Rabu, 15 Januari 2014

Lelaki Berkubang Air Mata


Oleh Bambang Kariyawan Ys
Diam. Menakung di lekuk fajar. Lelah menjemput singgasana. Saat rembulan rebah air mataku selalu menampung. Dua telapak tangan ini menggenangi air mata yang menetes dari tepian sungai mataku. Tumpah, membanjiri lantai yang gamang kupijak. Aku mencoba melawan gamang dengan tersenyum pada siapa saja yang memandangku dengan luka. Tapi tebaran senyum yang kupaksakan menjadi bumerang ke sudut lukaku. Terasa perih tertanam di liang luka setiap bibir ini ingin memberikan penjelasan. Susunan huruf yang kususun rebah berkecai di hamparan kalimat-kalimat rancu. Bahasa bicaraku kehilangan struktur agar aku bisa menjelaskan mengapa air mataku tak mampu kuasa kubendung.
“Aku lelaki kalah.”  Partikel dan senyawa kekalahan itu menjalar bebas dalam aliran darahku. Lunglai. Pasrah tergulung air mata yang membusuk. Bau menusuk pori-pori yang tersumbat aroma hampa. Sunyi menusuk gendang telinga yang rumit mengalir melalui labirinnya. Tak satu pun kesunyian itu yang bisa kutangkap agar kekalahanku tidak semakin membangkai. Jijik. Lendir menyisakan belatung yang menarikan jentikan. Mual.

Kala fajar pun kusambut dengan menanak perih. Lembut mentari membakar kata-kata semangat yang coba kubangun. Namun setiap diri ingin bangkit menjaring matahari. Tali-talinya putus direnggut sembilu. Aku kalah dipecundang perih yang kutanak. Api untuk menanak pun ikut-ikutan mengejek dengan lidah-lidah mungilnya.
“Kau bukan saja lelaki kalah! Tapi lebih tepatnya lelaki hampa!”
Aku hanya bisa pasrah menadah kehilangan itu. Bertafakur di liang perih. Bertasbih mengumpulkan butiran mukjizat pengurai sedih. Harapan yang ingin kupeluk menepis dengan jemari dukanya. Aku hanya bisa memeluk pilu bersama harapan yang terpuruk. Aku lelaki kalah dan hampa, kalah yang telah berdengkang. Terlempar jauh tak bisa kurengkuh kembali. Pangkin piluku bergelayut di pucuk air mata. Berayun patah memercik ke penjuru bulu mata yang tak lagi lentik. Lentik bulu mataku pernah dianggap lentik bulu mata terindah untuk ukuran seorang lelaki. Banyak perempuan terlupa mengkedipkan matanya bila memandang lentik bulu mataku. Itu dulu, sebelum aku menjadi lelaki kalah dan hampa.
Malamku bertabir pesta pilu. Kembang api hatiku memercik dan membakar luluh lilin gairahku. Dari segala penjuru kuterima pesan perih. Menghantam arah angin kerontang ke tubuhku. Merobekkan sayap jantanku yang patah sebelah. Terkulai tak sanggup menggapai rembulan bersabit perih. Menusukkan sembilu yang rancung ke hulu hatiku. Setiap detik kureguk duka. Menikmati sembilu yang meresap. Sebutir air mata yang jatuh memperdalam sisi lukaku. Senyawa pilu kurasakan lincah bereaksi menumpahkan tangis di atas tampah kesedihan.
“Cengeng, kau! Lelaki itu harus kuat!”
Kalimat itu yang selalu kudengar. Cengeng? Entahlah yang jelas aku tak mampu membendung anak sungai air mataku untuk tidak mengalir lagi. Aku terhirup bau anyir air mataku yang menggenang. Bagaimana aku harus membalas waktuku yang telah terluka? Sedangkan ceruk senduku sudah semakin mengental. Waktu ke depanku mungkinkah telah terbenam? Menggenang dalam lumpur yang kugali sendiri? Aku masih punya malam untuk bersujud menangis yang sebenarnya menangis.
“Tuhan, apa makna air mata ini? Aku tahu dan selalu yakin, semua ini karena skenario terbaik-Mu untukku. Daun yang jatuh dari pohon saja karena kehendak-Mu, apalagi air mata umat-Mu yang menetes ke bumi-Mu ini,” lirihku sambil menyeduh hening malam.
“Apa masalah kau sebenarnya? Setiap hari kerja kau hanya menangis!”
Pertanyaan yang muncul dari orang-orang di sekitarku. Aku telah berupaya menjahit luka ini tapi tetap saja peristiwa memalukan itu tak bisa kuungkapkan. Memalukan? Ya, sangat memalukan.
“Bagaimana kau akan disembuhkan bila kami tak tahu penyebabnya?”
Dokter, psikiater, dan “orang pintar” yang mengobatiku selalu bertanya. Setiap jengkal jemari mereka telah menyentuh kantung air mataku.
“Baru kali ini kami temukan, air mata yang terus mengalir tanpa henti. Sulit mendefinisikan penyakit apa ini.”
Aku malu dengan kejujuran. Malu membayangkan setiap jengkal peristiwa yang meluluhlantakkan kelaki-lakianku. Begitulah aku, sejak peristiwa itu aku hanya bisa mengiris kesunyian. Merenda luka dalam seribu dendam. Renda yang tak terukur lagi berapa panjang sulaman sunyi ini bermuara.
Di ceruk mataku yang sayu, aku mencoba tertawa mencicipi luka. Kicauan serindit yang bersembunyi di pohon nibung menyanyikan perindu membujuk pilu di semenanjung murungku. Nyanyian luka yang menggesek-gesek biola hariku. Dentingan air mata yang menetes menjadi irama piano duka. Sangat menyedihkan.
“Kau harus sembuh, anakku.”
Ibu meyakinkanku dengan segenap belaian sendunya. Jemarinya menyentuh bongkahan kata yang runtuh. Namun belum terlalu kuat untuk aku mengucapkan alasan.
“Bicaralah dengan kata, anakku. Walaupun air matamu sudah cukup menjelaskan sisi kepedihanmu. Namun ibu perlu bahasa kata agar makna dan kejelasan dapat ibu rangkum.”
Walau horizon diriku semakin memucat. Gerimis senja yang datang mempercepat kelam. Sendu yang semakin pekat membuat kelelakianku semakin rapuh dan meranggas. Kejantanan yang kubentuk terkulai di titik nadir.
“Ada apa sebenarnya denganmu?”
Gadis kecil yang pernah aku coba dekati bertanya dengan sepenuh hatinya. Namun sejak peristiwa itu senandung hariku selalu bernada nestapa. Fajarku berbelati luka. Siangku menatap layu. Malamku mengigau sendu. Lidah ini selalu mengharap manis, namun yang terkunyah ternyata empedu yang teramat pahit. Kalaku berjalan terasa pilu tercecer diantara keramik. Gadis kecil yang pernah membuatku tersanjung menjadi lelaki. Gadis kecil yang telah menebarkan aroma bunga melati dalam harum tubuhku.
Saatku ingin menenangkan diri di pantai, ternyata menyembulkan berbuih-buih luka. Butiran pasirnya menusuk urat raguku. Sapaan hutan mangrove hanya menjadi belukar cemas di mataku. Akarnya yang kokoh menjuntai seolah menohok dua paruku yang terikat pada julurannya. Kelong laut berganti menjadi lubuk luka yang selalu menggenggam pilu. Kurebahkan sisa-sisa kelelakianku di tiang-tiang kelong. Menidurkan kelelahan meneteskan air mata dibuaian sampan rapuh berlumut.
“Aku tak bisa memberi jawaban,” kataku pada gadis kecil yang mencoba menawarkan kendi air matanya.
“Tak lelahkah kau menyulam air mata? Singkaplah tabir pilumu! Tidak maukah abang berbagi air mata sama adik. Air mata itu akan adik tanak menjadi butir-butir embun yang menyejukkan segenap bilur hati kita,” begitu bujuk gadis kecilku.
“Entahlah … akupun tak tahu. Peristiwa itu memaksaku untuk memeram air mata di gubuk luka. Lupakan abang, dik. Masa depan abang telah menyelinap di sela rongga waktu. Gelap dan tak berwarna,” belaku.
Aku sangat tahu, kubangan air mataku menyisakan seringai kecemasan pada orang sekitarku. Bahkan aku sangat mengerti kalau kolam air mataku telah melukai peradaban dunia laki-laki. Dunia yang seharusnya melingkupi kegagahan telah retak seribu dengan sekali sentuh. Bahkan langit pun ikut menumpahkan air matanya menguak gurat haru setiap rasa. Manis menjadi tawar, asin berubah hambar, pelangi pun telah memucat, dan mentari lelah menghangatkan. Iba memandang cekung mataku yang memekat.
Kala sungai meringis. Lelaki itu datang. Mengingatkanku akan peristiwa itu. Lelaki yang telah menyebarkan bau kedukaan. Perih. Saat lelaki itu mengambil kelelakianku. Bangsat! Ya, kelelakianku. Hilang dihisap bersama kebengisan dan baunya nafsu. Senja di rumah petak yang pengap mencatat kemuakanku. Kebaikan yang ditanam padaku ternyata menyimpan hasrat iblis yang busuk. Warisan kaum Sodom mengoyak segenap pertahanan iman yang pernah kubangun.
Aku harus bangkit! Puing-puing puzzle keberanianku seolah tersusun membentuk kejantananku yang telah raib. Kukumpulkan kendi-kendi air mata yang telah lama kubanjiri. Kudekati lelaki bangsat itu. Kupecahkan kepalanya dengan kendi-kendi air mataku. Mampus!*

Bambang  Kariyawan Ys, tinggal di Pekanbaru Riau, seorang guru Ilmu Pasti yang gemar menulis fiksi. Beberapa karyanya telah mendapat penghargaan dan dibukukan. Ia tekun melakukan penelitian sastra dan budaya setempat untuk menggali kearifan lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar