Oleh
Budi Saputra
Sebuah
pagi, sebuah hari dengan udara dingin yang terasa lembab dalam
diriku. Jatuhan tetes gerimis selepas subuh, mengingatkanku tentang
timbunan musim hujan masa lalu. Tentang musim dimana burung-burung
kedinginan di balik jendela. Begitu murung, begitu bergegas segalanya
tentang yang kau sebut hidup. Dengan mengenakan jaket dingin yang
lusuh, aku kembali menyusuri jalanan ini. Betapa kulalui dengan
tabah, dengan jalan usia yang entah kapan berakhir atau remuk.
Rumah-rumah penduduk, daun-daun yang berguguran karena diterpa badai,
dan langkahku yang tergesa di jalan licin ini. Kulewati sebuah
rumah kayu dengan warna cat kecoklatan itu. Rumah yang begitu murung.
Wajah itu, suara itu, betapa pedih hidup mengalir. Mengalir bagai
sungai dengan segala isinya, yang kemudian berakhir di
sebuah muara.
Menjelang
langkahku sampai di stasiun, wajah itulah senantiasa terpana
menatapku. Di tengah gerimis mengalir deras, samar-samar wajah
Buk Rinah tampak duduk terpaku di teras itu. Aku kadang
tak kuasa menahan air mata hingga aku duduk terpaku atau terpaksa
berdiri di sebuah gerbong yang padat. Kuingat wajah ibu di rumah, ibu
yang semakin tua di dapur. Menyambung hidup membuat penganan
kecil-kecilan, dan dibawanya di sebuah sekolah dasar tempat
Naila menimba ilmu.
“Ibu telah lama kehingan bapak. Ibu tak punya apa-apa selain rumah yang kian reot ini, gerobak, dan seorang anak perempuan yang sepantaran dengan adikmu.” Begitulah Buk Rinah mengatakan padaku suatu ketika. Melihat keadaannya seperti itu, berjuang sendirian mendorong gerobak untuk memulung hingga petang hari, dan memberikan sedikit hasil jerih payah pada seorang anak yang lumpuh, lalu apa bedanya dengan keadaan ibu sendiri? Tak jauh beda, Wis. Tak jauh beda. Betapa beban itu aku pikul. Menatap derasnya hidup dari balik celah jendela. Menatap derasnya aliran sungai di dalam pagiku yang bergegas dari kamarku yang remang dan buram. Melewati dingin pagi menuju stasiun kota, tentu aku tak ingin terlambat. Ditinggal kereta dengan menyisakan perasanan ngilu, bingung, dan merasa amat bersalah dalam diriku.
Aku
tentu masih ingat, menjelang akhir semester dua kelas satu SMA,
ibu tak punya lagi biaya untuk kelanjutan sekolahku. Walau saat itu
aku ingin melanjutkan sekolah seperti teman-teman kebanyakan. Kutatap
wajah ibu yang tersandar setelah letih bekerja seharian.
“Dikar, maafkan ibu. Ibu tak punya biaya yang cukup untuk
melanjutkan sekolahmu. Lihatlah adikmu, juga terlunta-lunta dan harus
meminjam uang untuk biaya sekolahnya.” Mendengar itu aku pun
hanya bisa pasrah. Air mata meleleh di pipiku yang baru sembuh dari
luka gores akibat berkelahi dengan salah seorang di sekolah. Tak lagi
kuraih penganan yang sebelumnya kumakan. Tak seperti kau, Wis. Kau
beruntung masih bisa melanjutkan sekolah mengikuti kakak-kakakmu.
Sambil menyeka air mata, aku hanya bisa terpana melihat wajah ibu dan
sesekali kulayangkan pandanganku ke arah foto ayah di dinding. Ada
kesedihan yang memanjang dalam diriku. Seperti ingin
meraung, tapi tak sanggup.
“Aku
mungkin akan mencari kerja, Bu.” Itulah kata terakhir aku ucapkan.
Menangis sendiri di kamar, telah mengurasku untuk memikirkan masa
depan. Pikiranku berlari. Kubayangkan wajah ayah, wajah kakak yang
dulu senantiasa mencurahkan segenap keluh kesahnya padaku.
*
Ada
pedih yang begitu dalam menusuk hatiku. Kau tahu, Wis. Ayah berlalu
begitu saja dan membuat ibu harus menanggung segala beban hidup
yang berat ini. Berlalu seperti kereta yang berlari di pagi
buta, dan disaksikan bocah-bocah tak berdaya di tepian relnya.
Dulu, ayah begitu perhatian pada kami. Tiap pulang kerja, ada saja
yang dibawa ayah untuk kami nikmati. Namun, perhatian itu perlahan
berkurang. Kehangatan yang biasanya aku rasakan saat ayah rutin
mengantarkan aku ke sekolah, seketika hilang saat aku mendengar kabar
itu dari ibu. Saat itu adalah menjelang kenaikan kelas dua SMP.
Pada
awalnya, aku tak mengerti mengapa ibu menangis sambil memeluk Naila.
Aku baru saja pulang sekolah. “Kenapa menangis, Bu?” Mendengar
itu ibu hanya diam. Dalam diam itu, aku pun ikut menangis. “Tak ada
lagi ayah, tak ada, Nak.” Kemudian ibu menguraikan semuanya padaku
sambil menunjukkan kesedihan mendalam. Pertengkaran yang sering
aku saksikan ternyata telah membuat ayah
meninggalkan kami.
“Belum
lama kakakmu pergi, Nak. Dan sekarang, ayah memilih pergi dari rumah
ini.” Begitulah kenyataan yang harus kuterima,Wis. Kau bisa
bayangkan, semasa di sekolah aku lebih banyak bungkam di depan
teman-teman. Setiap ada yang bertanya dimana dan siapa ayah, maka
itulah pertanyaan yang amat menggangguku. Kadang aku pun menangis
sendirian di taman. Melihat teman-teman diantar ayah mereka, hidup
berkecukupan, dan belajar dengan penuh semangat. Walaupun begitu,
kadang bila bertemu di jalan, maka ayah selalu memberikan tambahan
belanja padaku. Setelah itu, ayah pergi dan tak ada bicara banyak
selain pesan untuk rajin belajar dan menjaga Naila.
Aku
pun tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Aku mulai bisa menerima
keadaan, walaupun awalnya sulit untuk lepas dari perasaan yang kerap
membuatku ingin putus sekolah, dan memilih mengamen di perempatan.
Kau tahu, Wis. Kekuatanku untuk terus bertahan. Bahwa Kak Rin yang
pernah ajarkan padaku untuk semangat dalam hidup. Sebelum ia pergi
untuk selamanya, banyak kisah yang pernah aku lalui dengannya. Tiap
ada tugas dari guru, kak Rin-lah yang biasanya membantu. Ia begitu
cerdas di mataku. Lihatlah, tugas-tugas rumah dan sekolah ia
lakukan dengan cekatan dan hati yang riang. Walaupun hidup
kekurangan, ia tak pernah mengeluh. Suatu hal yang menonjol darinya
tentu kebiasaan membaca dan menulis, serta selalu masuk
rangking sepuluh besar.
“Ini
apa yang Kakak tulis?” Tanyaku suatu ketika.
“Itu
cerpen,” jawabnya sambil tersenyum. Begitu mengalirnya. Setelah aku
berlari melewati lorong hidup ini, semakin aku menyadari
seorang kakak yang banyak memberikan pengalaman berharga padaku.
Tentang tulisan-tulisan yang kerap ditulisnya dan dikirim melalui pos
untuk diterbitkan di koran, dan buku-buku bekas yang sering
dibelinya di pasar loak, inilah yang membuatku begitu sedih
membayangkan kematiannya. Maka, apabila ada yang bertanya tentang
kematian Kak Rin, aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku lebih memilih
bungkam dan sedih jika ada yang mengungkitnya. Termasuk juga saat kau
tanyakan dulu, Wis. Berbagai media massa meliput kejadian memilukan
itu. Malah, secarik potongan koran yang memuat beritanya masih
aku simpan, walau aku tak lagi membacanya dan bahkan berniat untuk
membakarnya.
Ya,
kematian Kak Rin yang ditemukan penuh luka dengan pakaian yang
berantakan di tepi sungai itu, memang tak pernah terungkap. Aku dan
ibu telah merelakan kepergian Kak Rin. Hanya yang ibu ingat saat itu,
bahwa ibu sempat memberikan tambahan belanja sebelum Kak Rin
berangkat ke sekolah tempat aku terakhir menimba ilmu. Dan pada
malamnya, Kak Rin masih sempat menyetrika seragam sekolahku, dan
melihatkan tulisannya yang akan diikutkan dalam sebuah
perlombaan.
*
Wajah
ibu seketika cerah saat mendengar kabar dariku. “Kau dapat kerja di
mana, Nak?” Ibu seperti ingin sekali memperoleh jawaban
dariku, walau saat itu sedang mencuci di belakang. Ya, tiap pagi
itulah, Wis. Aku akan senantiasa bergegas dari kantuk yang buruk
untuk segera menuju stasiun kota, hingga akhirnya sampai ke toko Pak
Mahmud. Mendengar aku mendapat kesempatan jadi pelayan toko, ibu pun
meneteskan air mata sambil memelukku. “Jalanilah saja dulu.
Perlahan kau akan terbiasa.” Begitulah ibu membakar semangatku.
“Aku
tak sendiri, Bu. Ada seorang teman lamaku yang juga
bekerja di sana.”
Ya,
ibu tak bisa menyembunyikan tangis harunya di hadapanku. Ia begitu
senang, walau dalam hati kecilnya, ibu barangkali merasa sedih tidak
bisa melanjutkan sekolahku. Aku pikir, bekerja memang lebih baik
dibanding menyusahkan ibu selama tiga tahun. Kau tahu temanku,
Wis. Isal, dengannyalah aku melewati hari-hari di tengah padatnya
runititas kota. Memang, tiap akan berangkat kerja, ibu
senantiasa membungkuskan nasi untuk bekalku makan siang. Kadang
apabila ibu sakit atau keletihan, maka aku sendiri yang menyiapkan
bekal yang biasanya aku nikmati berdua Isal. Sehingga, tiap paginya,
meskipun hujan sangat lebat, aku pun harus bergegas ke stasiun agar
tak tertinggal kereta. Menjelang tiba di stasiun, aku harus menaiki
angkutan umum yang tentunya melewati depan rumahmu.
“Jangan
terlambat lagi kau, Nak.” Inilah kata ibu yang selalu terngiang
olehku. Dan aku pun paham, meskipun Pak Mahmud orangnya santun
dan baik hati, tentu aku tak ingin mengecewakannya. Pernah sekali
waktu aku datang terlambat karena ditinggal kereta. Betapa sulitnya
aku menguras perasaan saat itu. Namun setelah mendengar nasehat dari
Pak Mahmud secara baik, aku akhirnya sadar. Aku tak ingin
mengecewakan ibu. Ibu yang wajahnya senantiasa kutatap sebelum
berangkat, yang tak jarang aku sama-sama berjalan dengan teman-teman
sekolahku menuju terminal.
“Kasihanlah
pada ibumu itu, Dikar.” Isal dan Pak Mahmud pernah menasehatiku.
Seolah telah tahu, bagaimana keadaan keluargaku, meskipun tak banyak
yang aku ceritakan pada mereka. Ibu yang kata orang-orang pernah
menjadi pemuas nafsu itu, tentu aku tak bisa menerima ucapan itu. Kau
bisa bayangkan, Wis. Siapa yang tak marah bila ibunya dituduh
melakukan yang bukan-bukan? Dan setelah kudapati ibu berjuang tanpa
ayah, maka aku bertambah iba melihatnya. Aku tak peduli lagi
kata-kata yang diucapkan begitu silam itu.
“Ibumu
itu pernah menjadi pencuci pakaian orang di komplek sana saat kau
kecil dulu.” Begitulah kata Buk Des padaku tanpa maksud
mempertanyakannya. Buk Des memang lumayan dekat dengan ibu. Sebagai
pengemis di perempatan, ia begitu gigih mencari nafkah. Kata ibu,
sewaktu Naila berusia dua tahun, ia pernah membawanya untuk mengemis.
Walau ibu mendapatkan upah, ayah yang saat itu masih bekerja di luar
kota, akhirnya mengetahui dan sangat marah pada ibu.
“Kenapa
Naila dibiarkan saja dibawa orang gila itu?” Ibu menirukan kata
ayah padaku. Ayah memang tak suka dengan keberadaan Buk Des yang
berdekatan rumahnya dengan rumah ibu saat itu. Tak saja Naila, anak
balita dari ibu-ibu tetangga pun juga pernah dibawa untuk pergi
mengemis. Yang ayah khawatirkan tentu Naila mengalami kecelakaan atau
kejadian buruk lainnya.
“Upahnya
kecil. Tapi kalau kecelakaan bagaimana? Siapa yang tanggung biayanya?
Tentu tak sebanding dengan upah yang
diterima.”
Ibu
tertawa kecil saja saat menceritakan masa lalu konyol itu padaku.
Meskipun kadang diwarnai keributan, namun tak lama setelah itu ayah
dan ibu kembali baikan. Ya, begitulah aku dengan ibu saling menggali
masa lalu. Kata ibu, jarak usianya dengan ayah lumayan jauh. Saat
menikah dulu, ibu masih berusia 18 tahun dan ayah berusia 28 tahun.
Dan kau tentu tahu, Wis. Rumah nenek di kampung dulu, di situlah awal
hidup itu, awal langkah itu. Dan kita pun masih sempat sama-sama
dibawa ke Posyandu, dan bermain air dengan nenek.
*
Sebuah
kabar gembira itu. Tak disangka hidup ini, Wis. Saat aku baru
saja pulang dari membantu persiapan acara kemerdekaan dengan
teman sekolahku dulu, kabar dari ibu membuatku sejenak terperanjat.
Di sinilah awal mula ada semangat baru dalam hidupku. Ibu dengan
tiba-tiba mengutarakan niat untuk melepaskan
kesendiriannya.
“Siapa
orangnya, Bu?” Tanyaku yang saat itu baru bekerja enam bulan di
toko Pak Mahmud. Harus aku akui pada ibu, bahwa aku sejak ditinggal
ayah memang ingin sekali ibu bisa menikah lagi. Tapi, aku tak
kuasa untuk bicarakan itu padanya, Wis. Dan dengan sedemikian rupa
jalannya, maka Pak Samsul, ayahku yang baru hadir di
tengah keluarga kecilku, dan memberikan perubahan besar
dalam kehidupan ibu.
Aku
pun mengenal ayah yang lebih tua lima tahun dari ibu itu
sebagai sosok yang sabar. Kau bisa bayangkan betapa hidup itu
mengalir, Wis. Ayah yang sebelum menikahi ibu ternyata pernah
melewati masa-masa yang sulit. Dua anak dan istrinya tiada lagi.
Bencana longsor telah merenggut nyawa orang yang sangat dicintai
ayah.
“Rumah
ayah dan rumah warga yang lain saat itu semuanya habis tertimbun
longsor. Tak ada yang bisa ayah selamatkan selain pakaian yang
melekat di sebatang tubuh. Anak ayah itu, yang pertama seumuran
denganmu, Dikar. Dan yang kedua lebih tua sedikit dari Naila jika
mereka berdua masih hidup.”
Aku
mendengarnya dengan penuh haru, Wis. Begitulah awalnya aku memahami
kehadiran ayah yang baru dalam hidupku. Dan jika kau bertanya tentang
ayahku yang dulu, tentu aku tak akan melupakannya. Kami masih
menjalin silaturrahmi walau jarang bertemu.
Ya,
ayah memberi perubahan besar bagiku, ibu, dan Naila. Ayah yang begitu
rajin beribah ke masjid. Kulihat perubahan ibu. Ia mulai rajin
beribabah seperti ibumu. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di
rumah setelah berjualan penganan di sekolah. Kemudian aku. Aku pun
banyak mendapatan ilmu dari ayah. Aku tak malu untuk untuk
mengikuti ayah ke masjid, meskipun kadang ada rasa malas. Naila
mendapatkan perhatian besar dari ayah. Ia tak lagi nakal dan mulai
membuat PR sekolah dengan rajin. Begitulah indahnya mulai
terasa bagiku, Wis. Melewati lebaran pertama dengan suasana yang tak
terpikirkan olehku sebelumnya. Aku mendapatkan pekerjaaan baru di
toko buku kenalan ayah. Sebagai pedagang buah kecil-kecilan, ayah
begitu rajin mengelola dagangannya. Tiap pagi, kami pun
sama-sama berangkat bekerja.
Tapi
begitulah hidup, Wis. Hidup yang kadang ada suka dan ada dukanya.
Awalnya, betapa ayah begitu bahagia saat ibu mengandung janinnya
Fitri. Hingga menjelang kelahiran Fitri, ayah seperti biasanya, tetap
berdagang dengan penuh semangat. Begitu pula denganku. Namun di
situlah cobaan itu datang. Naila tiba-tiba terjangkit demam berdarah.
Ia harus di rawat di rumah sakit dengan biaya yang tak sedikit. Maka
apa bisa kau bayangkan, Wis? Ayah harus menanggung biaya di rumah
sakit dan persalinan ibu. Sehingga, dengan biaya yang terbatas, aku
pun harus merelakan tabunganku untuk membantu biaya persalinan ibu.
Ibu yang setelah melahirkan, betapa mengalami kepedihan yang amat
mendalam. Lima bulan setelah Fitri lahir, ayah pun harus pergi begitu
cepat meninggalkan kami. Ayah meninggal dengan posisi terduduk di
tokonya menjelang ashar tiba.
“Kita
harus sabar, Bu. Relakanlah kepergian ayah. Ingat fitri, Bu. Ingat,
ia masih kecil.” Air mataku pun tumpah sejadi-jadinya di pelukan
ibu.”
*
Sebuah
pagi, sebuah hari dengan udara dingin yang terasa lembab dalam
diriku. Di stasiun kota ini, aku maknai sebuah perjuangan itu. Aku
terpekur sejenak. Kuingat masa silam, bahwa telah jauh sudah aku
berjalan, Wis. Dan aku tak mungkin mengelak dari segala beban ini,
segala liku hidup ini. Aku sekarang telah bisa menerima segala
kenyataan. Keadaanku telah mulai membaik dibanding sebelumnya saat
kau ke rumah bersama ibu dan ayahmu. Kulihat ibu, ia juga telah mulai
bisa bekerja sambil mengasuh Fitri.
Betapa
sulitnya masa ini aku lalui, Wis. Sebagai anak pamanku, aku pun
paham. Kau tak bisa berbuat banyak untuk membantu keluargaku.
Dan lihatlah olehmu, rententan kehilangan yang aku alami bersama ibu.
Aku harus jatuh bangun dan mengorbankan sekolahku. Sementara kau,
Wis. Kau masih beruntung punya keluarga yang lengkap. Bermain dengan
teman-teman sebaya, dan mencari jati diri. Tapi meskipun aku sibuk
bekerja, aku masih sempatkan diri meluangkan waktu bersama
teman-temanku yang dulu.
Maka,
dengan melihat berwarna hidupmu itu,aku ikut senang, Wis. Aku akan
tetap menanti balasan surat darimu. Di stasiun ini, kulihat
lalu-lalang kedatangan dan kepergian. Berharap kau akan datang dan
turun dari salah satu gerbong, meskipun aku tak pernah mengundangmu.
Ya, aku hanya bisa membayangkan seperti itu. Membayangkan dirimu
dengan mata yang agak sipit itu melambaikan tangan dari jauh padaku.
Yang membuat rasa tak berdaya seketika menyergapku. Sejenak kupandang
telapak tanganku yang terluka, lalu betapa sebuah kereta dengan bunyi
gerbong dan terpaan anginnya, seperti memberikan rasa ngilu dalam
hatiku. Rasa ngilu yang memanjang dalam musim kepedihan.
Aku
tentu masih ingat masa lalu kita yang asyik bermain saat masih
kecil dulu. Aku berharap, Wis. Kau memahami benih perasaan itu yang
tumbuh. Perasaan yang senantiasa merembeskan debar setiap melewati
depan rumahmu. Saat kau memeluk ibu dan mencium Fitri, aku tahu. Aku
tahu bahwa aku tak sendiri. Aku masih punya ibu, adik, dan
tentunya dirimu.
Padang,
2013
Budi
Saputra, Mahasiswa STKIP PGRI (Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia), Padang Sumatera Barat. Selain menulis cerpen
literer ia juga menulis puisi, esai dan resensi buku. Karya-karyanya
telah dimuat di berbagai media massa lokal maupun nasional juga
beberapa telah dibukukan.
Kabut
Masa Silam
Oleh
Budi Saputra
Sebuah
pagi, sebuah hari dengan udara dingin yang terasa lembab dalam
diriku. Jatuhan tetes gerimis selepas subuh, mengingatkanku tentang
timbunan musim hujan masa lalu. Tentang musim dimana burung-burung
kedinginan di balik jendela. Begitu murung, begitu bergegas segalanya
tentang yang kau sebut hidup. Dengan mengenakan jaket dingin yang
lusuh, aku kembali menyusuri jalanan ini. Betapa kulalui dengan
tabah, dengan jalan usia yang entah kapan berakhir atau remuk.
Rumah-rumah penduduk, daun-daun yang berguguran karena diterpa badai,
dan langkahku yang tergesa di jalan licin ini. Kulewati sebuah
rumah kayu dengan warna cat kecoklatan itu. Rumah yang begitu murung.
Wajah itu, suara itu, betapa pedih hidup mengalir. Mengalir bagai
sungai dengan segala isinya, yang kemudian berakhir di
sebuah muara.
Menjelang
langkahku sampai di stasiun, wajah itulah senantiasa terpana
menatapku. Di tengah gerimis mengalir deras, samar-samar wajah
Buk Rinah tampak duduk terpaku di teras itu. Aku kadang
tak kuasa menahan air mata hingga aku duduk terpaku atau terpaksa
berdiri di sebuah gerbong yang padat. Kuingat wajah ibu di rumah, ibu
yang semakin tua di dapur. Menyambung hidup membuat penganan
kecil-kecilan, dan dibawanya di sebuah sekolah dasar tempat
Naila menimba ilmu.
“Ibu
telah lama kehingan bapak. Ibu tak punya apa-apa selain rumah yang
kian reot ini, gerobak, dan seorang anak perempuan yang sepantaran
dengan adikmu.” Begitulah Buk Rinah mengatakan padaku suatu ketika.
Melihat keadaannya seperti itu, berjuang sendirian mendorong gerobak
untuk memulung hingga petang hari, dan memberikan sedikit hasil jerih
payah pada seorang anak yang lumpuh, lalu apa bedanya dengan keadaan
ibu sendiri? Tak jauh beda, Wis. Tak jauh beda. Betapa beban itu aku
pikul. Menatap derasnya hidup dari balik celah jendela. Menatap
derasnya aliran sungai di dalam pagiku yang bergegas dari kamarku
yang remang dan buram. Melewati dingin pagi menuju stasiun kota,
tentu aku tak ingin terlambat. Ditinggal kereta dengan menyisakan
perasanan ngilu, bingung, dan merasa amat bersalah dalam diriku.
Aku
tentu masih ingat, menjelang akhir semester dua kelas satu SMA,
ibu tak punya lagi biaya untuk kelanjutan sekolahku. Walau saat itu
aku ingin melanjutkan sekolah seperti teman-teman kebanyakan. Kutatap
wajah ibu yang tersandar setelah letih bekerja seharian.
“Dikar, maafkan ibu. Ibu tak punya biaya yang cukup untuk
melanjutkan sekolahmu. Lihatlah adikmu, juga terlunta-lunta dan harus
meminjam uang untuk biaya sekolahnya.” Mendengar itu aku pun
hanya bisa pasrah. Air mata meleleh di pipiku yang baru sembuh dari
luka gores akibat berkelahi dengan salah seorang di sekolah. Tak lagi
kuraih penganan yang sebelumnya kumakan. Tak seperti kau, Wis. Kau
beruntung masih bisa melanjutkan sekolah mengikuti kakak-kakakmu.
Sambil menyeka air mata, aku hanya bisa terpana melihat wajah ibu dan
sesekali kulayangkan pandanganku ke arah foto ayah di dinding. Ada
kesedihan yang memanjang dalam diriku. Seperti ingin
meraung, tapi tak sanggup.
“Aku
mungkin akan mencari kerja, Bu.” Itulah kata terakhir aku ucapkan.
Menangis sendiri di kamar, telah mengurasku untuk memikirkan masa
depan. Pikiranku berlari. Kubayangkan wajah ayah, wajah kakak yang
dulu senantiasa mencurahkan segenap keluh kesahnya padaku.
*
Ada
pedih yang begitu dalam menusuk hatiku. Kau tahu, Wis. Ayah berlalu
begitu saja dan membuat ibu harus menanggung segala beban hidup
yang berat ini. Berlalu seperti kereta yang berlari di pagi
buta, dan disaksikan bocah-bocah tak berdaya di tepian relnya.
Dulu, ayah begitu perhatian pada kami. Tiap pulang kerja, ada saja
yang dibawa ayah untuk kami nikmati. Namun, perhatian itu perlahan
berkurang. Kehangatan yang biasanya aku rasakan saat ayah rutin
mengantarkan aku ke sekolah, seketika hilang saat aku mendengar kabar
itu dari ibu. Saat itu adalah menjelang kenaikan kelas dua SMP.
Pada
awalnya, aku tak mengerti mengapa ibu menangis sambil memeluk Naila.
Aku baru saja pulang sekolah. “Kenapa menangis, Bu?” Mendengar
itu ibu hanya diam. Dalam diam itu, aku pun ikut menangis. “Tak ada
lagi ayah, tak ada, Nak.” Kemudian ibu menguraikan semuanya padaku
sambil menunjukkan kesedihan mendalam. Pertengkaran yang sering
aku saksikan ternyata telah membuat ayah
meninggalkan kami.
“Belum
lama kakakmu pergi, Nak. Dan sekarang, ayah memilih pergi dari rumah
ini.” Begitulah kenyataan yang harus kuterima,Wis. Kau bisa
bayangkan, semasa di sekolah aku lebih banyak bungkam di depan
teman-teman. Setiap ada yang bertanya dimana dan siapa ayah, maka
itulah pertanyaan yang amat menggangguku. Kadang aku pun menangis
sendirian di taman. Melihat teman-teman diantar ayah mereka, hidup
berkecukupan, dan belajar dengan penuh semangat. Walaupun begitu,
kadang bila bertemu di jalan, maka ayah selalu memberikan tambahan
belanja padaku. Setelah itu, ayah pergi dan tak ada bicara banyak
selain pesan untuk rajin belajar dan menjaga Naila.
Aku
pun tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Aku mulai bisa menerima
keadaan, walaupun awalnya sulit untuk lepas dari perasaan yang kerap
membuatku ingin putus sekolah, dan memilih mengamen di perempatan.
Kau tahu, Wis. Kekuatanku untuk terus bertahan. Bahwa Kak Rin yang
pernah ajarkan padaku untuk semangat dalam hidup. Sebelum ia pergi
untuk selamanya, banyak kisah yang pernah aku lalui dengannya. Tiap
ada tugas dari guru, kak Rin-lah yang biasanya membantu. Ia begitu
cerdas di mataku. Lihatlah, tugas-tugas rumah dan sekolah ia
lakukan dengan cekatan dan hati yang riang. Walaupun hidup
kekurangan, ia tak pernah mengeluh. Suatu hal yang menonjol darinya
tentu kebiasaan membaca dan menulis, serta selalu masuk
rangking sepuluh besar.
“Ini
apa yang Kakak tulis?” Tanyaku suatu ketika.
“Itu
cerpen,” jawabnya sambil tersenyum. Begitu mengalirnya. Setelah aku
berlari melewati lorong hidup ini, semakin aku menyadari
seorang kakak yang banyak memberikan pengalaman berharga padaku.
Tentang tulisan-tulisan yang kerap ditulisnya dan dikirim melalui pos
untuk diterbitkan di koran, dan buku-buku bekas yang sering
dibelinya di pasar loak, inilah yang membuatku begitu sedih
membayangkan kematiannya. Maka, apabila ada yang bertanya tentang
kematian Kak Rin, aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku lebih memilih
bungkam dan sedih jika ada yang mengungkitnya. Termasuk juga saat kau
tanyakan dulu, Wis. Berbagai media massa meliput kejadian memilukan
itu. Malah, secarik potongan koran yang memuat beritanya masih
aku simpan, walau aku tak lagi membacanya dan bahkan berniat untuk
membakarnya.
Ya,
kematian Kak Rin yang ditemukan penuh luka dengan pakaian yang
berantakan di tepi sungai itu, memang tak pernah terungkap. Aku dan
ibu telah merelakan kepergian Kak Rin. Hanya yang ibu ingat saat itu,
bahwa ibu sempat memberikan tambahan belanja sebelum Kak Rin
berangkat ke sekolah tempat aku terakhir menimba ilmu. Dan pada
malamnya, Kak Rin masih sempat menyetrika seragam sekolahku, dan
melihatkan tulisannya yang akan diikutkan dalam sebuah
perlombaan.
*
Wajah
ibu seketika cerah saat mendengar kabar dariku. “Kau dapat kerja di
mana, Nak?” Ibu seperti ingin sekali memperoleh jawaban
dariku, walau saat itu sedang mencuci di belakang. Ya, tiap pagi
itulah, Wis. Aku akan senantiasa bergegas dari kantuk yang buruk
untuk segera menuju stasiun kota, hingga akhirnya sampai ke toko Pak
Mahmud. Mendengar aku mendapat kesempatan jadi pelayan toko, ibu pun
meneteskan air mata sambil memelukku. “Jalanilah saja dulu.
Perlahan kau akan terbiasa.” Begitulah ibu membakar semangatku.
“Aku
tak sendiri, Bu. Ada seorang teman lamaku yang juga
bekerja di sana.”
Ya,
ibu tak bisa menyembunyikan tangis harunya di hadapanku. Ia begitu
senang, walau dalam hati kecilnya, ibu barangkali merasa sedih tidak
bisa melanjutkan sekolahku. Aku pikir, bekerja memang lebih baik
dibanding menyusahkan ibu selama tiga tahun. Kau tahu temanku,
Wis. Isal, dengannyalah aku melewati hari-hari di tengah padatnya
runititas kota. Memang, tiap akan berangkat kerja, ibu
senantiasa membungkuskan nasi untuk bekalku makan siang. Kadang
apabila ibu sakit atau keletihan, maka aku sendiri yang menyiapkan
bekal yang biasanya aku nikmati berdua Isal. Sehingga, tiap paginya,
meskipun hujan sangat lebat, aku pun harus bergegas ke stasiun agar
tak tertinggal kereta. Menjelang tiba di stasiun, aku harus menaiki
angkutan umum yang tentunya melewati depan rumahmu.
“Jangan
terlambat lagi kau, Nak.” Inilah kata ibu yang selalu terngiang
olehku. Dan aku pun paham, meskipun Pak Mahmud orangnya santun
dan baik hati, tentu aku tak ingin mengecewakannya. Pernah sekali
waktu aku datang terlambat karena ditinggal kereta. Betapa sulitnya
aku menguras perasaan saat itu. Namun setelah mendengar nasehat dari
Pak Mahmud secara baik, aku akhirnya sadar. Aku tak ingin
mengecewakan ibu. Ibu yang wajahnya senantiasa kutatap sebelum
berangkat, yang tak jarang aku sama-sama berjalan dengan teman-teman
sekolahku menuju terminal.
“Kasihanlah
pada ibumu itu, Dikar.” Isal dan Pak Mahmud pernah menasehatiku.
Seolah telah tahu, bagaimana keadaan keluargaku, meskipun tak banyak
yang aku ceritakan pada mereka. Ibu yang kata orang-orang pernah
menjadi pemuas nafsu itu, tentu aku tak bisa menerima ucapan itu. Kau
bisa bayangkan, Wis. Siapa yang tak marah bila ibunya dituduh
melakukan yang bukan-bukan? Dan setelah kudapati ibu berjuang tanpa
ayah, maka aku bertambah iba melihatnya. Aku tak peduli lagi
kata-kata yang diucapkan begitu silam itu.
“Ibumu
itu pernah menjadi pencuci pakaian orang di komplek sana saat kau
kecil dulu.” Begitulah kata Buk Des padaku tanpa maksud
mempertanyakannya. Buk Des memang lumayan dekat dengan ibu. Sebagai
pengemis di perempatan, ia begitu gigih mencari nafkah. Kata ibu,
sewaktu Naila berusia dua tahun, ia pernah membawanya untuk mengemis.
Walau ibu mendapatkan upah, ayah yang saat itu masih bekerja di luar
kota, akhirnya mengetahui dan sangat marah pada ibu.
“Kenapa
Naila dibiarkan saja dibawa orang gila itu?” Ibu menirukan kata
ayah padaku. Ayah memang tak suka dengan keberadaan Buk Des yang
berdekatan rumahnya dengan rumah ibu saat itu. Tak saja Naila, anak
balita dari ibu-ibu tetangga pun juga pernah dibawa untuk pergi
mengemis. Yang ayah khawatirkan tentu Naila mengalami kecelakaan atau
kejadian buruk lainnya.
“Upahnya
kecil. Tapi kalau kecelakaan bagaimana? Siapa yang tanggung biayanya?
Tentu tak sebanding dengan upah yang
diterima.”
Ibu
tertawa kecil saja saat menceritakan masa lalu konyol itu padaku.
Meskipun kadang diwarnai keributan, namun tak lama setelah itu ayah
dan ibu kembali baikan. Ya, begitulah aku dengan ibu saling menggali
masa lalu. Kata ibu, jarak usianya dengan ayah lumayan jauh. Saat
menikah dulu, ibu masih berusia 18 tahun dan ayah berusia 28 tahun.
Dan kau tentu tahu, Wis. Rumah nenek di kampung dulu, di situlah awal
hidup itu, awal langkah itu. Dan kita pun masih sempat sama-sama
dibawa ke Posyandu, dan bermain air dengan nenek.
*
Sebuah
kabar gembira itu. Tak disangka hidup ini, Wis. Saat aku baru
saja pulang dari membantu persiapan acara kemerdekaan dengan
teman sekolahku dulu, kabar dari ibu membuatku sejenak terperanjat.
Di sinilah awal mula ada semangat baru dalam hidupku. Ibu dengan
tiba-tiba mengutarakan niat untuk melepaskan
kesendiriannya.
“Siapa
orangnya, Bu?” Tanyaku yang saat itu baru bekerja enam bulan di
toko Pak Mahmud. Harus aku akui pada ibu, bahwa aku sejak ditinggal
ayah memang ingin sekali ibu bisa menikah lagi. Tapi, aku tak
kuasa untuk bicarakan itu padanya, Wis. Dan dengan sedemikian rupa
jalannya, maka Pak Samsul, ayahku yang baru hadir di
tengah keluarga kecilku, dan memberikan perubahan besar
dalam kehidupan ibu.
Aku
pun mengenal ayah yang lebih tua lima tahun dari ibu itu
sebagai sosok yang sabar. Kau bisa bayangkan betapa hidup itu
mengalir, Wis. Ayah yang sebelum menikahi ibu ternyata pernah
melewati masa-masa yang sulit. Dua anak dan istrinya tiada lagi.
Bencana longsor telah merenggut nyawa orang yang sangat dicintai
ayah.
“Rumah
ayah dan rumah warga yang lain saat itu semuanya habis tertimbun
longsor. Tak ada yang bisa ayah selamatkan selain pakaian yang
melekat di sebatang tubuh. Anak ayah itu, yang pertama seumuran
denganmu, Dikar. Dan yang kedua lebih tua sedikit dari Naila jika
mereka berdua masih hidup.”
Aku
mendengarnya dengan penuh haru, Wis. Begitulah awalnya aku memahami
kehadiran ayah yang baru dalam hidupku. Dan jika kau bertanya tentang
ayahku yang dulu, tentu aku tak akan melupakannya. Kami masih
menjalin silaturrahmi walau jarang bertemu.
Ya,
ayah memberi perubahan besar bagiku, ibu, dan Naila. Ayah yang begitu
rajin beribah ke masjid. Kulihat perubahan ibu. Ia mulai rajin
beribabah seperti ibumu. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di
rumah setelah berjualan penganan di sekolah. Kemudian aku. Aku pun
banyak mendapatan ilmu dari ayah. Aku tak malu untuk untuk
mengikuti ayah ke masjid, meskipun kadang ada rasa malas. Naila
mendapatkan perhatian besar dari ayah. Ia tak lagi nakal dan mulai
membuat PR sekolah dengan rajin. Begitulah indahnya mulai
terasa bagiku, Wis. Melewati lebaran pertama dengan suasana yang tak
terpikirkan olehku sebelumnya. Aku mendapatkan pekerjaaan baru di
toko buku kenalan ayah. Sebagai pedagang buah kecil-kecilan, ayah
begitu rajin mengelola dagangannya. Tiap pagi, kami pun
sama-sama berangkat bekerja.
Tapi
begitulah hidup, Wis. Hidup yang kadang ada suka dan ada dukanya.
Awalnya, betapa ayah begitu bahagia saat ibu mengandung janinnya
Fitri. Hingga menjelang kelahiran Fitri, ayah seperti biasanya, tetap
berdagang dengan penuh semangat. Begitu pula denganku. Namun di
situlah cobaan itu datang. Naila tiba-tiba terjangkit demam berdarah.
Ia harus di rawat di rumah sakit dengan biaya yang tak sedikit. Maka
apa bisa kau bayangkan, Wis? Ayah harus menanggung biaya di rumah
sakit dan persalinan ibu. Sehingga, dengan biaya yang terbatas, aku
pun harus merelakan tabunganku untuk membantu biaya persalinan ibu.
Ibu yang setelah melahirkan, betapa mengalami kepedihan yang amat
mendalam. Lima bulan setelah Fitri lahir, ayah pun harus pergi begitu
cepat meninggalkan kami. Ayah meninggal dengan posisi terduduk di
tokonya menjelang ashar tiba.
“Kita
harus sabar, Bu. Relakanlah kepergian ayah. Ingat fitri, Bu. Ingat,
ia masih kecil.” Air mataku pun tumpah sejadi-jadinya di pelukan
ibu.”
*
Sebuah
pagi, sebuah hari dengan udara dingin yang terasa lembab dalam
diriku. Di stasiun kota ini, aku maknai sebuah perjuangan itu. Aku
terpekur sejenak. Kuingat masa silam, bahwa telah jauh sudah aku
berjalan, Wis. Dan aku tak mungkin mengelak dari segala beban ini,
segala liku hidup ini. Aku sekarang telah bisa menerima segala
kenyataan. Keadaanku telah mulai membaik dibanding sebelumnya saat
kau ke rumah bersama ibu dan ayahmu. Kulihat ibu, ia juga telah mulai
bisa bekerja sambil mengasuh Fitri.
Betapa
sulitnya masa ini aku lalui, Wis. Sebagai anak pamanku, aku pun
paham. Kau tak bisa berbuat banyak untuk membantu keluargaku.
Dan lihatlah olehmu, rententan kehilangan yang aku alami bersama ibu.
Aku harus jatuh bangun dan mengorbankan sekolahku. Sementara kau,
Wis. Kau masih beruntung punya keluarga yang lengkap. Bermain dengan
teman-teman sebaya, dan mencari jati diri. Tapi meskipun aku sibuk
bekerja, aku masih sempatkan diri meluangkan waktu bersama
teman-temanku yang dulu.
Maka,
dengan melihat berwarna hidupmu itu,aku ikut senang, Wis. Aku akan
tetap menanti balasan surat darimu. Di stasiun ini, kulihat
lalu-lalang kedatangan dan kepergian. Berharap kau akan datang dan
turun dari salah satu gerbong, meskipun aku tak pernah mengundangmu.
Ya, aku hanya bisa membayangkan seperti itu. Membayangkan dirimu
dengan mata yang agak sipit itu melambaikan tangan dari jauh padaku.
Yang membuat rasa tak berdaya seketika menyergapku. Sejenak kupandang
telapak tanganku yang terluka, lalu betapa sebuah kereta dengan bunyi
gerbong dan terpaan anginnya, seperti memberikan rasa ngilu dalam
hatiku. Rasa ngilu yang memanjang dalam musim kepedihan.
Aku
tentu masih ingat masa lalu kita yang asyik bermain saat masih
kecil dulu. Aku berharap, Wis. Kau memahami benih perasaan itu yang
tumbuh. Perasaan yang senantiasa merembeskan debar setiap melewati
depan rumahmu. Saat kau memeluk ibu dan mencium Fitri, aku tahu. Aku
tahu bahwa aku tak sendiri. Aku masih punya ibu, adik, dan
tentunya dirimu.
Padang,
2013
Budi
Saputra, Mahasiswa STKIP PGRI (Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia), Padang Sumatera Barat. Selain menulis cerpen
literer ia juga menulis puisi, esai dan resensi buku. Karya-karyanya
telah dimuat di berbagai media massa lokal maupun nasional juga
beberapa telah dibukukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar