Oleh
Ilham Q. Moehiddin
Kepala
Nungku seakan mau pecah, saat darah mengalir cepat dari ribuan
pembuluh di tulang belakangnya. Telapak dan jemarinya panas, perih
tergesek tali pancing. Bebuku jemarinya pun terasa ngilu. Perutnya
geli. Ombak menggulung berlapis, menyeret perahu kecil itu
kemana-mana, dihantam air dari segala arah, bikin lambungnya bergolak
dan isinya serasa hendak tumpah.
Di
tengah deru badai, nelayan muda itu bertahan. Ia membatin: demi Tuhan
yang hidup dan matiku di tangan-Nya, sekarang bukan waktunya untuk
menyerah.
“Sebaiknya
pakai perahu kakakmu
saja,
Nung. Mesinnya lebih besar dan kuat.” Begitu saran Maulida pada
Nungku, sebelum ia melaut subuh kemarin. Saran ibunya itu kini
terngiang-ngiang lagi di anak telinganya.
Bukannya
Nungku tak mau mengindahkan saran itu. Dalam cuaca yang cerah, perahu
kecil pun bisa mengarungi laut yang tenang begitu. Sedari kecil
hingga jadi pemuda begini, ia diajari untuk percaya diri saat melaut
sendirian. Kulitnya legam, juga karena terpanggang teriknya matahari
di laut. Segala bengkak, memar, dan retak di belulangnya, juga
pengalaman yang membenam di benaknya, tak ia dapat dari sekadar
melihat.
Nungku
memang harus membuktikan sesuatu.
Sehari berselang, pada bale bambu di pekarangan samping rumah ibunya, Nungku sedang menyesap nikmat kopi hitam buatan Saimah, kakak iparnya. Dingin pagi ini belum benar-benar pergi, tapi telinganya sudah kemasukan bualan Makati bersama dua kawannya. Peruntungan di laut sudah habis, simpul mereka.
“Aneh.
Sekarang ini kan
bukan musim angin barat, tak ada ombak pula, tapi kenapa laut di
depan sana tidur serupa bayi? Tenang sekali. Ikan pun tak ada.”
Gerutu Lasindu.
Tamba
menimpal. “Keadaan ini sudah nyaris lima bulan. Mobil-mobil
pengepul tak mau lagi datang ke desa ini, sebab tak ada ikan yang
bisa mereka bawa pergi.”
Mirip
kerapu
tua, kepala Maulida terangguk-angguk mendengar bualan kawan-kawan
Makati, putra tertuanya. Tapi di liang telinga Nungku, omongan itu
terdengar putus asa. Seperti orang raib harapannya sama sekali,
begitu kata Nungku dalam hati.
Hilang
harapan, maka hilang pula peruntungan, serupa tepung yang dibuyarkan
angin. Terbang sia-sia. Mereka itu saja yang tak suka mencoba-coba,
Nungku membenak lagi.
Ia
sesap lagi kopinya. Belum sehari lewat, ia berhasil menjaring dua
keranjang ikan kecil di sekitar karang selatan. Memang hanya
ikan-ikan kecil, tapi satu keranjang setengah itu oleh juragan
dibayari 50 ribu rupiah. Sisa ikan ia bawa pulang dan itulah yang
ditanak ibunya untuk lauk.
Berputus
harapan seperti itu, seolah mereka tak memikirkan akibatnya pada
hidup anak-istri sendiri. Saat dapur mereka sudah tak berasap lagi,
barulah mereka kaget serupa ular yang tersedak ranting.
“Buat
apa melaut. Toh
perut laut tiada mengandung ikan seekor pun.” Terdengar suara
Lasindu membangun alasan.
“Buang-buang
solar saja,” pedar Tamba pula.
“Sampai
layar sobek dan jaring koyak pun, laut tenang seperti itu percuma
diarungi.” Kali ini, Makati ikut bicara.
Saimah
berjalan keluar dari pintu dapur sambil membawa tiga gelas kopi dan
sepiring ketela rebus. “Kami ini lebih suka berharap saat kalian
pulang membawa sesuatu yang bisa jadi uang. Tapi melaut di kondisi
seperti ini, kalian hanya akan membuat jantung kami berdenyut
mencemaskan kalian.”
Wah,
Saimah ikut menyahut juga. Menyela bicara kawan-kawan suaminya,
sungguh bukan sesuatu yang sopan. Nungku geleng-geleng kepala melihat
tingkah iparnya itu.
Makati
mendelik. Ia lempar matanya jauh-jauh, menyapu ujung pesisir utara
hingga ke tanjung di bagian selatan. Perahu-perahu tertambat rapi di
pantai. Drum-drum solar berdiri kosong di bawah bivak
beratap pelepah kelapa. Debur ombak selalu asik didengar, walau kini
tanpa suara nelayan bersahutan kala menurunkan ikan dari perahu.
Nungku
menandaskan kopinya, lalu masuk rumah. Ia harus menyiapkan keperluan
untuk melaut subuh esok. Ia rapikan gulungan tali pancing, lalu
menegakkan dayung dekat keranjang ikan. Walau masih muda dan belum
menikah, malu juga ia hidup menumpang percuma di rumah ibunya.
“Nung,
kulihat sudah tegak dayungmu itu. Apa kau hendak melaut sekarang?”
Maulida memergoki kesibukan Nungku.
“Besok
subuh, Ina.”
Nungku menjawab ibunya.
Maulida
tertegun. Jika berangkat saat subuh, artinya nelayan akan melaut jauh
dari pantai. “Kau yakin, Nung?”
Nungku
mengangguk sambil tersenyum pada ibunya yang sepuh itu. Mendiang
ayahnya yang mengajarinya melaut. Walau ibunya juga tak melaut lagi
karena uzur, tetap saja Nungku kerap butuh pertimbangannya—kendati
ia boleh tak perlu menurutinya karena alasan tertentu. “Semoga kali
ini aku lebih beruntung dibanding hari-hari sebelumnya.”
Maulida
membalas jawaban putra keduanya dengan senyuman.
Saimah
yang baru masuk membawa nampan, sempat terlanga di dekat pintu dapur.
Ia tersenyum melihat tingkah Nungku.
“Kenapa
kau senyum macam itu?”
“Ah,
tidak. Semoga beruntung ya, Nung.” Sinis Saimah.
Nungku
mendelik. Ya. Oloklah aku sesukamu, Saimah. Kelak
kau
yang akan susah jika tak punya uang. Suamimu itu tak mau melaut,
sebab bertahan dengan sangkaannya.
“Sebaiknya
kau pakai perahu kakakmu
saja,
Nung. Mesinnya lebih besar dan kuat.” Saran Maulida pada putra
keduanya itu.
“Tak
apa-apa, Ina.
Perahu kecil itu cukup kuat diajak melaut saat cuaca cerah begini.”
Ibunya
mengangguk. “Kau hati-hatilah,” pesannya.
3/
“Kau
serius, Nung? Kita sudah jarang melaut jauh dari pantai.” Makati
memastikan aduan Saimah. Selepas dua kawan suaminya pergi, Saimah
mengadukan tingkah adik iparnya itu pada Makati.
“Tidak
terlalu jauh. Aku hanya rindu pada laut saja.” Jawab Nungku.
“Tak
ada ikan besar di laut sana, Nung.”
Nungku
tersenyum pada kakaknya. “Kalau benar begitu, maka aku bisa pulang
lebih cepat, bukan?”
Makati
berpaling pada istrinya yang hanya bisa angkat bahu. Ia pantas
mencemaskan niat adiknya yang tiba-tiba itu. “Di bagian mana kau
melaut nanti?”
“Di
laut dalam, 10 kilometer jaraknya dari pesisir utara. Di bagian itu
matahari tak begitu terik saat siang. Jadi aku bisa pulang sebelum
sore.”
Makati
tak mungkin menahan adiknya yang sedang merindui laut seperti itu.
Nungku pasti kecewa jika ia halang-halangi. Niatan serupa itu wajar
keluar dari benak seorang nelayan muda seperti adiknya. Suhu air di
pesisir utara masih hangat di akhir bulan Juli ini, sehingga jika
beruntung, adiknya masih bisa mengumpulkan ikan selebar telapak
tangan.
Maka
saat subuh datang, pergilah Nungku menuju pantai. Makati meminjamkan
solar pada adiknya itu. Dayung sudah ia lapisi lilin, agar garam tak
memenuhi pori kayu dan membuatnya berat saat dikayuh. Saimah
membekalinya dengan ketela rebus dalam rantang plastik dan air minum
dalam jerigen kecil.
Ia
dorong perahu kecil itu agar melabuh. Udara kering laut menerobos
paru-parunya, membuatnya nyaman dan hangat di subuh yang dingin itu.
Empat ratus meter selepas pantai, arus balik mendorong perahu ke
tengah laut. Bagus sekali. Nungku bisa menghemat bahan bakar. Ini
angin timur dan Nungku menuruti nalurinya; ia arahkan perahu ke
bagian utara. Mesin perahu menderu-deru saat laju, dan lunas
tegak-nya
membelah air.
4/
Maulida
didera cemas luar biasa. Awan gelap menghalangi cahaya matahari sore
yang seharusnya condong ke ufuk. Sebenarnya, cemasnya itu sudah lebih
dulu datang saat hadirnya hembusan angin yang terasa aneh sejak siang
tadi.
Tak
hanya ibunya yang cemas macam itu, tapi Makati juga. Terang saja
mereka berdua mencemaskan Nungku. Sesuai janji Nungku, mestinya
perahu adiknya itu sudah tampak sejajar dengan horison langit selepas
siang tadi. Tapi perahu Nungku tak nampak.
Para
nelayan di desa Talaga Besar ini selalu berharap perubahan cuaca
adalah pertanda baik berakhirnya paceklik ikan di perairan di depan
desa mereka. Tapi bisa jadi itu pertanda lain. Tak sesiapa pun yang
dapat menebak cuaca dengan persis.
Maulida
mengutarakan cemasnya pada Makati sekali lagi. Makati pun paham
kekhawatiran ibunya. Lalu Makati minta pertimbangan pada istrinya:
akankah Saimah melarang, jika saat ini hendak ia susul adiknya ke
tengah laut?
Terang
saja Saimah protes dengan memasamkan muka. Bukannya ia tak sayang
pada adik iparnya itu, tapi melepas suaminya ke tengah laut saat
angin menderu ganas macam ini, bukanlah hal yang patut ia
timbang-timbang lagi.
“Tapi,
Imah. Kau lihat sendiri seperti apa cemasnya Ibu. Tak di saat begini
pun, Ibu kadang mengkhawatirkan Nungku jika memancing di karang
selatan. Aku juga cemas membayangkan Nungku melawan ombak sendirian.”
“Lantas
subuh tadi, kenapa Abang izinkan dia?”
“Kita
tidak tahu akan begini cuacanya, Imah. Kau kan
tahu seperti apa gairah si Nungku itu pada laut. Ia gagal kuliah
selepas SMA, maka jadi nelayan ia pikir satu-satunya hal yang pantas
ia baktikan pada Ibu. Ia ingin seperti Ayah, katanya. Satu-satunya
orang yang bisa membuatnya meninggalkan laut hanyalah mendiang Ayah.
Bila gairahnya itu datang, bagaimana mungkin ia hendak kau tahan?”
“Hanya
itukah cara Abang membawa Nungku kembali ke darat?”
Makati
terdiam. Pertanyaan inilah yang tak mau ia dengar. Makati masygul
sekarang. Tak kuasa melakukan apa-apa. Tak mungkin meminta
pertimbangan ibunya yang sedang didera cemas. Ibunya pasti
mengizinkan, namun Saimah sudah terang tak akan setuju.
5/
“Ayolah,
Nung…!” Gumam Nungku menyemangati dirinya sendiri. Persis begitu
ucapan ibu setiap kali menyemangatinya. Di tengah kesendiriannya di
tengah laut begini, di saat badai sedang mengintai, hanya kata-kata
ibunya saja yang membuat ia merasa tak sedang sendirian.
Ia
memejamkan mata. Merasakan angin mengenai wajahnya. Liang telinganya
seperti pekak saat dipenuhi angin yang berkesiur. Air laut mengayun
perahu kecil itu. Nalurinya harus peka saat ini. Awan hitam yang
bergulung, terdengar seperti menggelegak di atas sana. Mendiang ayah
sering bilang, seorang nelayan harus menyatukan batinnya dengan laut.
Ia harus menyatu dengan suasana di sekelilingnya. Telinganya akan
berubah peka. Perasaannya akan tajam.
Gelap
subuh tadi membuatnya tak awas, dan betapa kaget ia mendapati pagi
saat berada di bagian lautan ini. Ada kelabu menutupi ufuk, sedang ia
sudah sangat jauh dari pantai. Jauh dari orang-orang yang mungkin
sedang mencemaskannya.
Kakinya
sampai kebas dan tulang ekornya sakit karena duduk terlalu lama di
undakan papan pada buritan perahu. Nungku tak mau berkilah pada
dirinya sendiri. Di tengah laut begini, ia merasa seperti tamu. Duduk
sendiri di hadapan tuan rumah yang sedang tak ramah. Masih beruntung,
arus tak mendorongnya kian masuk ke mulut samudera.
Menjelang
siang, belum ada seekor ikan yang menyambar satu umpan pun, dari 20
mata kail yang ia sebar. Sesekali Nungku menarik tali rawai seraya
menatap langit di atas kepalanya. Perlahan rawai itu ia gulung
kembali. Ia membawang, karena kesal tak ada ikan di ujung setiap mata
kail dan kakinya mulai kesemutan.
Perahu
kecil itu bagai noktah hitam di tengah laut. Di lazuardi, kelabu
segera menjadi hitam yang menakutkan. Saat ini, seharusnya gelombang
membuat ikan-ikan aktif bergerak, sehingga lapar dan bikin mereka
memakan apa saja yang tampak berkilau.
Kelelahan
membuat tubuh Nungku gayang. Di benaknya, terus terulang-ulang tekad
untuk menjinjing pulang seekor ikan besar buat ibunya. Cukup seekor
saja, dan itu cukup untuk mengakhiri spekulasi para nelayan lain di
desanya.
Pantulan
awan kelabu di atas sana, membayang hitam di permukaan laut. Lalu
rerintik hujan mulai curah dari langit. Tapi tak terlalu lama,
rerintik itu berubah seperti panah air yang lesak deras, menusuk
daging. Angin menderu-deru. Air laut sudah bergejolak. Laut siap
mendulang badai yang sejak tadi menghantui angkasa. Jujur saja,
situasi ini membuat Nungku cemas luar biasa.
Lalu
badai benar-benar datang. Perahu kecil itu diombang-ambingkan
gelombang. Dihantam ombak dari segala arah. Diterpa air hingga
dinding perahu terdengar berderak seperti mau lepas. Nungku
mengikatkan tali ke pinggangnya pada undakan di buritan perahu. Ia
jungkit mesin perahu, lalu memasang kitir. Bersiap-siap menghadapi
badai yang mungkin akan menggila. Semua yang pernah diajarkan ayahnya
sudah ia lakukan. Perahu kecil itu kini siap menari di sela
gelombang.
Berbekal
kitir di tangan kanan, cukup lincah Nungku mengikuti ayunan
gelombang. Matanya tak mau lepas dari tali rawai yang ia gulung
dengan tangan kiri, lalu silih-berganti mengawasi setiap puncak
gelombang yang menuju ke arahnya, agar ia bisa lekas belok
menghindar. Jangan pernah berada dalam cekungan di antara dua bukit
gelombang, sebab salah satunya kemungkinan akan mendorong perahu ke
dekat gelombang lainnya, mengurung dan memecahkan perahu dalam
himpitan gelombang. Begitu kata ayahnya. Nungku bergidik membayangkan
akibatnya.
Ayunan
gelombang memainkan perahu kecil itu seperti batang korek api yang
diaduk dalam tempayan. Gelora kini berhimpun di dadanya, bercampur
cemas dan keberanian yang ia bangkit-bangkitkan. Satu per satu
pelajaran dari ayahnya bergegas datang ke kepalanya, seperti saling
berebutan memberi saran dalam suara yang ribut dan Nungku harus
merukunkan mereka agar bisa mengambil keputusan terbaik sebelum
bertindak.
Sedikit
demi sedikit perahu kecil itu kemasukan air. Horison langit sudah
raib dari matanya. Semuanya tampak hitam belaka, menyembunyikan batas
pertemuan langit dan bumi. Nungku terus berharap agar awan gelap
menyingkir secepatnya hingga ia bisa melihat ufuk di tengah hujan
yang memanahi punggungnya. Mesin tak akan berguna di saat seperti
ini. Sebatang kitir itu semoga bisa membawanya keluar menuju tepian
badai.
Saat
sedang menggulung tali rawai ke-16, sesuatu seperti bergerak-gerak
liar di ujungnya. “Kena kau!” Desis Nungku. Tarikan ikan di ujung
tali rawai itu seolah hendak menjerumuskan perahu kecilnya ke dasar
samudera. Nungku menyangkutkan kitir, lalu ia pisahkan tali kailnya
dari himpunan rawai sebelum ia sentak kuat-kuat. Tampaklah di matanya
seekor ikan Layar di ujung sana. Ikan itu gelenyar tak henti-henti
berusaha melepaskan diri.
Luar
biasa besar ikan Layar di ujung tali kail Nungku. Dua meter
panjangnya, nyaris sebesar perahunya. Lelaki muda itu berdiri di
buritan, mengimbangi perahu dengan dua kakinya. Sesekali ia ulur tali
saat ikan itu menjauh. Telapak tangannya panas terkikis tali. Belum
apa-apa, ikan itu sudah menguras separuh tenaganya.
6/
Air
laut, hujan dan angin tak henti menghantam perahu dan tubuhnya, tapi
Nungku tak mau menyerah. Ia mengulur tali, sesekali menyentak seraya
menggulung dengan cepat, agar ikan itu segera kehabisan tenaga dan
kian dekat ke perahu. Sesekali pula ia harus berjongkok menahan kitir
yang bergetar hebat saat perahunya condong memanjati ombak. Nungku
nyaris terlempar dari perahu, saat segulung ombak besar menghantam
tubuhnya dari sisi kiri. Ia buru-buru merebahkan diri sambil
berpegangan erat pada bibir perahu.
Saat
duduk kembali, perahu kecil itu tampak aneh. Rupanya, segulung ombak
tadi telah mematahkan jarangka
di sisi kiri dan menghanyutkannya entah kemana. Kini jarangka
perahunya tinggal satu dan ia harus meneruskan pertarungan untuk
pulang. Di tengah prahara macam ini, tak mau ia mati percuma. Ia tak
sudi melepas nyawa sebelum pertarungan usai.
Menjelang
subuh berikut, agaknya pertarungan mereka belum akan usai. Nungku
melayani ikan Layar itu sampai di batas tenaganya akan pungkas
terkuras. Angin sedikit mereda, namun gelombang masih mengaduk
permukaan air. Dua makhluk Tuhan itu gigih saling mengalahkan.
Sebenarnya
Nungku sedang menunggu sebuah kesempatan untuk segera mengakhiri
perlawanan si ikan Layar. Ia menanti, namun tak jua kesempatan itu
datang. Ikan besar itu seperti mengolok-olok kesabarannya dengan
berenang cepat mengitari perahu, lalu tiba-tiba melompat saat tali
kail mengencang. Serasa hendak patah tungkai lengan Nungku dibuatnya.
Suatu
kali, saat peluang itu datang, justru ketika perahunya itu berada di
antara dua gelombang yang membentuk bukit. Ia terpaksa mengayun
kitir, membelokkan perahu untuk membelah gelombang, sehingga peluang
itu lepas begitu saja.
Namun
kesabarannya terbayar. Saat peluang datang sekali lagi, mata Nungku
membesar melihat permukaan air yang tersibak, menyembulkan tombak di
ujung hidung ikan Layar itu. Nungku yakin, ikan itu akan memukul
permukaan air kuat-kuat dengan ekornya sebelum melesatkan tubuh ke
udara. Ya. Itulah tandanya.
Nungku
melilitkan tali kail di telapak tangan kanannya secepat yang ia bisa.
Genggamannya harus kokoh, sebelum ia bersiap menyentak tali kail
sekuat tenaga. Tangan kirinya juga sigap menahan rentangan tali
dengan kuat. Cukup sekali peluang itu datang, maka seterusnya ada
tiga kali berturut-turut ikan akan bergerak seperti itu untuk
meredakan efek benturan air. Peluang itu dimanfaatkan benar-benar
olehnya. Berulang ia sentak tali kailnya dan membuat ikan Layar itu
terbanting tiga kali. Semoga saja itu cukup mengakhiri perlawanan si
ikan Layar.
Benar
saja. Ikan itu terlihat payah saat Nungku menariknya ke sisi perahu.
Agak repot ia menjaga ikan itu tetap bersisian dengan perahu kecilnya
saat gelombang terus mengayun dan layar besar di punggung ikan tegak
mengancam. Jika tak hati-hati, ujung tulang layar ikan yang runcing
itu bisa menusuk dadanya.
Nungku
menghunus pisau besar dari pinggangnya. “Kau hebat sekali tadi,”
bisiknya pada ikan besar itu, “aku menghormatimu di pertarungan
ini. Tapi, maafkan aku, kawan. Kita harus memenuhi takdir kita
masing-masing.”
Perlahan
Nungku menekan pisaunya ke lambung ikan besar itu. Menahannya sejenak
agar darah ikan tak banyak keluar dan ikan bisa mati tanpa banyak
kesakitan. Akan repot ia nanti jika darah ikan justru mengundang
datangnya kawanan hiu.
“Aku
janji akan menguburkan jantungmu di pantai.” Nungku menjanjikan
ritual Tosangia,
sebagai penghormatan bagi makhluk laut yang ia kalahkan dalam
pertarungan. Ini penting. Tapi ia harus kembali ke pantai dengan
selamat untuk bisa memenuhi janjinya.
Tubuh
ikan Layar itu ia ikat di sisi kiri perahu, di bagian jarangka yang
patah. Ternyata segelombang ombak terakhir yang menerjang perahunya
telah pula mematahkan kitir, membuat mesinnya kemasukan air dan tak
bisa lagi dinyalakan. Hanya sebatang dayung saja harapannya untuk
pulang.
Langit
belum cerah, dan ombak masih cukup tinggi. Hujan sudah selesai dan
angin perlahan mereda. Tapi Nungku harus pulang, semoga bisa mencapai
pantai sebelum siang. Ikan di sisi perahunya itu akan memupus
sangkaan orang tentang laut, tentang peruntungan yang kata mereka
sudah habis. Sangkaan-sangkaan yang serupa buih ombak di setiap benak
nelayan desa Talaga Besar akan reda saat ia nanti mendaratkan ikan
ini di pantai.
Terlintas
wajah ibunya, juga wajah ayahnya. Wajah Makati dan istrinya.
Wajah-wajah yang menemani kesendiriannya dalam pertarungan di tengah
badai tadi. Senyum ibunya masih membekas di pelupuk matanya, seolah
memberinya semangat untuk terus mengayuh menuju pantai. Pertarungan
yang membuatnya lebih percaya diri. Ia kian yakin pada
petatah-petitih yang kerap diucapkan ibunya: Tuhan tak pernah
menyembunyikan setitik nikmat pun dari hambanya.
Saatnya
pulang. “Terima kasih, Ibu.”
Nungku
mengayuh dayung menuju pantai. (*)
Molenvliet,
2013.
Catatan:
*
Desa Talaga Besar
: sebuah desa nelayan di pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara.
*
Kerapu :
sejenis ikan karang. Memiliki kemampuan hidup sangat lama dan
berukuran besar. Ikan ini anggota sejumlah genus dalam anak-suku
Epinephelinae
(suku Serranidae
dalam seri Perciformes).
Kerapu disebut pula Grouper / Groper (Inggris), atau Garoupa (bahasa
asli Amerika Selatan).
*
Bivak
: semacam teduhan, atau gubuk kecil yang disanggah kayu seadanya.
*
Ina
: ibu.
*
Lunas tegak
: bagian depan dari kapal, selain dua jenis lainnya yaitu lunas
dasar, dan lunas lambung. Lunas pada kapal berfungsi melindungi kapal
saat kandas, mengurangi olengan kapal, dan memecahkan ombak agar
perahu kian laju.
*
Ikan Layar
: atau ikan Layaran adalah jenis ikan yang tinggal di perariran
hangat. Kebanyakan berwarna biru keabu-abuan dan memiliki sirip
punggung tegak yang mirip dengan layar kapal. Moncong memanjang,
menyerupai moncong ikan Todak. Ikan Layaran ada dua jenis;
Istiophorus albicans (Layaran Atlantik), dan spesies yang hidup di
Indonesia, Istiophorus platypterus (Layaran Indo-Pasifik).
*
Jarangka
: sebutan lain untuk cadik. Fungsinya sebagai penyeimbang perahu.
*
Tosangia
: sebuah kearifan lokal orang Moronene di desa Talaga Besar. Tradisi
ini dilakukan nelayan Moronene di sepanjang pesisir Talaga Besar dan
Kabaena, berupa ritual mengubur jantung ikan besar yang dikalahkan
dalam sebuah prosesi penangkapan / pemancingan, sebagai bentuk
penghormatan yang tinggi.
*
Ilham
Q. Moehiddin, selain aktif menulis cerita pendek (cerpen) literer
juga menulis artikel. Karya cerpennya pada umumnya berdasarkan hasil
penelitian. Pernah aktif sebagai awak media TV. Kini menetap di
Kendari Sulewesi Tenggara dan aktif mengasuh Grup Cerpenis di
jejaring sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar