentuk kumis calon presiden. Dia juga suka
mengomentari fasilitas umum yang kondisinya hampir mendekati stadium
empat. Tapi semua itu dilakukannya tulus untuk kemajuan Indonesia.
Ya, dia amat mencintai Indonesia. “Heh, kamu kenapa sih, Sar? Diam
saja,” celetuknya tiba-tiba. Aku langsung buyar dari lamunanku.
“Kenapa? Galau?”
“Hih!
Apaan, sih!” semprotku sambil memukuli punggungnya. Reza tertawa,
dan dia malah menggoyang-goyangkan kemudi dan mengendarai sepeda
dengan ugal-ugalan. “Hei, hei!” seruku sambil tertawa kesal.
“Soal
piano lagi?” tanyanya setelah keadaan sepeda sudah agak lebih
stabil. Aku terdiam, memandangi pepohonan di kanan dan kiri jalan,
seperti terbius oleh kecepatan sepeda yang dikendarai Reza. Aku tidak
memberikan respon apapun. “Piano itu ada untuk dimainkan dengan
hati, Sar.”
Oke,
mungkin sebaiknya aku tidak membicarakan hal yang aku benci dengan
seseorang yang amat menyukai hal tersebut. Tidak akan menyelesaikan
masalah. Pola pikir kami beda. “Masalahnya jiwaku bukan didesain
untuk menjadi seorang pemain piano. Aku juga ingin menentukan masa
depanku sendiri.”
“Memang,
ibumu menyuruhmu jadi apa?”
“Asisten
dosen fakultas Seni Musik.” Di luar dugaan, Reza tertawa
terbahak-bahak. “Reza, ini tidak lucu,” protesku dengan wajah
datar.
“Maaf,
maaf. Gaya bicaramu yang pasrah itu lucu sekali. Kalau memang piano,
oke. Tapi kenapa harus jadi asisten dosen?”
“Semua
anak teman-teman mamaku menjadi asisten dosen. Mama bilang, aku harus
mengikuti mereka, untuk meningkatkan kepercayaan diriku,” ujarku
malas. “Aku ingin menentukan jalan hidupku sendiri, aku ingin
bebas.”
“Banyak
cara untuk membebaskan dirimu,” ujar Reza setelah terdiam agak
lama, masih mengayuh sepedanya. “Coba saja ikuti usul ibumu. Siapa
tahu kebebasanmu ada di dalam menjadi asisten dosen,” lanjutnya
sambil terkikik geli.
“Membayangkannya
saja sudah membuatku ingin muntah.”
Matahari
sore menyusup melalui celah-celah dedaunan. Kicau burung terdengar di
angkasa, semakin lama semakin menjauh. Suara dedaunan kering yang
tergilas ban sepeda berima dengan derak sepeda yang dikayuh. Baik
Reza maupun aku tak mengeluarkan suara, lebih memilih untuk menikmati
harmoni alam.
“Sar,
aku tahu tidak ada standar dalam menentukan pendapat. Tidak ada batas
yang jelas antara pendapat yang benar, maupun yang tidak benar. Tak
ada salahnya kau menentukan jalan hidupmu sendiri, juga mengikuti
saran ibumu. Tapi kurasa kau tak perlu bersusah payah untuk mencari
kebebasan,” ujar Reza tiba-tiba. “Kebebasan itu, ada di sini…”
Tiba-tiba
Reza menghentikan laju sepedanya. Tentu saja itu membuatku kaget
setengah mati. Dia lalu menunjuk dadaku, “Dan di sini.” Jari
telunjuknya berhenti beberapa inci di depan kepalaku, lalu mendorong
kepalaku ke belakang. “Aduh!” ujarku kaget. “Asal kau punya
kemauan untuk bebas, kau akan bebas. Jangan hanya bicara soal
kebebasan saja,” lanjutnya sambil tersenyum mengintimidasi. Aku mau
menonjoknya saja.
“Bahkan,
secara tak sadar, mungkin kau telah menemukan kebebasan itu sendiri.
Tapi kau tak pernah menyadarinya, karena terlalu serius mencarinya
selama ini. Nikmatilah apa yang kau kerjakan! Pikirkanlah realita
sekali-sekali!” ujar Reza sambil turun dari sepedanya. “Tapi,
kalau kau sudah menemukan kebebasan, jangan lupa untuk kembali
membaur dengan perputaran bumi. Jangan sampai terlena,” ujarnya
sambil menoleh ke arahku. “Mulai dari sini, kita jalan saja, ya.”
*
Reza. Bocah itu
telah mengajariku untuk lebih menghargai hidup. Dan aku betul-betul
menemukan kebebasanku malam itu, di pasar malam. Kami makan kembang
gula, memancing ikan plastik, dan menaiki bianglala. Tertawa riang,
melepaskan segala beban yang selama ini bertumpu pada bahu kami. Dan
belajar bahwa kebebasan itu sederhana. Kau hanya perlu keluar dari
rutinitas untuk menemukan kebebasan.
Aku
dan Reza keluar dari area pasar malam dengan kebahagiaan yang
meluap-luap. Kami berjalan menuju tempat parkir, diiringi temaram
sinar bulan. “Bagaimana, sudahkah kau menemukan kebebasan?”
tanyanya jahil, sambil menduduki sadel sepedanya. Aku memamerkan
deretan gigiku sambil mendekap boneka kelinci dengan erat, hanya bisa
tertawa dan mengangguk. Reza menampilkan senyum yang terlihat agak
lelah, tapi kebahagiaan terpancar dari rona wajahnya. “Ayo kita
pulang.”
“Terima
kasih untuk hari ini,” ujarku saat sepedanya berhenti di depan
rumahku. “Aku belajar banyak darimu.” Reza hanya tersenyum. “Aku
juga. Tentang pencarian kebebasan,” ujarnya dengan nada yang
dinaik-turunkan. Aku tertawa, lalu memukulnya main-main. “Ya sudah,
aku pulang dulu, ya!” ujarnya sambil mulai mengayuh sepedanya, lalu
melambaikan tangannya. Aku melambaikan tanganku, lalu masuk ke dalam
rumah.
Aku
melepaskan sandalku, lalu menapakkan kaki di lantai rumah yang
dingin.
Hening.
“Halo?
Mama? Papa?” Aku berjalan perlahan, “Kak Elsa? Kak Tiara?” Aku
meletakkan boneka kelinci di meja. Entah kenapa semua terasa bisu.
Tiba-tiba aku merasakan takut yang amat sangat. Bertumpu pada meja
makan, aku mencengkram bajuku. Rasanya seperti kau akan kehilangan
pegangan, dan terperangkap dalam keheningan untuk selamanya. Ketika
aku melangkahkan kakiku lagi, rasanya seperti ada benda tajam yang
menusuk kakiku.
Pecahan
beling. Di mana-mana, seperti baru terjadi keributan. Aku menutup
mulutku. Apa
yang sebenarnya terjadi?
Tiba-tiba rasa takut itu hadir kembali, seperti kau sedang diikuti
sesuatu. Untuk menoleh ke belakang, rasanya berat. Kau dihadapkan
pada dua pilihan: mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, atau terus
diikuti untuk selamanya.
Aku harus menoleh
ke belakang…
Napasku
tersengal-sengal. Keringat meleleh dan membasahi sekujur tubuhku.
Rasanya aku dilingkupi paranoid. Aku menjejak ke belakang, beberapa
langkah. Yak!
Aku sukses menoleh. Tidak ada apa-apa.
Sepi…
Hening….
Sampai kapan
harus hening?!
Masih
dilingkupi rasa takut, tiba-tiba terdengar suara mesin faksimile.
Akhirnya!
Tidak hening lagi!
Dengan langkah setengah terseret, aku mendekati mesin tersebut, tidak
peduli akan pecahan beling yang menancap di kakiku. Jantungku
berdegup kencang, perlahan sederet tulisan tercetak pada selembar
kertas putih.
Sarah, itukah
kamu?
Sarah, Mama baru
saja berpulang. Tadi keadaannya begitu kritis, asmanya kambuh. Dokter
sudah berusaha memberikan pertolongan pertama, tapi nyawanya tidak
dapat diselamatkan.
Aku
tercekat. Bohong!
Ini pasti bohong!
tangisku tanpa suara. Tadi pagi dia masih menonton talk
show
soal Nana yang menjadi asisten dosen, dan kami masih berdebat soal
piano. Baru saja aku ingin menampilkan senyumku yang terlebar,
menceritakan kebebasanku pada hari ini. Dia masih sangat sehat…
Mama
cemas karena sampai jam sembilan kau belum pulang juga. Dia berusaha
menghubungi handphone-mu,
tapi tak ada jawaban.
Ini
pasti hasil ketikan Kak Elsa. Dengan tangan bergetar, aku meraih
handphone-ku.
23 missed calls.
Tangisku
pecah makin hebat. Bahuku berguncang, tak sanggup membendung air
mataku. Setiap ketikan pada kertas rasanya membawaku lebih dalam ke
bawah jurang tak berujung.
Dia begitu panik,
dia panik memikirkanmu. Sampai akhirnya penyakit asmanya kambuh…
dan berakhir seperti ini. Kau selalu mencari kebebasan, padahal
kaulah yang paling diberi kebebasan oleh Mama. Waktu aku seusiamu,
Mama tak pernah mengizinkanku menonton televisi. Aku juga tidak
diizinkan pergi ke mal bersama teman-teman, apalagi pergi sampai
malam dengan tetangga sebelah.
Mataku
menatap nanar setiap kata yang tercetak pada kertas.
Kau
tidak pernah mensyukuri apa yang telah diberikan kepadamu. Kau egois.
Kau lebih
mementingkan kebebasanmu dibandingkan perasaan orang lain. Kau tak
tahu, apa saja yang sudah Mama lakukan dan berikan kepadamu. Aku
sangsi, kau tak dapat menghitungnya.
Aku
menarik kertas dengan kasar keluar dari mesin faksimile, dan dapat
membaca kalimat terakhir yang tertera dalam tinta hitam yang
tercoret, karena aku tarik sebelum tercetak seutuhnya.
Kebebasan itu ada
batasnya, Sarah.
Aku berteriak histeris, meremas kertas itu lalu melemparnya dengan
kasar. Terlambat. Semua sudah terlambat.
Karena
ada kebebasan, maka tumbuhlah paham diktator. Karena ada liberalisme,
tumbuhlah komunisme. Karena adanya perdagangan bebas, tumbuhlah pasar
gelap. Kebebasan yang overdosis akan membuatmu lupa diri, dan merasa
tidak bebas untuk selama-lamanya. In
freedom, boundary does exist.*.
Nabila
Gita Andani, Siswi SMP Lab School Rawamangun Jakarta Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar