Oleh
Nabilla Nailur Rohmah
Aku
takut menyadari, kau satu-satunya manusia yang dapat melihat merah
memar di ujung bibirku. Bukan karena aku tak ingin menampakkan luka
ini, tapi bagaimana jika kau pergi? Aku tahu kau harus pergi pada
akhirnya, sedang aku hanya akan terus di sini, menggenangi rumah
kawah yang tak lagi berapi.
Hari
ini kali keduanya kau bersinggah di pelataranku. Seperti tiga hari
yang lalu, kau memilih diam dalam petang. Kau tak peduli, meski
langit tak bergemintang. Aku tahu kau tak benci api. Kau hanya takut
nyala api itu akan semakin membakar bibirku, kan?
Kau
bisa melihat luka ini, kan? Tidakkah kau merasa jijik? Bukan hanya
memar di bibir, luka di tepi-tepinya berdarah dan tak lekas kering,
sehingga sampah kotoran yang melintasinya akan menempel
melayang-layang. Andaikan saja mereka tahu, betapa berat bagiku harus
menyungging senyum bersama dengan kotoran-kotoran yang menempel pada
bibirku ini.
Kian
hari bibirku kian lebam. Bukan hanya lebam, tapi luka di tepi-tepinya
telah membusuk. Ada aroma nanah yang menyeringai, bersaing dengan bau
busuk sampah dan kotoran yang masih menempel di atas luka yang
membangkai.
Ketika kau memunguti satu-satu sisa kayu yang telah menghitam jadi arang di pelataranku, aku merasa senang tak kepalang. Selama ini, orang-orang yang datang hanya selalu membakar kayu di halamanku. Tak diduga-duga, hari ini ada manusia seperti dirimu.
Aku
ternganga tak percaya ketika kau juga meraup sampah-sampah yang
menempel pada lukaku. Kau melakukannya seperti sedang membersihkan
rumahmu sendiri. Kau suapi karungmu dengan arang dan sampah-sampah
itu. Kau dekap karung itu selama hujan mendera tubuh perkemahan. Di
balik titik-titik air, kau tangkaskan yang hijau menjadi hijau dan
bening menjadi bening.
Apakah
kau manusia? Ataukah dewa yang menyebutku sebagai mata air nirwana?
Di matamu, aku bukan hanya sekadar genangan air tak beriak yang
menghuni tilas cawan api, kan?
Kau
membuatku berangan-angan untuk kembali menjadi jelita seperti
sediakala, ketika aku hanya mengenal bunga dan rerumputan hijau,
bukan busa. Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas, ketika aku
masih demikian jelita. Kala itu, bunga-bunga dan rerumputan
hijau menghiasi wajahku yang berkaca-kaca. Kala itu, tak ada
rerumputan yang tergilas kotoran dan gerak sengit manusia. Kala itu,
aku hanya tahu tentang keindahan dari para bidadari kahyangan yang
bersua di pemandian.
*
Kau
hinggap di atas kayu tumbang yang menjulur menjauhi tepi. Gadis
bercadar itu meghampirimu di mulut telaga. Dari jauh ia telah membaca
siluetmu yang membelah bayangan langit di tengah-tengah genangan air.
Sambil berjalan pelan ia mengawasi sosokmu yang duduk tegap. Tubuhmu
yang gagah tinggi terbalut kulit putih kekuningan membuatmu mudah
sekali terbaca di tengah kegelapan.
“Apa
yang kau lakukan di situ?” ia memecahkan sunyi rerimbunan dengan
suaranya yang nyaring. Suaranya mungkin bisa lebih nyaring lagi jika
tak tertapis cadar yang mengatupi mukanya.
“Menunggui
kunang-kunang.” jawabmu singkat, sambil menoleh pada dua cahaya
kecil yang beterbangan di sebelahmu. Setelah itu, kau kembali
membuang muka pada bayangan langit yang hilang di dasar telaga.
Ia
menghampirimu lebih dekat. Ditapakinya kayu tumbang itu pelan,
seperti meniti jembatan gantung yang begoyang-goyang. Ia mengambil
duduk di sebelahmu. Tanpa mencoba untuk berteman, kalian diam tak
saling menyapa. Berlama-lama kalian hanya diam, terhanyut pada
pikiran masing-masing. Kalian menyapu langit, air, dan jajaran bukit
yang melingkar dengan pandangan acak tanpa saling bicara. Kalian
biarkan kesunyian bergelantungan di pekat malam.
“Apa
ini?” lagi-lagi suara gadis itu memecah kesunyian. Tangannya
meraba-raba karung yang duduk di antara kalian. Kau tak menjawab satu
kata pun. Kau biarkan gadis itu melihat isi karungmu. Ia terperanjat
beberapa saat.
“Ini??”
ia bertanya penuh kebingungan.
“Aku
memungutinya di tepian danau. Sebelum mereka semakin menggunung dan
memenuhi genangan air ini, aku membersihkannya sedapat mungkin.”
tuturmu sambil mengarah pada gadis bercadar itu. “Orang-orang
membersihkan sampah mereka sendiri-sendiri, tapi kenapa masih banyak
yang tersisa di sana sini?” Suaramu tampak bergetar. Kau pasti
sangat geram.
Gadis
itu terdiam. Tangannya yang bermain-main air seketika berhenti.
“Aku
melihat orang-orang turun ke perkampungan dengan memboyong sampah,
lalu menabungnya di pembuangan, tapi sampah-sampah macam ini hampir
tak ada yang memperdulikan. Bibir-bibir danau itu, tidakkah kau
menyadari mereka telah membuatnya menjadi kotor? Minyak, susu, dan
sisa makanan bertebaran di mana-mana. Ceburkanlah kakimu di sana! Kau
akan dapati lumpur di danau ini telah berusaha menelan sampah, sisa
makanan, dan rerumputan di tepiannya yang tergilas. Yang lebih sadis
lagi, tadi sore aku mendapati busa di ujung sana, lalu ikan-ikan
kecil mati menepi mengikutinya.” Cara bicaramu cerdas dan tegas.
Aku bisa menangkap kepedulianmu yang tak dibuat-buat.
“Jadi
lelaki berkaus putih yang membersihkan tepian danau itu kamu?”
Kau
mengangguk samar-samar. “Sepanjang perjalanan, kau tahu, kan?
Banyak benda-benda asing yang mungkin dianggap kecil. Benda-benda
yang seharusnya tak dikenal alam.” Suaramu terdengar naik dan
otot-otot wajahmu tampak menegang. Kau menambahkan lagi, “Di sana
sini orang-orang menyulut api, menelantarkan sampah tak berarti.
Mungkin aku terdengar terlalu melebih-lebihkan, tapi aku terlalu
mencintai pegunungan ini. Hutan hujan, sabana, danau, hamparan bunga,
hingga pasir dan bebatuan yang menuntunku ke atap pulau Jawa, aku
menggilai semuanya. Aku tak ingin mereka hangus seperti hutan yang
memagari kotaku di pulau seberang sana.”
Gadis
itu menatapmu tajam. Kedua bola matanya penuh fokus, menyorotmu yang
sedang mengarah ke dasar tasik. Ia tampak tertarik pada
pembicaraanmu. “Kau tinggal di mana?” tanya gadis itu ragu-ragu.
“Di
kota asap. Kota yang dipagari hutan-hutan merangas. Kota yang menjadi
saksi pembakaran lahan besar-besaran. Kotaku sekarang sudah pekat
berwujud gumpalan asap. Tiap kali kau berusaha menghirup udara, yang
kau dapati hanya asap. Dada kami sesak, hati kami merana mendapati
hutan kami dimusnahkan dalam skala yang tak terbayangkan.”
Gadis
itu tak menimpali. Bahasa tubuhnya tak menandakan ia akan menyela.
“Karena
mangkuk ini berisi air, maka ia hanya diam. Andaikan kita dihadapkan
pada apa yang menggenang di sini ribuan tahun lalu, mereka akan
merasakan betapa magma api benar-benar panas beringas.”
Gadis
itu masih saja tak menimpali. Tatapan matanya seolah mencari-cari
jawaban yang tepat.
“Ranu
Kumbolo…”
Deg.
Aku berdebar mendapati mulutmu menyebut namaku. Apa yang ingin kau
katakan? Kau diam beberapa lama, membiarkan kalimatmu tergantung. Aku
tak sabar menantikan kata-kata yang akan kau ucapkan, namun kau tak
juga bergegas merampungkan kalimatmu.
“Kenapa?”
tanya gadis itu seolah sama tak sabar seperti diriku.
“Ia
begitu cantik, sebenarnya. Amat cantik, jauh lebih cantik dari apa
yang kau saksikan saat ini.” Aku terkesiap. Apa arti kalimat itu?
“Tapi?”
“Tapi
orang-orang membuat kecantikan itu kian hari kian samar, hingga
banyak yang menyangsikan keelokannya saat ini.” kata-katamu
terdengar berat. Matamu menerawang tak bersorot. Kau terdiam, gadis
itu terdiam, aku tetap terdiam. Malam juga masih terdiam, seolah
membiarkan kita larut dalam kesunyian. Aku tahu apa yang sedang
terjadi. Kalian sedang terlarut dalam pikiran tentang aku, kan?
“Apa
kau mau mengambil air?” tiba-tiba kau mengangkat pembicaraan. Nada
suaramu terdengar rendah kembali. Matamu membidik botol plastik yang
ia bawa.
“Emm..”
Gadis itu mengangguk. Ditegukinya botol plastik itu dengan air danau.
Saat tutup botolnya terjatuh, dengan cekatan ia segera meraihnya.
Sorot matanya canggung. Mungkin ia takut menjadi bagian dari
orang-orang yang baru saja kau bicarakan.
“Aku
akan segera kembali, tunggulah di sini,” Gadis itu berlalu pergi.
Langkahnya sedikit tergesa-gesa, mengarah ke perkemahan yang berjarak
tak seberapa.
*
Malam
itu udara membeku. Perkemahan telah lelap tertidur. Di bawah langit
yang terbalut mendung tipis, dua orang anak manusia menyusuri tepi
danau dan bukit-bukit sabana sambil menggandar karung. Sampah,
kotoran, dan benda-benda asing kalian pungut ke dalam karung.
Kalian
tak lagi membentangkan batas untuk berbagi. Seperti anak kecil yang
tak mengenal lelah, kalian menyusuri malam dengan riang. Kau membawa
cerita tentang kehidupanmu, begitu pula dengan gadis bercadar itu.
Kalian berkisah, bergurau, tertawa, juga berpikir tentang dunia dan
permasalahannya. Sesekali gadis itu bernyanyi-nyayi kecil. Suaranya
melengking, seperti serangga-serangga yang bersua di antara
rerumputan. Dingin pun berpeluh renyah.
“Aku
sempat terheran, kenapa kau mau ikut denganku memunguti sampah-sampah
ini,”
“Apa
aku tampak tak meyakinkan untuk melakukan pekerjaan ini?”
“Bukan,
hanya saja ini bukan hal yang dilakukan kebanyakan orang.”
“Lalu
kenapa kau melakukannya?”
Kau
hanya tersenyum.
“Aku
tahu, ini bukan hanya hal yang tidak biasa dilakukan, tapi juga sulit
dipahami. Kadang sesuatu yang kita permasalahkan adalah hal yang amat
remeh-temeh bagi yang lain. Tidakkah kau merasa begitu?”
Kau
mengangguk.
“Tapi
aku punya alasan. Sampah, aku sangat membencinya! Bukan karena mereka
kotor, tapi mereka juga kejam!” Suara gadis itu terdengar penuh
emosi. Matanya menerawang jauh, seolah kembali pada suatu kenangan
masa silam.
Kau
diam tak menyahuti.
“Dulu
aku terlahir di tengah-tengah sampah, tumbuh di tengah-tengah sampah,
dan hidup dari tumpukan sampah.”
Kau
tetap diam. Kau biarkan gadis bercadar itu melanjutkan
potongan-potongan ceritanya yang tersekat jeda.
“Aku
tak tahu apakah kelak aku juga akan mati di antara sampah, tapi
seluruh keluargaku telah mati di tempat itu. Mereka terbakar bersama
tumpukan sampah, tempat kami hidup dan mengais penghidupan.”
tuturnya dengan suara yang dijadikan tegar, namun matanya
berkaca-kaca menahan gerimis.
Ada
duka yang berkelebat di kedua matanya. Mungkin kau bisa paham betapa
hal itu sangat menyakitkan baginya. Tanpa mencoba untuk mengorek
lebih dalam duka yang membayanginya itu, kau hanya menenangkannya
lewat tatapan matamu yang teduh mendamaikan.
“Mungkin
kami dulu memang bodoh dan bebal,” tutur gadis itu layu. “Kami
tahu sampah bukanlah teman yang baik, tapi kami tak punya tempat lain
yang lebih bersahabat menerima kami untuk tinggal, selain gundukan
sampah, yang telah membawa hidup dan mati kami.” Gadis itu menelan
ludah kelu. “Saat terjadi kebakaran di sebuah pabrik besar dekat
pembuangan sampah tempat kami hidup, api menjalar begitu cepat hingga
ibuku, ayahku, dan saudara-saudaraku ikut hangus di dalamnya. Dalam
sekejap mata, mereka berubah menjadi seongok daging bakar yang
bersimbah lelehan sampah… mengerikan…” Tangis gadis itu
pecah. Ada sungai yang meluap dari kedua mata air yang berjajar di
atas cadarnya. Ia menangis sesenggukan, napasnya tersengal-sengal.
Sambil menangis sesenggukan, ia tetap berjalan sambil menggandar
karung, memunguti tisu toilet yang bertebaran di atas rerumputan yang
tergilas.
Malam
telah menjalar ke kaki pagi setelah tangis gadis itu reda. Udara kian
jalang menusuk tulang, hingga mungkin kalian dapat merasakan nyeri
itu merambat di sekujur tubuh. “Kurasa sekarang kita harus kembali
ke perkemahan,” ujarmu sambil menatap mata gadis itu lekat-lekat.
“Bukankah besok kau akan naik? Aku juga akan turun dan pulang
menempuh perjalanan panjang. Kita butuh istirahat,”
“Baiklah,”
ia menyahutimu sambil tersenyum. Matanya yang masih merah tampak
bersinar kembali menyungging senyuman. Sesaat aku iri pada gadis itu,
bahkan dengan kedua matanya yang sembab, ia masih bisa memberimu
sebuah senyuman.
Malam
itu, waktu berjalan begitu cepat. Meski di Kumbolo tak pernah ada
hari dan penanggalan, tapi aku bisa merasakan kehangatan waktu yang
berjalan bersama tekad dan kenangan. Dalam perjalanan itu, kalian
telah mendulang sebuah keajaiban. Kalian jadikan malam tak
bergemintang menjadi penuh arti dengan tangis, tawa, kenangan, tekad,
serta hal-hal yang tak mudah dipahami.
*
Fajar
tak menggariskan cahayanya di lintasan pagi. Mendung bergelayutan
memayungi rumahku, membuat langit tampak abu-abu. Aku melihatmu
keluar dari rumah keong tempat kau mengais-ngais waktu untuk tidur.
Bersama beberapa manusia, kau telanjangi rumah keong itu lepas dari
pelataranku. Apakah kau akan segera pergi? Aku merasakan ada sesak
yang berdentum dalam dadaku. Aku tahu kau tak mungkin selamanya
berada di sini, tapi tak bisakah kau tinggal sedikit lebih lama lagi?
Andai
saja aku bisa menyibak kumulonimbus, matahari akan terlihat gagah
membelah dua bukit di ujung ekorku. Pagi itu hari terlihat petang.
Tak beberapa lama kemudian hujan lebat mendera tubuh perkemahan. Kau
belum sempat pergi. Aku senang, setidaknya kau akan tetap berada di
sini untuk beberapa saat lagi.
Kau
memburu teduh di teras sebuah bangunan yang berdiri di sudut
halamanku. Kau dapati gadis itu telah berada di sana. Ia memanggul
tas besar yang tampak penuh muatan.
“Kau
akan segera turun?” gadis itu menegurmu lebih dulu, sama seperti
sebelum-sebelumnya.
“Iya,
segera setelah hujan reda. Kau juga akan segera melanjutkan
perjalananmu memburu puncak, kan?
“Iya.
Tapi tidakkah kau merasa ada yang tertinggal?”
“Tertinggal?”
Bola matamu berputar mencari-cari apa yang mungkin ia maksudkan.
Gadis
itu membuka cadarnya. Disodorkannya tangan kanannya kepadamu. “Namaku
Seruni. Kita telah banyak berbagi, tapi kita bahkan tak sedikit pun
menyinggung nama masing-masing.” ujar gadis itu disusul tawa kecil.
Kau
terperanjat mendapati wajah di balik cadar itu. Matamu membelalak
seketika, tanpa sempat kau sembunyikan denyut ganjil yang membuatmu
tercengang. Matamu tampak gugup mendapati gadis itu menangkap
gelagatmu. Kau mengulurkan tanganmu setelah beberapa lama.“Aku
Dewangga. Kau bisa memanggilku apa saja semaumu,” cetusmu kemudian.
Bahasa tubuhmu menyatakan rasa bersalah atas secuil ekspresi yang
terungkap diwajahmu tanpa bisa dikendalikan.
Wajah
gadis itu terkelupas. Kulitnya bergerigi, berwarna merah biru
kehitaman. Bibirnya tak terbentuk, seperti habis meleleh. Di
sana-sini ada bekas luka bakar yang telah mengering. Kau bisa menebak
apa yang telah menimpanya.
“Kau
pasti kaget melihatnya,” ujar gadis itu sambil menutup kembali
cadarnya. “Tapi aku bersyukur, hanya terbakar sebatas ini. Aku
masih bisa bertahan hidup dan berbuat kebaikan untuk orang lain.
Setelah peristiwa itu, aku memulai hidup yang jauh lebih baik
daripada sebelumnya. Aku kehilangan orang-orang yang kucintai, tapi
aku tak punya cara lain untuk membuat mereka di sana merasa senang,
kecuali meneriman semua ini dengan tegar dan punya tekat untuk
bertahan.” Gadis itu terlihat tegar memaparkan apa yang selama ini
ia tanggung. Mungkin ia merasa wajah itu bukan suatu hal yang patut
untuk ditangisi dan disesali.
***
Perlahan-lahan
hujan mulai menjinak. Angin dengan tangkas mengusir sisa-sisa mendung
yang menjatuhkan gerimis. Sebelum matahari berpongah di
tengah-tengah, hari sudah tampak kembali cerah.
“Aku
suka tempat ini, karena semua yang ada di sini begitu ajaib dan
mengesankan. Kau lihat, kan? Baru saja hujan turun dengan sangat
jalang, tapi tanpa sempat aku beranjak, langit kembali hidup dan
berwarna.”
“Aku
juga suka tempat ini, sangat suka. Alam dan manusia-manusia
sepertimu, mereka amat mengagumkan!”ujar gadis itu menimpali.
“Kuharap,
entah kapan kita akan bertemu lagi, aku pergi…” kau berpamit
sambil tersenyum pada gadis bercadar itu. Sorot matamu menyiratkan
kehangatan, seakan kalian telah saling mengenal dalam waktu yang
lama. Gadis itu membalas senyummu.
Kau
segera mengayuh langkah, meniti jalan pulang. Gadis itu masih
mematung di tempatnya, seolah belum puas dengan pertemuan kalian yang
amat singkat.. Ia mengawasimu hingga kau menghilang di kejauhan,
menghilang di balik rerumputan liar. Tak sedikit pun ia lewatkan
sosokmu yang memanggul tas besar dan dua karung penuh sampah dan
kotoran. Dengan berbagai beban itu, kau tak tampak payah.
Tatapannya
kuyu melepas kepergianmu. Aku yakin, ia pasti merasa kehilangan, sama
seperti aku. Aku menghirup aroma perpisahan yang begitu pekat
menyesakkan. Aku tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menjerit tanpa
suara melepas kepergianmu. Aku bahkan tak bisa mengungkapkan
perasaanku padamu, tak juga bisa mengisyaratkan ungkapan selamat
jalan. Kapan kau akan bertandang ke sini lagi? Kapan kau akan bertamu
ke rumahku lagi? Atau akankah Tuhan mengirimiku manusia-manusia
sepertimu?
*
~Untuk
para pecinta alam. Semoga menjadi pecinta sejati.
Nabilla
Nailur Rohmah, Mahasiswi Fakultas Bahasa dan Sastra Inggris
Universitas Negeri Malang, Malang. Gadis yang tinggal di Pondok
Pesantren Syabilurrosyad Malang ini, selain rajin menulis fiksi
literer juga gemar membaca dan menulis puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar