Oleh Sugiarti
Ia tak ubahnya pohon. Meliuk ke sana ke mari menyambangi
kami, saban hari. Dari pagi yang menguning hingga langit memerah di sebelah
barat. Kulitnya legam, meski sebenarnya ia bekerja di ruang-ruang yang teduh.
Tapi ia tak sempat merawat kulitnya. Walau, sekadar mengusapkan spoon ke
tubuh. Apalagi memakai lulur bermerk mahal. Tidak. Dia membiarkan
kulitnya hitam mengeras, dijalari urat-urat beton varises di sebagian kakinya.
Tangannya lebih mirip amplas. Meski tangan itu kami akui sebagai satu-satunya
tangan paling rajin di tempat ini. Di pandangan kami dan di pandangan setiap
mata yang pernah menatap tangan itu.
Kami menjulukinya Lelaki Pohon. Bukan lantaran postur
tubuhnya yang menjulang melampaui dahan-dahan yang menyerempet mengenai
tubuhnya, tidak. Tetapi, karena kami telah bersepaham, lelaki itu telah menyatu
dengan kehidupan kami. Sejak dulu, sejak awal kampung kami dibangun. Ia telah
menunggui kami, dari semenjak pagi, siang, petang, malam bahkan. Orang-orang tak
ada yang seperti dia. Entah karena mereka yang malas atau pun pria itu yang
terlampau rajin, kami tak peduli. Yang jelas, dia telah menunggui kami, setia
dan sangat setia.
Ia terlalu setia menjaga kami. Seperti ia mungkin merawat anak-anaknya kelak. Bila tubuhnya letih menari-nari di bawah batang sawit, ia pun merebahkan punggungnya. Tangannya tak pernah lepas dari sebotol air bening yang ia selipkan di sabuk kumalnya. Ia mereguk air itu sampai tuntas. Tak ada aura letih di sorot mata teduhnya. Mungkin tersebab ia ikhlas, itulah sajalah dugaan kami. Tak ada upah istimewa yang ia terima dari majikannya. Meski ia terbilang tukang panen sawit yang berprestasi. Tapi orang-orang kampung sana terlalu medit untuk sekedar memberi apresiasi. Seribu rupiah pun diminta kembali. Lelaki itu pun selalu punya persediaan uang ribuan. Di setiap kali ujung bulan, uang itu ia persiapkan untuk mengembalikan sisa gaji panen milik majikan yang selalu diminta.
Itu menjadi salah satu sebab mengapa kami terus mengakui
sosok itu sebagai Lelaki Pohon. Ia tegar merawat pohon-pohon milik orang lain.
Padahal sampai detik ini, upah yang ia terima belum mampu membeli sebatang
pohon sawit pun seperti layaknya yang dimiliki orang-orang di kampung ini.
Bukan ia yang tak berhemat, tetapi karena standar upah di sini terlalu murah.
Ditambah lagi biaya hidup yang tak manusiawi. Siapa yang salah?
Lelaki Pohon, ya si Pemuda itu bernama Samin. Ia hanya
menjalani takdir. Takdir ketika ia harus terus setia bersama kami. Hingga suatu
ketika, kami mengira, Tuhan ingin menguji kesetiaannya dalam merawat dan
menjaga kami. Seorang laki-laki berbadan gemuk dengan celana pendek sebatas
lutut datang menghampirinya dengan penuh semangat.
“Rajin sekali kau Min merawat kebun ini, memangnya berapa
gajimu?”
“Tidak ada yang istimewa, aku bekerja seperti biasa saja.
Gaji juga sesuai standar pasaran.”
“Beruntung sekali majikanmu. Tapi aku bisa memberimu
tambahan bonus gaji Min, asal kita bisa bekerja sama.” Lelaki bertubuh gemuk
itu tersenyum penuh makna.
“Maksud Bang Pandi?” Samin yang lugu bertanya dengan polos.
“Jumlah batang sawit bosmu ini terlalu banyak Min.
Hitungannya bisa lebih dari ukuran satu kaplingan sawit. Untuk keuntunganmu
juga, ada baiknya sehari sebelum waktu penimbangan buah, beberapa tandan kau
angkat dan titipkan di tempatku. Si tua bosmu itu tak akan tau. Dia sudah
sangat percaya padamu dan jarang pula datang kemari menjenguk kebunnya
sendiri.”
Samin malah bingung mendengar penuturan lelaki yang ia
panggil Bang Pandi. Mungkin dalam benaknya mulai berperang bisikan-bisikan
jahat. Benar kata Bang Pandi, kalau ia mau berbuat berani sedikit saja, tentu
ia akan mendapatkan gaji yang lebih. Terbentang segera wajah-wajah adiknya di
kampung. Dua bulan lagi dua adiknya harus melanjutkan sekolah ke SLTA dan bangku
kuliah. Satu bulan lagi tagihan hutang ayahnya sudah jatuh tempo. Kalau hanya
mengandalkan gaji lima ratus ribu yang ia terima dari bosnya setiap bulan tak
akan cukup. Harus ada cara mendapatkan uang tambahan dalam waktu dekat. Tapi
sekilas terbayang pula wajah tua Pak Teguh majikannya. Ia begitu menghormati
lelaki tua itu meski uang seribu saja tetap ia kembalikan karena diminta.
“Bagaimana, Min?”
“Aku…aku belum bisa jawab sekarang Bang. Aku masih takut.”
“Hmmm, kau memang masih terlalu polos. Tapi kau juga harus
pikirkan nasibmu Min. Sampai kapan kau mau jadi tukang panen begini? Gaji tak
pernah naik, boro-boro punya kebun sawit. Aku tunggu keputusanmu.” Lelaki itu
berucap sinis sambil berlalu.
Kami benci lelaki gemuk itu, sangat benci. Ia telah membuat
lelaki kami mulai tergoda untuk berbuat curang. Lihat lah sekarang ia duduk
termenung. Seharusnya sekarang ia memunguti pelepah-pelepah sawit yang ia
patahkan beberapa jam lalu. Kini ia nampak sangat gusar. Kami berdoa dan terus
berdoa, jangan ikuti ajakan lelaki setan itu, Min. Teruslah menjadi Lelaki
Pohon, pahlawan bagi kami.
*
Samin benar-benar menjadi Lelaki Pohon. Ia kebanggaan
kami, seperti bangganya ia merawat kami saban hari. Kami ingin melonjak-lonjak
kegirangan ketika mendengar keputusan Samin di hadapan Bang Pandi. Dengarlalah,
dengarlah ini penuturan pemuda jujur itu.
“Maaf Bang, sudah aku pikirkan masak-masak, aku tak bisa
mengikuti keinginanmu.”
“Lho kenapa? Tawaranku itu cukup bagus Min. Dalam sebulan
gajimu bisa berlipat. Kau tak akan jadi buruh murahan lagi.”
“Aku tau itu Bang, tapi aku kasihan kepada sawit-sawit itu.”
“Kasihan kenapa? Bosmu saja tak pernah kasihan kepadamu.
Lihat saja, sudah hampir delapan tahun kau kerja dengannya, tapi uang seribu
saja masih dia minta.”
“Tak apalah Bang, uang seribu itu kan memang bukan hakku.”
“Kau ini Samin, kau bisa menyesal dikemudian hari.”
“Aku tak kan menyesal Bang. Aku mau kerjaku tetap setia pada
kebaikan. Meskipun selamanya aku menjadi buruh murahan.”
“Tapi Samin, apa kau tak pernah berpikir untuk meningkatkan
taraf hidupmu. Menikah misalnya? Punya kebun sendiri.”
“Tentu saja aku berpikir Bang, tapi tidak dengan cara yang
buruk seperti itu.”
“Bosmu itu kalau tidak dicurangi tidak akan pernah paham.
Pelitnya itu sudah mendarah daging. Makanya karyawannya cuma kau, karena kau
yang paling nurut dan tidak pernah protes.”
“Tak apa Bang, aku yakin suatu hari dia akan berubah.”
Diam dan kesal, Bang Pandi berlalu sambil terus
geleng-geleng kepala. Dan kami ingin sekali menjerit-jerit bahagia sambil berterimakasih
kepada pahlawan kami. Lelaki Pohon, ia begitu sempurna mendapatkan julukan itu.
*
Lelaki Pohon itu kembali menjalani hari-harinya dengan penuh
kesetiaan. Ia harus sering-sering tutup telinga dengan omongan orang.
Mungkin banyak orang-orang yang kasihan pada nasib lelaki itu, tapi ia begitu
setia dan sangat setia. Setia kepada lelaki yang nyaris renta bernama Teguh.
Seluruh warga di kampung itu mengatakan Teguh keterlaluan
kepada Samin. Tapi Samin tak pernah terpengaruh. Ia bahkan semakin rajin
membersihkan kaplingan sawit seluas dua hektar yang diamanahkan padanya. Ia
yakin, kesetiaan akan membuahkan kebahagiaan. Meski jujur, ia tak tahu kapan.
Apakah sampai lelaki renta itu meninggal?
Oh tidak, Samin tak ingin berprasangka buruk pada takdir. Itu
tak pernah ada dalam kamus hidupnya. Meskipun ia terlahir menjadi miskin jelata
seperti kata orang. Cukuplah nasehat ayahnya dulu jadi pedoman, ‘Le, jadi
bocah sing jujur setia, Insya Allah urepmu bakal seneng.’
Tapi entah kapan wejangan ayahnya itu bakal terwujud,
mungkin lima tahun lagi, sepuluh tahun atau bahkan belasan tahun yang akan
datang, ia tak tahu. Yang penting, ia terus jujur dan setia, menjadi lelaki
pohon yang akan dikenang zaman. Miskin itu akan menjadi mulia, bila dikemas
dengan jujur dan setia. Itulah motto hidup Samin. Motto yang tak pernah
dimengerti oleh warga kampung tempat ia tinggal.
Pagi itu ada secercah harapan di wajah Samin. Saat ia
mendapat kabar bahwa Pak Teguh ingin bertemu dengannya. Ia berharap, inilah
akhir dari kesetiaan yang bertahun-tahun ia rawat. Ia yakin, petuah ayahnya
akan jadi kenyataan. Anak yang menurut nasehat orang tua biasanya akan selalu
bahagia. Faktanya begitu dalam kehidupan. Samin pun begitu mantap. Pagi sekali
ia mempersiapkan diri mendatangi rumah bosnya. Rumah berdesain minimalis modern
dengan nuansa warna abu-abu yang berdiri megah. Pagi masih sangat basah.
Sampai-sampai bulu mata Samin pun masih rapat tertutup embun yang turun seperti
kristal-kristal es. Ia sedang menunggu keberuntungan dari butiran kristal itu.
“Min, saya ingin menyampaikan sesuatu ke kamu.”
“Ya Pak, soal apa ya Pak?”
“Sebelumnya saya minta maaf Min. Keponakan saya baru datang
dari Jawa, dia sedang mencari kerjaan di sini.”
“Oh ya, saya sudah sempat melihat dia kemarin, Pak.”
“Ya. Tapi hal ini ada hubungannya dengan kamu. Saya minta
maaf Min, mulai pekan depan, keponakan saya yang akan bekerja merawat
sawit yang saya amanahkan ke kamu. Kebun sawit yang lain terlalu jauh,
keponakan saya maunya kapling yang kamu panen itu.”
Dunia seolah runtuh. Samin bungkam seketika. Pikirannya
berkecamuk. Sekilas terbayang wajah Bang Pandi, ayahnya serta adik-adiknya.
Apakah ia harus menyesali keputusannya kemarin menolak usulan Bang Pandi? Toh,
nyatanya hari ini Pak Teguh malah memecatnya. Jauh sekali dari harapan yang ia
inginkan. Tidak, Samin menepis semua pikiran-pikiran buruk di kepalanya. Ia
berusaha mengembangkan senyum rapuhnya di hadapan lelaki yang telah
bertahun-tahun menggajinya dengan jumlah tak layak.
“Ya Pak, tak apa-apa. Kalau keponakan Bapak maunya begitu ya
tidak apa-apa. Saya bisa cari tempat lain untuk bekerja.”
“Maafkan saya ya Samin.”
Cuma itu ungkapan terakhir Pak Teguh. Tak ada amplop
pesangon yang sempat terlintas di kepala Samin. Yang ada hanya sebuah senyum
tipis lelaki senja di balek cerutu. Senyum yang tentu saja sama sekali tak
dibutuhkan oleh Samin.
Berita pemecatan Samin menjadi duka nestapa bagi kami. Bukan
hanya karena kami akan kehilangan Lelaki Pohon, lebih dari itu keponakan Pak
Teguh ternyata sangat jahat merawat kami. Ia berhasil dirayu Bang Pandi dan
akhirnya bersekongkol dengan toke sawit itu. Hampir disetiap musim
panen, tak kurang dari dua angkong sawit milik Pak Teguh melayang ke Tempat
Pemungutan Hasil (TPH) milik Bang Pandi. Mereka berbagi keuntungan. Sementara
Pak Teguh tak pernah tahu dan tak mengamati. Ia sangat menyayangi
keponakannya itu.
Sekarang kami hanya bisa berdoa. Siang malam kami berharap
agar perangai keponakan Pak Teguh segera terbongkar. Ia sangat jahat menjaga
kami. Rumput dan dahan kami tak pernah dibersihkan. Bahkan teman-temanku yang
belum layak dipanen pun ia paksa turunkan. Berondolan berserakan di tiap
bawah batang sawit. Sementara pasar pikul sawit dibiarkan menjadi semak
belukar. Kami ingin menjerit, berteriak dan mengadu kepada pemilik kami. Tapi
Pak Teguh sama sekali tak pernah menyambangi. Ia hanya ingat ketika kami
telah menjadi lembaran-lembaran rupiah.
Kami masih terus begini. Hidup tanpa perawatan. Seolah hanya
menjadi sapi perah bagi semua orang. Kami rindu Lelaki Pohon. Ia telah
menghilang bak ditelah bumi. Semenjak hari itu, ketika lelaki tua itu
memisahkan kami dengan dirinya. Ia raib entah ke mana. Tak ada yang tahu. Yang
jelas, Bang Pandi orang yang paling bahagia dengan kepergian lelaki kami.
Akankah kami terus begini? Tidak! Kami berusaha menentang takdir dengan doa.
Siang dan malam kami berharap hal buruk ini segera berlalu. Kami tak ingin satu
persatu dari kami mati secara mengenaskan karena sering diperah buahnya secara
tidak layak. Tuhan, kami menunggu tanganMu menyentuh kami. Menghalau
kekejaman lelaki muda tak tau diuntung keponakan Pak Teguh. Atau Bang Pandi si
pencuri yang tak tau malu itu.
Kami tak mengerti kenapa ada manusia berputus asa dengan
doa. Kami tidak. Kami percaya kekuatan doa. Buktinya Tuhan mengabulkan doa
kami. Suatu malam yang pekat, kami dikejutkan oleh dua sosok makhluk berbaju
hitam. Mereka manusia, liar dan sadis. Mereka menggerayangi kami, mengambil buah-buah
kami tanpa sisa. Makhluk-makhluk itu mengangkut buah-buah kami ke atas sebuah
mobil box dengan ukuran yang lumayan besar. Kami tak bisa berbuat apa-apa.
Makhluk-makhluk terlalu lincah dan gesit. Yang bisa kami saksikan hanyalah
ketika di pagi hari warga sekitar pemilik kebun-kebun di sini mengikat seorang
lelaki berbaju hitam pekat. Mungkin makhluk yang kami lihat tadi malam. Hohhh….
lelaki itu tak asing lagi bagi kami, dialah keponakan Pak Teguh.
“Tangkap ninja sawit itu!” semua orang berteriak kompak.
Kami lihat Pak Teguh menutup wajah malu di antara kerumunan wajah-wajah yang
terus saja mengelilinginya. Kami tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Keponakan Pak Teguh diborgol dan dibawa pergi oleh massa. Pak Teguh menatap
kami sebentar, lalu ia pun berlalu dengan wajah sedih.
*
Lelaki Pohon itu tiba. Kami histeris menyaksikannya.
Ia kini bukan seperti yang dulu kami kenal. Ia datang dengan sebuah mobil
baru. Ia menyalami Pak Teguh. Ia telah berubah. Bajunya sekarang lebih
berwarna cerah, tak seperti dulu yang sulit kami sebutkan warnanya. Mereka
berbincang-bincang.
“Maafkan saya Samin, semenjak kamu pergi, kebun saya jadi
rusak total. Tapi sekarang sedang dalam tahap perbaikan. Kalau kamu tak
keberatan, kamu bisa membeli kebun ini. Jangan khawatir, harganya pasti saya
diskon.”
“Saya memang sudah lama menyukai kebun Pak Teguh ini. Tapi
baru sekarang saya punya uang untuk membelinya.”
“Kamu hebat, Samin.”
“Apanya yang hebat, Pak? Saya baru punya mobil satu,
Bapak punya tiga mobil.”
“Tapi kamu seorang pebisnis sawit sekarang, sedang saya
hanya pemilik kebun sawit.”
Kami melihat Lelaki Pohon itu tersenyum. Seperti
senyum kami yang terus merekah, bangga akan dia. Kami juga bahagia akan menjadi
milik lelaki itu. Lelaki Pohon, yang bertahun-tahun merawat dan menjaga kami
dengan keikhlasan dan ketelatenan. Kini meski bukan ia lagi yang merawat kami,
setidaknya kami akan selalu melihat Lelaki Pohon menyambangi kami. *
Sugiarti, tinggal di Pekanbaru Riau. Ia mengaku sebagai Ghost
Writer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar