Oleh
Safuroh Ahmad
“Hei”
suara Nada mengagetkanku dari lamunanku.“hayo lagi ngapain
pagi-pagi udah ngelamun di jendela, nungguin si itu yah?
haha”
Pertanyaannya langsung membuatku memerah layaknya udang direbus.. yah, tapi memang benar apa yang Nada katakan. Saat ini aku berdiri di depan jendela kelas – tepatnya setiap pagi, sebelum pengajian pagi dimulai – hanya untuk melihat Ashfar kembali ke kelas usai membereskan masjid sekolah.
Pertanyaannya langsung membuatku memerah layaknya udang direbus.. yah, tapi memang benar apa yang Nada katakan. Saat ini aku berdiri di depan jendela kelas – tepatnya setiap pagi, sebelum pengajian pagi dimulai – hanya untuk melihat Ashfar kembali ke kelas usai membereskan masjid sekolah.
Siapa
yang tak kenal Ashfar, sang ketua risma yg begitu ramah, sholeh,
menyenangkan dan agamis. Dari mulai guru, staff TU, satpam sekolah,
orang kantin, siswa-siwa, sampai tukang sapu sekolah pun mengenalnya.
Sebenarnya jika dilihat dari fisik, tidak ada yang istimewa darinya,
dia tidak tampan, tidak putih, juga tidak kaya.Namun hampir di setiap
kelas ada wanita yang mengaguminya. Mereka menyukainya bukan karena
fisik, lebih dari itu karena Ashfar sosok yang mempunyai kharisma dan
aura tersendiri, siapa saja yang melihatnya pasti akan jatuh cinta
padanya dengan keteduhan wajahnya.
Setelah
Nada menyambarku dengan pertanyaan tersebut aku langsung duduk di
kursiku tanpa menggubris pertanyaannya, itu membuatnya semakin
antusias menggodaku. Namaku Syifa Nursabila Galen, namun teman-teman
akrab memanggilku Sabil, aku sekarang duduk di kelas XII dan tinggal
di sebuah pondok pesantren salafi di daerah Kaloran – Serang,
Banten. Kami sama-sama duduk di kelas XII Ipa 3, kami sudah cukup
lama berteman. Dari kelas X kami duduk satu meja, itu membuat aku dan
Nada semakin dekat, terlebih lagi kami memiliki banyak kesamaan hoby
dan kebetulan satu komunitas – komunitas film – .yah dialah salah
satu sahabat terbaikku, teman suka dan duka, teman curhat segala
macam masalah, termasuk kekagumanku terhadap Ashfar, pun dia tahu.
Aku
juga tak tahu persis kapan tepatnya aku mencintainya, namun seiring
waktu bejalan, cintaku padanya terus tumbuh hingga berbunga.Walaupun
aku tahu, itu hanyalah khayalanku saja. Rasanya tidak mungkin seekor
rajawali nan gagah jatuh dalam ribahan merpati yang telah patah
sayapnya. Aku dan dia bagaikan langit dan bumi, yang tidak akan
pernah bertemu. Sosok lelaki sholeh idaman para akhwat cantik nan
sholehah, kader dakwah yang siap menyerukan agama-Nya ke seluruh
pelosok dunia. Sedangkan aku, perempuan biasa, ah amat biasa
bahkan.Aku tak sesholehah mereka (akhwat yang mengagumi Ashfar), tak
serajin dluha mereka, apalagi sabanding dengan mereka, sangat
jauh.Namun itu semua tak pernah menyurutkanku untuk selalu menjaga
cintaku padanya.
Seperti
biasa setiap hari minggu pagi, pengajian diisi oleh pemilik pondok
pesantren yang aku tempati, abah.Yah, santri di sini biasa
memanggilnya dengan sebutan abah. Namun tak seperti biasa, pengajian
hanya sampai jam 8, yang biasanya usai jam 12 kini hanya sampai jam
8. Abah pun menyampaikan alasan kenapa pengajian tidak diteruskan,
alasannya yaitu karena katanya ada kerabat beliau yang meninggal
dunia, sehingga abah beserta keluarga harus segera berta’ziyah.
Santri-santri pun langsung menciumi tangan abah (kebiasaan yang
dilakukan santri di pondokku setelah pengajian usai) setelah membaca
doa kafaratul majlis dan bergegas meninggalkan majlis menuju kamarnya
masing-masing.
Aku
dan santriwati lainnya pun segera menuju asrama kami.Sesampainya di
kamar, aku langsung meletakkan kitab dan beristirahat sejenak sebelum
keluar pondok untuk mencari makanan.Setelah kurasa sudah cukup untuk
istirahat aku pun bangkit dan berniat keluar asrama untuk mencari
makanan, namun sebelum aku keluar, Indri, santriwati yang sekamar
denganku mengagetkanku. “teh sabil, handphonenya bunyi. Apa
sebaiknya tidak diangkat terlebih dahulu?!” ujar Indri. Aku pun
langsung berbalik badan dan mengangkat teleponnya, yang ternyata
sahabatku, Nada yang menelepon.
“assalamualaikum bil” terdengar suara Nada di kejauhan sana.
“wa’alaikumsalam, ada apa Da? Tumben banget jam segini udah telpon? Jawabku sambil duduk di tempat tidur.
“hari ini aku ga ada acara, aku boleh main ke pondokmu yah?” suara Nada yang memelas.
“hmm, gimana yah? Boleh deh, hehe” jawabku sambil diiringi oleh cekikikan Nada di sana yang kegirangan.
“oke deh, makasih yooo.. tunggu aku oke”
“oke, yaudah assalamualaikum”
“wa’alaikumsalam.. daaah” klik suara telpon mati.Aku pun tidak jadi keluar karena takut Nada kesini aku tidak ada, karena teman sekamarku sebentar lagi akan muthola’ah (sorogan) di majlis bersama para senior.
“assalamualaikum bil” terdengar suara Nada di kejauhan sana.
“wa’alaikumsalam, ada apa Da? Tumben banget jam segini udah telpon? Jawabku sambil duduk di tempat tidur.
“hari ini aku ga ada acara, aku boleh main ke pondokmu yah?” suara Nada yang memelas.
“hmm, gimana yah? Boleh deh, hehe” jawabku sambil diiringi oleh cekikikan Nada di sana yang kegirangan.
“oke deh, makasih yooo.. tunggu aku oke”
“oke, yaudah assalamualaikum”
“wa’alaikumsalam.. daaah” klik suara telpon mati.Aku pun tidak jadi keluar karena takut Nada kesini aku tidak ada, karena teman sekamarku sebentar lagi akan muthola’ah (sorogan) di majlis bersama para senior.
Tak
lama kemudian Nada pun datang dan langsung memelukku.Aku persilahkan
dia masuk dan kami langsung menghambur di tempat tidur.Kita pun
bercana-canda, cerita-cerita, walaupun sesekali dia mengingatkanku
pada Ashfar lewat banyolannya.Tiba-tiba saja Nada mulai mengubah nada
suaranya menjadi serius, yang membuatku keheranan dengan
tingkahnya.Aku pun langsung menanyakan padannya kenapa dia
begitu.Tanpa basa basi lagi dia langsung memberitahukanku sesuatu
yang membuatku tidak percaya, seakan jantungku berhenti berdetak, aku
langsung kaku, lemas rasanya, pikiranku entah pergi kemana.
Nada
berkali-kali mengagetkanku, namun aku masih tak bereaksi.Untuk
kesekian kalinya dia mengagetkanku yang akhirnya aku sadar. Aku
sungguh tak percaya apa yang diucapkan Nada. Akupun berusaha mencerna
kata demi kata yang diucapkan Nada padaku. Nada mengatakan padaku
bahwa sebenarnya Ashfar juga memiliki rasa yang sama padaku, kabar
ini dia peroleh dari sepupunya yang kebetulan menjadi teman baik
Ashfar. Aku masih tak percaya, namun Nada tetap meyakinkanku sampai
akhirnya aku pun percaya.
Setelah
cerita Nada tempo hari tentang Ashfar, aku semakin malu jika bertemu
dengan Ashfar. Ini membuatku semakin tak konsentrasi, apalagi
sebentar lagi ujian Nasional..namun aku berusaha sekuat tenaga untuk
tetap fokus pada ujianku.
Hari-hari
pun berlalu, hingga ujian pun sudah di depan mata sehingga kami siswa
kelas XII sudah disibukkan dengan berbagai latihan dan tryout,
kegiatan-kegiatan ini yang membuat aku dan Ashfar sering sekali
bertemu, bahkan kami pernah berpapasan langsung, yang membuatku
semakin kelu, yang akhirnya kami pun berlalu tanpa sepatah sapaan.
Yah, walaupun aku dan Ashfar sudah saling mengetahui perasaan
masing-masing, tapi Ashfar tetap diam, dan itu yang membuatku semakin
tetap mempertahankannya. Ujian pun kami jalani dengan lancar dan
Alhamdulillah dengan hasil yang memuaskan, sehingga sampailah kami
pada acara perpisahan yang akan dilaksanakan besok.
Malam
semakin larut, namun aku belum bisa memejamkan mataku seperti insan
di sekelilingku. Bukan karena aku memikirkan perpisahan besok, bukan
juga tentang kemana aku harus melanjutkan studi setelah lulus, juga
bukan tentang kesedihanku akan meninggalkan sekolahku yang tercinta
ini. Tapi aku memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak aku
fikirkan.Aku memikirkan Ashfar, bagaimana kelanjutan hubunganku
dengan Ashfar. Dari tiga tahun yang lalu aku menyimpan perasaan ini
dengan rapat sampai aku lulus dia belum juga berani menyapaku. Lalu
bagaimana jika setelah ini aku tidak bertemu lagi dengannya.Entahlah,
aku pun tertidur dengan sendirinya.
Pagi
ini sekolahku sangat ramai.Bagaimana tidak?Kesempatan perpisahan ini
dimanfaatkan oleh para alumni untuk reunian atau hanya sekedar temu
kangen.Semuanya bahagia, aku pun demikian.Tapi disatu sisi aku tidak
bisa mengekspresikan kebahagiaan atas kelulusanku, karena
bagaimanapun juga Ashfar tetap mengisi pikiranku dari semalam hingga
detik ini.Ku biarkan mata ini menjelajah seisi aula untuk menemukan
seseorang yang sangat aku rindu.Namun tetap saja aku tidak
menemukannya.Hingga akhirnya acara selesai, tapi aku tetap tidak
sempat bertemu dengannya.Sepertinya dia sengaja menghindar dariku.
Aku langsung menuju kamar mandi untuk berganti pakaian dan langsung
menangis di depan cermin yang sedari tadi aku tahan. Aku sedih,
sangat sedih.Hingga di acara terakhir pun aku tidak bisa bertemu
dengannya.Aku pun berniat untuk langsung pulang setelah berganti
baju.
Selesai
ganti baju aku bergegas pulang, hingga di depan pos satpam aku
dikagetkan oleh suara ikhwan yang aku kenal baik. Dhika
memanggilku.Aku pun menoleh. Setelah ku jawab salam darinya akupun
langsung menanyakan kenapa dia memanggilku. Dia pun mengatakan bahwa
ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Belum sempat Dhika selesai
mengucapkannya, seseorang sudah keluar dari pos satpam dengan
menyelipkan untaian senyuman yang membuatku melayang. Tepat sekali.
Ashfarlah yang keluar.
“assalamu’alaikum ukh” suaranya yang tiba-tiba membuatku hampir kehilangan kata-kata.
“wa.. wa’alaikumsalam” jawabku yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.
“afwan, ini nomor ponsel antum?” tanyanya sambil menunjukkan nomor ponsel yang ada di atas kertas.
“na’am itu nomor ana” jawabku. “bolehkah aku menyimpannya?” pintanya dengan nada yang lembut.. aku pun mengiyakannya. Dan setelah itu berakhirlah percakapan kami. Dia memohon diri untuk pulang duluan begitupun aku yang segera pulang dengan hati yang berbunga-bunga..selama aku mengenalnya, tak pernah sekalipun aku bersua dengannya, dan hari ini, Oh My Allah..
“assalamu’alaikum ukh” suaranya yang tiba-tiba membuatku hampir kehilangan kata-kata.
“wa.. wa’alaikumsalam” jawabku yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.
“afwan, ini nomor ponsel antum?” tanyanya sambil menunjukkan nomor ponsel yang ada di atas kertas.
“na’am itu nomor ana” jawabku. “bolehkah aku menyimpannya?” pintanya dengan nada yang lembut.. aku pun mengiyakannya. Dan setelah itu berakhirlah percakapan kami. Dia memohon diri untuk pulang duluan begitupun aku yang segera pulang dengan hati yang berbunga-bunga..selama aku mengenalnya, tak pernah sekalipun aku bersua dengannya, dan hari ini, Oh My Allah..
Hari
demi hari, minggupun berganti minggu, namun belum juga dia
menghubungiku.Aku hampir gila menunggu kabar darinya. Karena setelah
lulus aku tidak pernah lagi bertemu dengannya dan aku pun tak berani
untuk menanyakan kabarnya pada sahabatnya. Di satu sisi aku sedikit
bahagia dengan kabar yang aku peroleh, bahwa aku sudah diterima di
salah satu perguruan tinggi negeri Islam di Bandung.Namun itu pun
sekaligus membuatku tersenyum kecut, karena harapanku padanya semakin
lenyap.Beberapa minggu lagi aku harus meninggalkan tanah lahirku ini,
Banten, untuk tholabul ‘ilmi di tanah tetangga.Aku semakin tak
menentu, aku belum mendengar kabar darinya.Jangankan tahu dia kuliah
dimana, keberadaanya saja aku tak tahu.
Besok
siang aku berangkat ke Bandung, namun kabar darinya belum juga sampai
di telingaku. Aku pun sudah pasrah, menyerahkan seluruhnya pada sang
Maha Cinta yang tiada pernah terputus cinta-Nya. Setelah semua
keperluan dan pakaianku sudah tersimpan di koper yang besok akan
kubawa. Aku langsung merebahkan tubuhku di tempat yang mungil namun
cukup nyaman bagiku. Baru saja aku akan memejamkan mata tiba-tiba
ponselku berdering, langsung aku ambil dan ternyata ada pesan yang
cukup panjang dari nomor yang tidak kukenal, kurang lebih seperti ini
bunyi pesannya;
“assalamu’alaikum. Semoga Allah tetap melindungi kita dalam lindungan-Nya aamiin.Ukh, ini ana Ashfar. ‘afwan ana baru menghubungi antum sekarang. Bagaimana kabar antum?Ana harap kabar antum baik, ana disini Alhamdulillah baik-baik saja.Selamat, ana dengar antum sudah diterima di PTN yang antum mau, semoga semuanya dimudahkan. Syukron atas doa-doanya, Alhamdulillah ana diterima di universitas Al-Azhar Cairo – Mesir, dua bulan kedepan ana berangkat dan besok insyaAllah tasyakurannya dengan teman-teman sebelum mereka berangkat ke kota PTNnya masing-masing. Ana sangat berharap kedatangan antum besok di kediaman ana jam 10..jazakallahu khoiron katsiron”.Degg..lagi-lagi perasaanku tak menentu. Aku berulang-ulang membaca pesan itu, tetap saja isinya sama. Aku bangga padanya, namun aku tak bisa menolak kenyataan bahwa dengan demikian kami semakin jauh, apalagi di negri orang, benua yang berbeda.Aku pun langsung menemui ibuku untuk menunjukkan pesan itu pada beliau, aku ceritakan semua isi hatiku terhadap Ashfar pada ibu. setelah ibu membacanya, kemudian ibu memegang wajahku dan mengusap butiran bening di sudut mataku yang sedari tadi turun, dan mengatakan bahwa aku tidak diizinkan untuk menghadirinya karena aku harus tetap berangkat ke Bandung, dengan tersenyum dan tetap tenang ibu berkata “Allah tidak tidur, apa yang ada di hatimu pun Dia tahu. Jika memang dia terbaik untukmu tentu saja Allah akan mendekatkan kalian, di manapun kalian berada dan sebaliknya sedekat apapun kalian jika Allah tidak menghendakinya maka akan terpisah begitu saja. Yakinlah jodoh tak akan kemana, jodoh tak akan salah alamat”.Ibu menyelesaikan nasehatnya dengan memelukku.
“assalamu’alaikum. Semoga Allah tetap melindungi kita dalam lindungan-Nya aamiin.Ukh, ini ana Ashfar. ‘afwan ana baru menghubungi antum sekarang. Bagaimana kabar antum?Ana harap kabar antum baik, ana disini Alhamdulillah baik-baik saja.Selamat, ana dengar antum sudah diterima di PTN yang antum mau, semoga semuanya dimudahkan. Syukron atas doa-doanya, Alhamdulillah ana diterima di universitas Al-Azhar Cairo – Mesir, dua bulan kedepan ana berangkat dan besok insyaAllah tasyakurannya dengan teman-teman sebelum mereka berangkat ke kota PTNnya masing-masing. Ana sangat berharap kedatangan antum besok di kediaman ana jam 10..jazakallahu khoiron katsiron”.Degg..lagi-lagi perasaanku tak menentu. Aku berulang-ulang membaca pesan itu, tetap saja isinya sama. Aku bangga padanya, namun aku tak bisa menolak kenyataan bahwa dengan demikian kami semakin jauh, apalagi di negri orang, benua yang berbeda.Aku pun langsung menemui ibuku untuk menunjukkan pesan itu pada beliau, aku ceritakan semua isi hatiku terhadap Ashfar pada ibu. setelah ibu membacanya, kemudian ibu memegang wajahku dan mengusap butiran bening di sudut mataku yang sedari tadi turun, dan mengatakan bahwa aku tidak diizinkan untuk menghadirinya karena aku harus tetap berangkat ke Bandung, dengan tersenyum dan tetap tenang ibu berkata “Allah tidak tidur, apa yang ada di hatimu pun Dia tahu. Jika memang dia terbaik untukmu tentu saja Allah akan mendekatkan kalian, di manapun kalian berada dan sebaliknya sedekat apapun kalian jika Allah tidak menghendakinya maka akan terpisah begitu saja. Yakinlah jodoh tak akan kemana, jodoh tak akan salah alamat”.Ibu menyelesaikan nasehatnya dengan memelukku.
Ibu
mengantarku ke tempat tidur.Setelah ibu keluar, aku langsung membalas
pesannya, aku katakan permohonan maafku padanya bahwa aku tidak bisa
menghadiri tasyakurannya karena tidak diizinkan karna keberangkatanku
ke Bandung tidak bisa ditunda.Beberapa menit kemudian aku mendapat
balasan pesan darinya.
“Alhamdulillah
antum baik-baik saja.Laa ba’sa ukhti tidak datang, asalkan ukhti
berkenan untuk mendoakan ana agar dilancarkan. Memang benar apa yang
dikatakan ibu ukhti, tidak harus dipaksakan. Namun ukhti harus tetap
percaya, selama kita masih memandang langit yang sama perasaan ana
akan tetap seperti semula, dan kita tetap masih di bumi Allah, kita
tidak pernah jauh. Semoga Allah mempertemukan kita dalam kesempatan
yang di ridloi-Nya.Tunggu ana kembali, tunggu ana menjemput antum
menjadi “huurun” ana”.Air mataku pun terus mengalir membaca
pesan itu. Yah memang benar, kita masih memandang langit yang sama.
Tepat
pukul 10 siang aku berangkat ke Bandung.Selama aku di sini, aku tetap
istiqomah untuk menjaga hatiku hanya untuk Ashfar. Sekarang aku sudah
dua tahun disini dan selama itu aku tetap menjaga hatiku untuknya
walaupun sejak saat itu tak ada lagi kabar, bahkan nomor ponselnya
pun sudah tidak aktif lagi, namun aku tetap percaya dan menyerahkan
semuanya kepada Allah yang walaupun aku tak tahu kapan aku bisa
dipertemukan kembali dengan cinta dalam diamku.. selama kita masih
memandang langit yang sama.. *
Safuroh
Ahmad merupakan salah seorang mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati
Bandung (prodi Manajemen Dakwah 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar