Oleh
Retno Handoko
Mereka
yang sekerindangan berfasihat dengan filsafat. Di bangku taman, skala
Richter menaris mereka hingga bindam. Matine hebat hening dalam dua
detik, yang abad. Mereka repih. Degup di dada mereka, berjibaku
begitu gemuruh. Mereka berpeluh bukan di kulit, melainkan di ujung
hati yang menderit.
Pria
itu menghitung rumput yang terpijak oleh kakinya. “Aku tidak
terima.”
“Aku
tak bisa apa.” Wanita itu menghitung jemari tangannya
berulang-ulang.
“Apa
kita kini?”
“Tidak
ada.”
“Kita
masih muda.”
“Tidak
kata mereka.”
“Mereka
tahu apa?”
“Pun
kita sama.”
“Tapi
kenapa nikah?”
“Surgaku
yang meminta.”
“Surga?”
“Ibu.”
Bahasa
mereka masygul. Bahasa mereka parafasia. Risau berlindak-lindak di
benak. Risau mendesau di bukit darau. Birama basah. Peniti meredih
pori. Pedih.
*
Kepadamu,
Perempuan.
Di
mana gerangan lafaz yang sempat kita pahat di pendapa dada? Geriap
awan di mataku sudah menjadi-jadi. Santer tak ada lagi. Segala aksara
yang tersimpan di dada masing-masing, tak sudi melebur.
Satu
tahun, tiga bulan, duapuluh enam hari, dua minggu, tiga hari, enam
jam, duapuluh menit, dan sebelas detik. Bukan pura-pura. Detak yang
dulu berdecak-decak melantunkan rapsodi, kini menjumput debu-debu.
Begawan
yang kita tanya kemarin menghadiahkan kebingungan demi kebingungan.
Langkah kita semakin berderak-derak. Gerosak. Mati aku! Sungai
menyibak ke bawah mataku. Kita masih muda. Orang tua-tua mudah saja
berdecak. Di telapak tangan mereka kita terpaksa berjalan memutar.
Terus saja berputar, sampai kita lupa muda.
Oh,
jiwaku yang melayat langit, lebur-lantak tak bergerak-gerak.
“Tapi
ibuku cuma satu,” katamu menggeletar, ketika sama-sama kita berkaca
di bekas hujan yang merebah di bawah kursi yang meresah, di dekat
kulitku yang menyungai.
*
Kepadamu,
Pria.
Sebermula
hanyalah tergelincir, kini matahariku merebah semenggah-menggah.
Tubuhku melemah. Luluh di pisau matamu.
Perahu
malam menjatuh sauh. Wajahmu menggegas di segala napas. “Tapi ibuku
cuma satu,” kataku, ketika mataku menuruni ujung kaki. Seakan-akan
aku yakin kau tidak pernah tahu, itu.
Aku
berhutang sembilan bulan, dan delapan belas musim kemarau. Kalau
kukumpulkan napasku berkian-kian, tetap tak terkilan. Tapi malam
beginiku, segalanya wajahmu. Meski kita selesai kini, gamitmu
manuskrip di saku jantungku.
Malam-malamku
kini sewingit makam. Teja sudah lama hilang; di dada dan me-nisan. Di
loka, semua kertasku penuh. Tidak ada yang bisa kutulis selain
namamu.
Oh,
jiwaku yang menyayap, tidak terbang-terbang sudah beberapa malam.
*
Kepadamu,
Perempuan.
Gita
jantungku berdetak mengisap tulang. Bukan main hatiku kini; ia
tersesat mencari bulan. Resahku tercekat di kerongkongan. Gelisahku
merapat di jurang-jurang. Di langit, tidak ada kulihat tanda. Aku
berdarah-darah, Kekasih.
Ya,
ibumu cuma satu. Menikahlah.
Cintaku
yang terpanggung-panggang mati juga nanti, kuterka, dalam jutaan
arloji yang memipih. Kini aku merenda almanak di dalam hati. Mengutip
angka-angkanya satu per satu, lalu memasukkannya ke dalam sakuku.
Mereka adalah wajahmu.
Di
dalam kepalaku, peron jam tiga pagi. Semua wajah penumpang yang
turun, mendatar mengikuti waktu yang bertelikungan diam-diam. Aku
remuk di sudut-sudut.
Nanti
ceritanya, aku bersendiri. Membakar dukaku satu-satu.
*
Kepadamu,
Pria.
Aku
bergelayutan dengan pelampung di samudera lepas. Di setiap napas,
namamu mengudara tak pernah sudah. Rindu. Aku bertelimpuh. Duka.
Mataku pecah.
Angka
di kalender memapah diriku dalam bayang lengang. Mengendap jauh di
dasar perigi. Berumpun kuntum bunga yang tumbuh di sana, dengan cepat
melayu. Resahku mendayu-dayu. Rapuh. Rinduku yang menggelegak, buncah
serak di tanah basah. Aku tidak sanggup menjumputnya satu-satu.
Sesungguhnya
aku mencari-cari garis di telapak tanganku. Seinginnya aku, kau
adalah imamku. Menuntunku dengan sepenuh syarak. Sebenar-benarnya
kitabullah. Namun tidak ada waktuku untuk berdandan. Tidak pelak
lagi, jam di semua dinding menikamku. Parah.
Maaf,
aku mesti menikah. Nanti ceritanya, aku tidak tahu. Segalanya gulita.
*
Kepadamu,
Perempuan.
Keropak
usang sudah pun tertuang. Tidak ada tulisan yang bisa dibuang.
Kertas-kertas semringah pada setiap aksaranya yang selalu silet.
Berpilin-pilin mengentak tak pernah beranjak.
Ibumu
yang cuma satu, maka kau baik-baiklah. Aku yang mendatu, menempelak
semua cermin yang tersisa. Jemputlah swargaloka, wahai Kekasih.
Menikahlah dengan benar. Meski mudamu, usahlah menggentar.
Dalam
detik ini, kutegaskan, aku melepaskan semua persetubuhan rasa kita.
Biarlah bianglala terlipat berupa-rupa. Biar kelirnya punah terhapus
musnah.
Kaligrafi
di naskah kita memang centang perenang. Meski seribu serapah tumpah,
tapi data-data kita jelas di sana, mengeras dalam hujan yang paling
deras. Kirim salamku, Kekasih, untuk setengah jantungku yang kaubawa
lari.
*
Kepadamu,
Pria.
Dengan
sesungai air mata, kupelawa kau ke mari. Undanganku sudahkah
kauterima? Hari Ahad, dari pagi sampai tunai. Akad nikahnya
pagi-pagi.
*
Mega di langit
berarak menjarak-jarak. Gunung Sibayak tegak di sebalik halimun. Aku
berdiri bermakrifat di tanah sunyinya. Temanku bercengkerama di ujung
sana. Aku menyudut di sudut-sudut. Pikiran kami berpisah di satu
payung langit yang sama.
Dadaku
ini aneh sekali. Di dalam alam rimbun serupa ini, biasanya ruhku
menderu-deru. Tapi perempuanku lusa pergi. Gemuruh seperti apa lagi
yang belum sempat hinggap di pikiranku? Lelantak di dada enggan
beranjak.
Di
langit, burung-burung memamerkan mata mereka yang sepi. Sesepi angin
yang mengipas sayap-sayap mereka. Kalau kupikir-pikir tak biasa pula
angin seperti ini. Pulas sepinya bercadar.
Aku
pikir sebentar lagi cuaca akan mengamuk. Temanku berantah entah
kemana. Kuterka tadi dia ada di ujung sana dengan pendaki lain yang
juga di ujung sana.
Tak
kutampak seorang pun di sekitar. Matahari di atas, sudah mulai
kehabisan sinar. Kalau kupikir-pikir aku juga yang salah. Langkahku
sudah terlalu jauh. Sudah belasan kali aku mendaki Sibayak ini, tapi
pemandanganku kini tak pernah kutemui.
Aku
mencari-cari sempadan peradaban. Tapi celaka ini kepala! Perempuanku
sudah gila. Di detik seperti ini semua benda adalah wajahnya. Ah!
Memang aneh ini luka.
Mati
aku! Sudah tiga jam kakiku berputar-putar saja. Mana matahari sudah
sangat malas. Sebentar lagi juga habis kalas. Sudah belasan kali,
tapi aku mendaki kayak baru ini.
Detik
di arlojiku berceceran peluh-peluh. Gulita mengisap udara yang tadi
kuisap. Dadaku berdetak dalam alunan Turkish
March
yang kencang. Tapi aneh. Perempuanku memainkan selendang di
kegelapan. Udara menyebar di rambutnya yang berkibar. Tubuhnya menari
gemulai indah menampun. Bibirnya menyunggingkan senyum sekuntum.
Surat
terakhir di sakuku sekali-sekala kuraba-raba. Aku mencari elan. Aku
masih di sudut-sudut.
*
Semalam tadi benak
perempuan itu mengkusat-mesat. Meski ia percaya hasyiah takdir
di garis tangannya sudahlah tertulis sejak lama, batinnya tak urung
terkapai-kapai. Ia mabuk dalam gabuk yang paling cambuk.
Namun
sebenar-benarnya ia merindukan arasy. Meski halimun bertangga-tangga
di hari-harinya belakangan ini. Malamnya hanya pohon tunjuk dan
lindungan kepada Alkasyaf. Paginya:
“Sah?”
Penghulu memutar lehernya, bertanya pada hadirin.
“Sah.
Sah. Sah.” Semua hadirat menjawab hampir serentak.
Perempuan
itu menunduk sedari tadi. Pikirannya sedang pergi. Sesekali ia
merapatkan mulutnya, dengan mata yang terpejam. Sesekali ia mengepal
kedua telapak tangannya, juga dengan memejam. Jantungnya sedang
terhunjam.
“Kau
kenapa, Nak?” Ibunya, yang duduk di sampingnya, bertanya seperti
berbisik.
Ia
tidak menjawab. Matanya melindap. Mulutnya bertekap. Lalu tubuhnya
melunglai. Sepucuk surat terlepas dari genggamannya.
*
Kepadamu,
Perempuan.
Aku adalah rengit
yang tak lagi terbang. Berjalan pun aku berjinjit-jinjit. Tanggalku
bertanggalan. Hariku sahara pula. Tapi tak apa. Aku cuma perlu
menggulung musim meski dalam dangau di dusun-dusun hati. Kuucapkan
selamat dalam lubuk yang terdalam. Untukmu, segenap rapsodi
mudah-mudahan ditatang sampai ukhrawi.
Puisi terakhirku
untukmu kutulis dalam udara yang bergema. Mudah-mudahan tercecap
dalam ucapku yang berselamat desah.
Kidung
Burung Separo Sayap
sibakan
ombak mencekau batu koral
dalam
beberapa detik tertahan, lalu
pulang
melaut. begitulah ia dendang
berjuta-juta
kali ulang
dalam
beberapa kali hempas, di sana
sajak
tertinggal, terpahat padat-padat
satu-satu
nama kita tersesap dan lesap
di
pagi yang melesat-resap
di
pagi yang berumbun embun
di
dadaku yang terbelah, tampak burung
berkidung
di tulang yang menggigil
aku
pungkang kedinginan
terkebat
kabut di undakan luka
2013
Sekian.
Selamat tinggal. Menikahlah dengan benar.
Oh
ya. Kasih. Kucoret sedikit, kutambahkan lagi sedikit. Aku menulis ini
malam-malam bercahaya lampu senter. Siapa nanti yang menemuiku,
kuharap ia memberimu surat ini. Sudah kucatat nama dan alamatmu di
amplop surat.
Demi
Tuhan, kurasa ini benar-benar selamat tinggal. Aku benar-benar bodoh.
Sibayak ini bukannya sulit sangat. Tapi aku jatuh secara sirat dan
surat. Gegabah. Bodoh aku bodoh. Kurasa aku tidak berdaya pergi ke
pernikahanmu. Maafkan aku. Kutulis tambahan ini agar kautahu, aku
tidak pernah menabrak janji.
Gulita.
Di sini gulita. Hitam. Semua hitam. Kasih. Aku takut. Wajarkah?
Bukan. Bukan pada kematian. Tapi senyummu. Senyummu nanti hilang. Aku
takut. Gulita. Di sini gulita. Hitam. Semua hitam. Selamat tinggal…*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar