Oleh
Ilham
Prolog
Aku
menulis cerita ini ketika hujan baru saja reda dan pucuk-pucuk cemara
di halaman belakang masih basah. Ada jengah yang menguasai rasa
ketika kalimat pertama kutulis penuh luka. Alangkah indah
sesungguhnya kisah kita, Kekasih. Bukan karena peristiwa-peristiwa
yang menjalinnya melainkan karena engkaulah yang di mataku begitu
indah. Maukah kusingkap tirai sutra yang menyelubung raga hingga kita
berkaca tanpa sebuah pun dusta? Ataukah cukup kuberi makna pada
tiap-tiap kata agar engkau percaya bahwa tak senoktah pun cela
sanggup kusisa.
Begitulah,
selaksa kisah sepenuhnya coba kutuang mendedah pedih tidak terkira.
Pedih yang niscaya karena engkau tidak kuasa menerima cinta yang
mengejawantah. Pula, aku yang tidak pernah menakar rasa sekedar
memberimu ruang yang lapang untuk bicara. Jadilah, sejak beku ini
tercipta, kita seperti tidak tahu arah. Apakah semua yang sudah kita
duga? Apakah yang bisa kita terka? Semua berubah sehitam jelaga
untuk akhirnya pilihan ini demikian duka. Pilihan untuk berpisah
tentu tidak kita sangka-sangka.
Pare-Pare,
awal tahun 2013
Aku
berdiri mematung tidak jauh dari barisan orang-orang yang menunggu di
pelabuhan. Mataku awas menelisik satu per satu penumpang yang turun.
Sejenak khayalku mengembara. Jikalau perempuan yang kutunggu pagi ini
turun melewati tangga kapal, pertama-tama yang kulakukan adalah
tersenyum. Aku akan meyakinkannya bahwa aku memenuhi janji untuk
menjemput segera setelah kapal yang ditumpanginya merapat di dermaga.
Barangkali setelah itu aku akan berlari sambil mengembangkan tangan
untuk memeluknya meski orang-orang di sekitar masih sangat ramai.
Bisa jadi ia akan menunggu pelukanku sambil menikmati sepoi
angin pagi yang masih dingin. Mungkin juga justru ia akan
menyongsongku segera.
Ah,
ia perempuan yang sangat agresif. Ia tentu tidak menunggu untuk
menikmati renjana ini. Ia akan bergerak menemukannya.
Ketika
bayanganku tertuju pada matanya yang kebiruan, aku merasakan ada
semacam keteduhan yang tidak biasa. Teduh yang mencengkeram
tubuhku tiba-tiba. Aku mendengar melodi yang demikian merdu menguasai
kesadaranku. Serunai yang dijanjikannya serasa sudah kugenggam begitu
erat. Berikutnya, nada-nada standar yang berubah begitu syahdu
mengiring bayanganku yang lamur berganti-ganti. Aku tidak menghirau
riuh-rendah di sekitarku. Seperti berdiri di taman penuh bunga,
kakiku menapak melayang-layang.
Sirene
kapal terdengar memekakkan telinga.
Sekitar
seratus meter dari bibir pelabuhan, kapal besar itu berjalan demikian
perlahan. Mataku menyisir dinding kapal bercat putih dengan banyak
sekali bendera warna-warni. Ketika kapal benar-benar telah merapat
dan beberapa orang kelasi telah menurunkan tangga,
keyakinanku semakin membuncah. Wajah itu semburat di antara para
penumpang yang berdesakan. Aku berlari meninggalkan kerumunan yang
dari tadi seperti memenjaraku bertahun-tahun.
“Hai,
engkau membawa serunainya, kan?” Hanya itu yang mampu kuucapkan
ketika panas tubuhnya kurasakan begitu dekat. Sebuah pertanyaan
sederhana, tentu saja. Sejujurnya lidahku kelu dan
kalimat-kalimat yang sudah kusiapkan menyambut kedatangannya hilang
begitu saja.
“Iya,”
katanya dengan gigi gemeretak menahan dingin. “Semalaman aku tidak
bisa tidur.” Ia melanjutkan dengan terbata-bata. Kesempatan
berikutnya ia berusaha beringsut lebih dekat ke arahku. Kakinya
bergerak nyaris tidak terlihat. “Semoga hari-hari kita semakin
menyenangkan.” Ada gempa yang kutemukan pada akhir kalimatnya itu.
Mungkin masih banyak hal yang ingin disampaikannya ketika katup
bibirnya telah kututup dengan telunjukku. “Sudahlah! Ceritanya
nanti saja. Mari kita pulang!” Ia mengikuti langkahku penuh
semangat. Tas besar yang tadi dipangkunya diberikan kepadaku.
Langkah
pertama kami meninggalkan pelabuhan diiringi gerimis. Beberapa titik
air jatuh di pundaknya yang terbuka.
Mengeja
kata-kata
Empat
jam yang melelahkan telah kami lewati mengikuti mata kuliah filsafat
kebahasaan. Setelah kelas bubar, kami berkumpul mengelilingi meja
dosen untuk kembali melanjutkan diskusi. Ia duduk membelakangi
monitor besar yang terpasang menyatu dengan dinding bagian depan
ruangan. Sementara itu, beberapa mahasiswa lain masih
memilih-milih tempat duduk. Aku berdiri agak gelisah diantarai
tiga orang dengannya.
Sejak
tadi
ia menatapku lekat-lekat. Setelah memastikan situasi terkendali, ia
memberi semacam isyarat kepadaku untuk segera memulai. Aku menarik
nafas panjang sekedar mengelabui letih dan segera memberi pengantar
singkat :
“Bahasa
akan sangat berarti jika diberi ruang yang lapang untuk mengembangkan
dirinya sendiri. Kata yang menjadi hidup adalah kata yang dibiarkan
menemukan maknanya sendiri tanpa harus dikungkung dengan pelbagai
aturan atau norma. Sayangnya, aturan dan norma sudah menjadi sesuatu
yang niscaya dalam kehidupan kemanusiaan. Maka, dengan sangat
terpaksa, kata, dalam berbagai konteksnya, mengalami degradasi makna
bukan karena kemauannya sendiri. Kata dimaknai sesuai konteks dan
kepentingan.” Aku membuka pembicaraan persis seperti
kalimat-kalimat yang disampaikan dosen beberapa menit yang lalu.
“Kalau
begitu, kata sejak awal sudah dipenjara untuk mendukung makna
tertentu yang sudah dipasangkan dengannya. Lalu, kita menggunakannya
dengan harapan mewakili apa yang kita rasakan.“
“Ya.
Tapi penjara kata-kata bukanlah penjara yang menyiksa. Penjara
kata-kata adalah wadah di mana kata-kata bisa bermetamorfosis.
Berbiak secara tidak terbatas.“
“Seribu
kali sayang. Makna yang harus diantarkannya membuatnya begitu
berbeban. Kita akan sangat mengerti bagaimanakah beban itu ditanggung
dengan terpaksa. Maka menjadi sangat lumrah ketika kata-kata
sempoyongan memikul beban makna. Beban yang terlampau sarat.“
“Itulah
kata-kata, Bung. Di situlah kelemahannya, di situ pulalah
kelebihannya.”
Aku
masih berdiri sambil terus mengedar pandangan.
“Ya.
Dan kata-kata dalam suratmu membuatku melayang.” Ia menatap
tajam ke arahku. Mahasiswa-mahasiswa yang lain terpancing.
“Artinya,
kekuatannya melampaui apa saja. Apa saja.”
“Saatnyalah
kini engkau membuktikannya.”
“Membuktikan
apa?”
“Semua
yang telah engkau katakan. Semua janji yang engkau ucapkan, sejak aku
di seberang hingga minggu lalu engkau menjemputku di pelabuhan.”
Aku
semakin kikuk. Beberapa kali kucoba mengalihkan perhatian dengan
menggaruk-garuk kepalaku yang sama sekali tidak gatal.
“Aku
tidak menyangka, rupanya kelas dadakan ini akan menjadi pengadilan
bagiku,” begitulah caraku mencairkan suasana agar tatapan-tatapan
itu segera diakhiri. “Nah, kelas bubar. Semua yang ingin
Saudara-Saudara dengarkan sudah saya sampaikan. Kali ini tidak ada
pertanyaan. Saya menganggap kalian mengerti apa yang saya katakan.“
Berhasil.
Aku menguasai keadaan sepenuhnya.
“Maaf,
Pak. Pertanyaan terakhir, apa yang harus saya lakukan? Saya menerima
surat yang membuat saya melayang-layang.” Ia berdiri. Gaya
bicaranya benar-benar telanjang. Aku menelan ludah. Ada sepat yang
membuatku terceguk.
“Ha.
Engkau sungguh ingin menguji kesabaranku! Tapi baiklah. Dengarkan
semuanya! Muni inilah, perempuan yang senantiasa hadir dalam
puisi-puisiku. Ia menjelma menjadi manusia tanpa cela, tepatnya
perempuan yang demikian sempurna ketika puisi-puisiku diterkam
kata-kata. Aku tentu tidak perlu menjelaskan lebih jauh mengapa
aku mencintainya. Cukuplah kusampaikan satu hal, ialah bahwa tanpa
dirinya hari-hariku benar-benar akan lara,“ sampai di sini, aku
berhenti sebentar. Aku benar-benar di atas angin. “ Puas?”. Irama
suaraku ringan tanpa tekanan sama sekali.
“Selamat
datang kembali, Penyair!” Ia tersenyum. Pipinya kemerah-merahan.
“Maafkanlah, Kekasih. Tapi kini aku mengerti bahwa engkau
bersungguh-sungguh.” Ia mendekatiku setelah semuanya pergi.
“Engkau
meragukan kesetiaanku? Sekali aku berjanji segera setelah itu mati.
Sekali aku mencintai, semua hilang, semua tidak berarti. Sekali
layar cintaku kukembangkan, pantang biduk kukayuh surut. Bacalah
kisah-kisah cinta yang melegenda. Mungkin aku bukan salah satu di
antara para pencinta itu. Engkau tahu, cintaku padamu adalah cinta
yang luar biasa.”
“Sayangnya,
ia telah dimakan kata-kata.”
“Bukankah
itu yang ingin engkau dengarkan?”
Pelukanku
berikutnya terasa begitu singkat.
Sejak
awal…
Aku
mengira hidup ini sederhana. Cukup dimulai dengan baik dan
selanjutnya adalah keniscayaan. Sejak semester satu sudah
kuputuskan untuk memupus cita-cita awal untuk kubelokkan ke cita-cita
yang sudah nyata di hadapanku : menjadi dosen. Untungnya, beberapa
orang gurubesar merekomendasikan namaku untuk segera ditahbiskan
menjadi tenaga pengajar di fakultas ini.
Pimpinan
fakultas sejak awal menaruh curiga apalagi hampir semua orang tahu
bahwa salah seorang mahasiswi semester tiga yang nantinya akan
menjadi peserta matakuliahku adalah juga kekasihku.
Muni,
perempuan berbetis lilin bermata kelinci itu menerima kehadiranku
mengisi hari-harinya setelah kuberitahu bahwa aku laki-laki yang
setia. Tidak peduli apa pun aku, apa pun dia, kesetiaanlah yang
kujanjikan. Hingga suatu hari kami terpaksa berpisah beberapa bulan
karena libur perkuliahan. Ia pulang ke Kalimantan. Sejak tangannya
kujabat terakhir kali di pelabuhan, janji itu selalu kuucapkan.
“Jangan bosan!,” kataku mencegahnya menoleh. Kupaksa dia untuk
menatap mataku lebih dalam.
Kapal
yang membawanya pergi pelan-pelan dilindung kabut di kejauhan.
Gugusan awan memenuhi langit. Beberapa ekor camar masih sempat
kulihat terbang rendah. Gerimis mulai turun malu-malu.
Setelah
sunyi menguasai tempatku berdiri, aku melangkah gontai. Di
belakangku, ombak bergulung-gulung semakin tinggi.
Akhirnya
Lupa
Pimpinan
fakultas memanggilku untuk sebuah pemberitahuan yang menggembirakan.
Intinya, senat menyetujui pengangkatanku sebagai dosen meski untuk
itu aku harus bersabar beberapa waktu menjadi asisten.
“Tunjukkan
bahwa engkau memang berhak untuk itu!” Pesan terakhir yang
kudengarkan sebelum meninggalkan ruangan pimpinan membuatku
terpaku.
“Insya
Allah. Terima kasih, Pak.”
Dalam
dua bulan yang sibuk aku harus
melakukan serangkaian penelitian dan mengikuti kegiatan-kegiatan
pimpinan fakultas. Praktis, dua matakuliah terakhir yang
kuprogram hampir saja terbengkalai. Munilah yang
membantuku mengerjakan tugas-tugas dan terutama mengingatkan jadwal
kuliah. Ia sempat berkelakar bahwa aku sudah terjun bebas ke
dunia selebritas yang selalu kehabisan waktu.
Aku
baru sadar bahwa pilihan sulit itu tengah semakin menganga di depanku
ketika ia menelepon suatu hari : “Alangkah luar biasanya orang yang
mampu berdiri di dua sisi ketika kedua-duanya tidak perlu retak.”
Suaranya yang lemah kudengar sangat berbeda. Betapa pun ia tak
pernah mengatakannya, aku yakin ia menyembunyikan tangisnya
dengan susah payah.
Sejak
itu, ia memilih untuk terus menghindar. Tidak pernah kutemukan
lagi senyumnya yang mengembang. Beberapa orang temannya bahkan
memberitahuku bahwa biasanya ia langsung pulang setelah kelas bubar.
Kabar paling tidak kusangka yang kuterima belakangan ia mengundurkan
diri dari kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini
diikutinya dengan bersemangat.
“Aku
merasa ada yang salah dengan hubungan kita,” manikmatanya
berkaca-kaca ketika ia berjalan mengikutiku dengan terpaksa.
“Kita tidak punya alasan yang kuat untuk melanjutkannya. Kemesraan
yang kita jalin adalah keterpaksaan. Kita tidak pernah menyadarinya.
Engkau tidak memilihku.”
Kali
ini bibirnya bergetar hebat. Bola matanya membulat merah. Aku mencoba
menyelami kedalaman kata-katanya hingga menemukan satu kalimat
pendek dan sangat dingin : “Selalu ada jalan, Kekasih.”
“Tapi
ini jalan terakhir yang harus kita lewati. Harus, harus, tiga kali
harus!” katanya penuh emosi. Aku tertunduk, kehilangan
keseimbangan.
“Berpisah
bukan jalan. Ini musibah bagi kita.”
“Kata-katamu
penuh metafora. Aku tidak suka.”
Seketika
ia rebah di dadaku. Nafasnya tersengal. Wangi rambutnya membangkitkan
gairahku.
Pare-Pare,
sebentar lagi malam
Riuh
rendah para pengantar semakin menggemuruh setelah kelasi kapal
menarik jangkar. Aku berdiri mematung di tangga kapal. Telapak kakiku
berpijak begitu dingin. Di atas sana, Muni melambaikan tangan. Ada
senyum di sudut bibirnya yang sempat kulihat terakhir kali. Beberapa
saat aku mencoba memahami perpisahan ini. Otakku tiba-tiba saja
begitu alot. Usaha terakhirku untuk memandangnya menembus dinding
kapal digagalkan para pengantri yang semakin merangsek. Aku mengalah
dengan berusaha bergerak semakin ke belakang.
Kapal
yang membawanya pergi pelan-pelan dilindung kabut.
Gelombang-gelombang kecil mengikutinya hingga benar-benar
hilang seiring malam yang mulai menyungkupi bumi. Aku melangkah
terbata-bata. Sekujur tubuh kurasakan begitu berat. Pada satu titik
tertentu kudapati memoriku berputar kembali. Melodi serunai dan
bayangan dirinya muncul berganti-ganti. Aku seperti masih memegang
erat kedua telapak tangannya. Aku masih mencium sisa wangi rambutnya.
“Jikalau
engkau rindu, cobalah untuk menulis puisi!” Kalimat ini
diucapkannya sambil menyeka pundaknya yang terbuka.
“Tapi
puisi tidak akan membuatmu hadir kembali di sini, Kekasih.”
“Terima
kasih atas semuanya. Aku telah mendengar keputusanmu. Saatnya kini
kita berpisah.” Aku merasakan ia terisak.
“Jangan
ada airmata di pelabuhan ini, Sayang.”
“Oh.
Engkau menyayangiku, rupanya?”
“Ya.
Tapi aku harus memilih.”
“Dan,
engkau telah memutuskan pilihan yang salah.”
“Akulah
yang menentukan pilihanku benar atau tidak!”
Semilir
angin seketika badai.
Lama
baru kusadari bahwa kalimat terakhir ini benar-benar terdengar dengan
nada yang sangat tinggi. Sama sekali tanpa irama, tanpa perasaan.
Epilog
Aku
tahu, meski tidak sepenuhnya, bahwa walaupun hujan telah reda kita
masih punya cerita. Cerita di antara pucuk-pucuk cemara yang masih
basah. Alangkah indah sesungguhnya, kisah kita, Kekasih. Engkau pergi
dan aku menanti. Bukankah ini sebuah janji? Janji yang mungkin
tidak ingin engkau dengarkan lagi. Kesetiaan ini biarlah terus
menanti, sampai pun jika engkau tak mungkin kembali lagi.
Lise,
Agustus 2013
Pukul 22.00 Wita
Ilham,
tinggal di Wanio Sidrap Sulawesi Selatan. Selain menulis cerita
pendek ia juga menulis novel walau belum diterbitkan. Pria yang
pernah studi Sastra Indonesia di Universitas Hasanudin ini, kini
mengajar di MA Perguruan DDI Wanio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar