Oleh Bambang
Kariyawan Ys
Diam. Menakung di lekuk fajar. Lelah menjemput singgasana.
Saat rembulan rebah air mataku selalu menampung. Dua telapak tangan ini
menggenangi air mata yang menetes dari tepian sungai mataku. Tumpah, membanjiri
lantai yang gamang kupijak. Aku mencoba melawan gamang dengan tersenyum pada
siapa saja yang memandangku dengan luka. Tapi tebaran senyum yang kupaksakan
menjadi bumerang ke sudut lukaku. Terasa perih tertanam di liang luka setiap
bibir ini ingin memberikan penjelasan. Susunan huruf yang kususun rebah
berkecai di hamparan kalimat-kalimat rancu. Bahasa bicaraku kehilangan struktur
agar aku bisa menjelaskan mengapa air mataku tak mampu kuasa kubendung.
“Aku lelaki kalah.” Partikel dan senyawa kekalahan itu
menjalar bebas dalam aliran darahku. Lunglai. Pasrah tergulung air mata yang
membusuk. Bau menusuk pori-pori yang tersumbat aroma hampa. Sunyi menusuk
gendang telinga yang rumit mengalir melalui labirinnya. Tak satu pun kesunyian
itu yang bisa kutangkap agar kekalahanku tidak semakin membangkai. Jijik.
Lendir menyisakan belatung yang menarikan jentikan. Mual.
Kala fajar pun kusambut dengan menanak perih. Lembut mentari membakar kata-kata semangat yang coba kubangun. Namun setiap diri ingin bangkit menjaring matahari. Tali-talinya putus direnggut sembilu. Aku kalah dipecundang perih yang kutanak. Api untuk menanak pun ikut-ikutan mengejek dengan lidah-lidah mungilnya.
“Kau bukan saja lelaki kalah! Tapi lebih tepatnya lelaki
hampa!”
Aku hanya bisa pasrah menadah kehilangan itu. Bertafakur di
liang perih. Bertasbih mengumpulkan butiran mukjizat pengurai sedih. Harapan
yang ingin kupeluk menepis dengan jemari dukanya. Aku hanya bisa memeluk pilu
bersama harapan yang terpuruk. Aku lelaki kalah dan hampa, kalah yang telah
berdengkang. Terlempar jauh tak bisa kurengkuh kembali. Pangkin piluku
bergelayut di pucuk air mata. Berayun patah memercik ke penjuru bulu mata yang
tak lagi lentik. Lentik bulu mataku pernah dianggap lentik bulu mata terindah
untuk ukuran seorang lelaki. Banyak perempuan terlupa mengkedipkan matanya bila
memandang lentik bulu mataku. Itu dulu, sebelum aku menjadi lelaki kalah dan
hampa.
Malamku bertabir pesta pilu. Kembang api hatiku memercik dan
membakar luluh lilin gairahku. Dari segala penjuru kuterima pesan perih.
Menghantam arah angin kerontang ke tubuhku. Merobekkan sayap jantanku yang
patah sebelah. Terkulai tak sanggup menggapai rembulan bersabit perih.
Menusukkan sembilu yang rancung ke hulu hatiku. Setiap detik kureguk duka. Menikmati
sembilu yang meresap. Sebutir air mata yang jatuh memperdalam sisi lukaku.
Senyawa pilu kurasakan lincah bereaksi menumpahkan tangis di atas tampah
kesedihan.
“Cengeng, kau! Lelaki itu harus kuat!”
Kalimat itu yang selalu kudengar. Cengeng? Entahlah yang
jelas aku tak mampu membendung anak sungai air mataku untuk tidak mengalir
lagi. Aku terhirup bau anyir air mataku yang menggenang. Bagaimana aku harus
membalas waktuku yang telah terluka? Sedangkan ceruk senduku sudah semakin
mengental. Waktu ke depanku mungkinkah telah terbenam? Menggenang dalam lumpur
yang kugali sendiri? Aku masih punya malam untuk bersujud menangis yang
sebenarnya menangis.
“Tuhan, apa makna air mata ini? Aku tahu dan selalu yakin,
semua ini karena skenario terbaik-Mu untukku. Daun yang jatuh dari pohon saja
karena kehendak-Mu, apalagi air mata umat-Mu yang menetes ke bumi-Mu ini,”
lirihku sambil menyeduh hening malam.
“Apa masalah kau sebenarnya? Setiap hari kerja kau hanya
menangis!”
Pertanyaan yang muncul dari orang-orang di sekitarku. Aku
telah berupaya menjahit luka ini tapi tetap saja peristiwa memalukan itu tak
bisa kuungkapkan. Memalukan? Ya, sangat memalukan.
“Bagaimana kau akan disembuhkan bila kami tak tahu
penyebabnya?”
Dokter, psikiater, dan “orang pintar” yang mengobatiku
selalu bertanya. Setiap jengkal jemari mereka telah menyentuh kantung air
mataku.
“Baru kali ini kami temukan, air mata yang terus mengalir
tanpa henti. Sulit mendefinisikan penyakit apa ini.”
Aku malu dengan kejujuran. Malu membayangkan setiap jengkal
peristiwa yang meluluhlantakkan kelaki-lakianku. Begitulah aku, sejak peristiwa
itu aku hanya bisa mengiris kesunyian. Merenda luka dalam seribu dendam. Renda
yang tak terukur lagi berapa panjang sulaman sunyi ini bermuara.
Di ceruk mataku yang sayu, aku mencoba tertawa mencicipi
luka. Kicauan serindit yang bersembunyi di pohon nibung menyanyikan perindu
membujuk pilu di semenanjung murungku. Nyanyian luka yang menggesek-gesek biola
hariku. Dentingan air mata yang menetes menjadi irama piano duka. Sangat menyedihkan.
“Kau harus sembuh, anakku.”
Ibu meyakinkanku dengan segenap belaian sendunya. Jemarinya
menyentuh bongkahan kata yang runtuh. Namun belum terlalu kuat untuk aku
mengucapkan alasan.
“Bicaralah dengan kata, anakku. Walaupun air matamu sudah
cukup menjelaskan sisi kepedihanmu. Namun ibu perlu bahasa kata agar makna dan
kejelasan dapat ibu rangkum.”
Walau horizon diriku semakin memucat. Gerimis senja yang
datang mempercepat kelam. Sendu yang semakin pekat membuat kelelakianku semakin
rapuh dan meranggas. Kejantanan yang kubentuk terkulai di titik nadir.
“Ada apa sebenarnya denganmu?”
Gadis kecil yang pernah aku coba dekati bertanya dengan
sepenuh hatinya. Namun sejak peristiwa itu senandung hariku selalu bernada
nestapa. Fajarku berbelati luka. Siangku menatap layu. Malamku mengigau sendu.
Lidah ini selalu mengharap manis, namun yang terkunyah ternyata empedu yang
teramat pahit. Kalaku berjalan terasa pilu tercecer diantara keramik. Gadis
kecil yang pernah membuatku tersanjung menjadi lelaki. Gadis kecil yang telah
menebarkan aroma bunga melati dalam harum tubuhku.
Saatku ingin menenangkan diri di pantai, ternyata
menyembulkan berbuih-buih luka. Butiran pasirnya menusuk urat raguku. Sapaan
hutan mangrove hanya menjadi belukar cemas di mataku. Akarnya yang kokoh
menjuntai seolah menohok dua paruku yang terikat pada julurannya. Kelong laut
berganti menjadi lubuk luka yang selalu menggenggam pilu. Kurebahkan sisa-sisa
kelelakianku di tiang-tiang kelong. Menidurkan kelelahan meneteskan air mata
dibuaian sampan rapuh berlumut.
“Aku tak bisa memberi jawaban,” kataku pada gadis kecil yang
mencoba menawarkan kendi air matanya.
“Tak lelahkah kau menyulam air mata? Singkaplah tabir
pilumu! Tidak maukah abang berbagi air mata sama adik. Air mata itu akan adik
tanak menjadi butir-butir embun yang menyejukkan segenap bilur hati kita,”
begitu bujuk gadis kecilku.
“Entahlah … akupun tak tahu. Peristiwa itu memaksaku untuk
memeram air mata di gubuk luka. Lupakan abang, dik. Masa depan abang telah
menyelinap di sela rongga waktu. Gelap dan tak berwarna,” belaku.
Aku sangat tahu, kubangan air mataku menyisakan seringai
kecemasan pada orang sekitarku. Bahkan aku sangat mengerti kalau kolam air
mataku telah melukai peradaban dunia laki-laki. Dunia yang seharusnya
melingkupi kegagahan telah retak seribu dengan sekali sentuh. Bahkan langit pun
ikut menumpahkan air matanya menguak gurat haru setiap rasa. Manis menjadi
tawar, asin berubah hambar, pelangi pun telah memucat, dan mentari lelah
menghangatkan. Iba memandang cekung mataku yang memekat.
Kala sungai meringis. Lelaki itu datang. Mengingatkanku akan
peristiwa itu. Lelaki yang telah menyebarkan bau kedukaan. Perih. Saat lelaki
itu mengambil kelelakianku. Bangsat! Ya, kelelakianku. Hilang dihisap bersama
kebengisan dan baunya nafsu. Senja di rumah petak yang pengap mencatat
kemuakanku. Kebaikan yang ditanam padaku ternyata menyimpan hasrat iblis yang
busuk. Warisan kaum Sodom mengoyak segenap pertahanan iman yang pernah
kubangun.
Aku harus bangkit! Puing-puing puzzle keberanianku
seolah tersusun membentuk kejantananku yang telah raib. Kukumpulkan kendi-kendi
air mata yang telah lama kubanjiri. Kudekati lelaki bangsat itu. Kupecahkan
kepalanya dengan kendi-kendi air mataku. Mampus!*
Bambang Kariyawan Ys, tinggal di Pekanbaru Riau,
seorang guru Ilmu Pasti yang gemar menulis fiksi. Beberapa karyanya telah
mendapat penghargaan dan dibukukan. Ia tekun melakukan penelitian sastra dan
budaya setempat untuk menggali kearifan lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar