Sabtu, 18 Januari 2014

Mejikuhibiniu


Oleh Irma Kurniasih
            “Benarkah putih itu sebenarnya bukan warna? Melainkan spektrum di mana seluruh warna diwakilkan kehadirannya. Ya! Seluruh warna, contohnya Mama, Papa, orang itu, dan orang-orang lain dengan warnanya masing-masing. Pernahkah tersadar bahwa keberadaan mereka sangat berharga?”
Abu-abu kehitaman yang melunturkan cerah di awan masih belum puas membuat kami tidak bisa berfotosintesis. Bulir-bulir air mata langit berlomba-lomba menuju titik gravitasi dan menyisakan lapisan mendung di ruang bumi. Aku berpura-pura mengabaikan hujan yang mempermainkan suhu. Membiarkan rinainya membasahi tubuh hijauku yang hanya sehelai dan bergantung pada ranting. Aku menoleh ke arah teman-temanku yang lain. Mereka kuyu. Sebagian sudah berguguran. Sebagian sudah menyatu dengan tanah, menjadi daun kering yang perlahan akan terurai, lalu mati untuk ke sekian kalinya karna terinjak oleh kaki-kaki manusia. Kebisingan hujan memekik, mengelupasi panik, dan menghantamkan sarcasme ke jalan sepi dengan bentuk relief menurun tempat pohon kami tumbuh di tepian.
Tunggu! Aku merasa sebuah getaran yang dihentakkan oleh langkah kaki…
Ah, gadis itu lagi! Tubuhnya ringkih. Bola matanya menyembunyikan jutaan rahasia. Bibirnya pucat, sama seperti jiwanya yang telah tersungkur, jatuh dengan sayap berdarah-darah, serta luka fisik dan mental yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengobatinya. Aku melihatnya berlari dari ujung jalan ke arah pohon kami. Pohon yang terletak di dekat pagar rumahnya yang mulai berkarat. Dari air wajahnya, terlihat ia sedang menganyam helai demi helai energi agar kerangka tulangnya mampu tetap tegap. Rasa dingin masih belum puas menertawakannya di kemidi putar berporos emosi. Dan kekosongan jalan seakan belum menghunus tubuh kurusnya dari belakang.
Tiba-tiba gadis itu menghentikan langkah ketika menunduk dan mendapati genangan air yang ia injak mencerminkan wajah keputusasaannya. Ia berusaha menolak argumen itu. Ia tidak percaya pada apapun, bahkan pada harapan yang belakangan ini terlihat mengkhianatinya. Seketika petir dan geluduk mengintimidasi gema. Membuat ia refleks menutup keras kedua telinga. Ia mendongakkan kepala sesaat, lalu memicingkan mata saat melihat apa yang ada di depannya. Ia terdiam memandangi seorang laki-laki berdiri di sebelah pohon kami. Laki-laki yang tengah berteduh di bawah atap dari rumah yang terletak di sebelah rumahnya. Ya! Kau! Laki-laki berambut kecokelatan dengan sebuah kamera yang menggantung di leher.
Suara derap langkah getir gadis itu mengetuk daun telingamu, berusaha mengalahkan kebisingan hujan. Aku terus memperhatikan gadis itu, ia berjalan melawatiku, lalu semakin mendekat ke arahmu. Menyentuh pundakmu dari belakang dengan sentuhan yang biasanya sedingin bongkahan es.
Kau menoleh saat menyadari sentuhan itu. Lalu menatap aneh gadis tak dikenal yang sekarang berdiri di hadapanmu. Gadis berkulit putih pucat dengan pakaian dan rambut kuyup.
Gadis itu mengerutkan keningnya. Lalu membuka mulutnya, “Kau?”
“Hey?” kau tersenyum ramah.
“Kau…” ucap gadis itu lagi dengan nada menggantung dan ragu. “Kau yang menyelamatkan ibuku dua hari yang lalu?”
“Ya.” ucapmu singkat setelah beberapa detik memperlihatkan raut wajah berpikir. Gadis itu memandangmu dengan tatapan redup dan kosong yang sulit kau terjemahkan. Kau membuang muka, menghindar dari tatapan itu. Lalu menganalisis pandangan balik dari hujan di hadapan kalian.
“Kau sedang apa di sini? Apa kau juga selalu menunggu hujan berhenti untuk melihat pelangi?” tanya gadis itu. Bola matanya lalu terarah pada Canon EOS 7D yang menggantung di lehermu, “Apa kau ingin memotret pelangi?”
Senyuman di bibirmu tiba-tiba luntur saat mendengar pertanyaan itu. Bibirmu terkatup rapat tanpa sedikit pun keinginan untuk merespon pertanyaan itu. Aku tahu, kau menuduh bahwa pertanyaan itu hanya halusinasi. Fana. Dan tidak pernah nyata.
“Kenapa?” ucap gadis itu lagi. Tiba-tiba bola matanya membesar, “Kenapa kau menyelamatkannya? Dia bukan ibu kandungku! Seharusnya kau membiarkan kereta menabrak perempuan tuna netra itu.”
Matamu terbelalak tiba-tiba. Mulutmu ternganga. Napasmu tercekat saat mendengar kalimat itu meluncur dari bibir tipisnya. Kau menatap gadis itu penuh emosi, “Dengar! Saya tidak akan memotret pelangi karna saya tidak tahu apa itu warna,”
Kau segera melangkah menjauh. Hujan yang mulai reda berpihak padamu.
Sama sepertiku dan semua manusia yang pernah berlalu-lalang melewati pohon kami, akhirnya secara intuisi kau sadar bahwa gadis itu tidak waras.
“Bukan aku yang iblis!” gadis itu berteriak. “Perempuan tuna netra itulah yang iblis!”
Kau tetap berlari. Mati-matian menulikan telingamu. Jangankan menoleh, peduli pun kau tidak ingin.
“Siapapun namamu, kita sama! Kita sama-sama benci pada pelangi. Pada warna kehidupan.” gadis itu berteriak lagi. Membuatmu menghentikan langkah.
Kau membalikkan badan. “Kau?” ucapmu. Lalu tersenyum ironi, “Jangan pernah mengutuk pelangi, jangan juga membenci warna dalam hidupmu. Saya tidak sama sepertimu! Sedikitpun saya tidak pernah benci pada pelangi.”
Kau kembali melangkah meninggalkannya. Kau segera berlari. Dan lagi-lagi langkahmu terhenti saat kau mendengar sesuatu. Isakan tangis.
Kau menoleh ke belakang. Gadis itu meringkuk duduk di aspal basah. Ia menekuk kedua kakinya, dan memeluknya dengan kedua tangan. Bahunya berguncang menahan tangis. Ia menundukkan kepala sedalam-dalamnya, hingga keningnya menyentuh lutut. Dan aku belum pernah melihat manusia menangis hingga sehebat ini sebelumnya.
Di detik pertama, aku kira kau bisa saja meninggalkan gadis tidak waras ini sendirian. Tapi sepertinya sebuah dorongan impulsif memaksamu untuk diam di tempat. Berdiri mematung menyaksikan gadis itu menangis. Jika aku jadi kau, mungkin aku masih harus berdebat dengan ego saat berpikir apa yang harus dilakukan saat ini. Kau menghela napas getir. Dan perlahan kakimu melangkah lagi medekati gadis itu. Kau berdiri di sampingnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Seakan diam sudah menjadi alat komunikasi yang mentransfer seluruh kekacauan dalam hatimu. Kau bisa melihatnya, gadis itu menggigil kedinginan. Ia masih menangis, dan kau hanya memperhatikan, tanpa memberi isyarat suara atau gerak untuk menghentikannya.
Kau menunduk. Ke arahnya yang masih terduduk. “Kau tidak sekolah?” ucapmu asal. Seolah kalian bukanlah orang asing satu sama lain.
Gadis itu akhirnya berhenti menangis. Lalu menegakkan kepalanya. Ia memberikan gelengan kecil yang hampir tak kasat mata. “Aku sudah lulus SMA.”
“Kau tidak bekerja hari ini? Atau kuliah?” ucapmu lagi, berusaha mencairkan suasana.
Gadis itu kembali menggeleng, “Aku tidak punya cita-cita semenjak perempuan tuna netra itu memisahkan keluarga kami.”
“Sudah! Jangan katakan itu! Kau tidak tahu mengapa saya tidak ingin memotret pelangi, kan? Karna warna itu terlalu indah. Kau tahu? Kau belum terlambat! Tuhan masih memberimu waktu. Sebelum kesempatan itu hilang, ada satu hal yang harus kau lakukan. Sebuah alasan kuat untuk menjawab berapa harga untuk satu detik. Tidak ada kesalahan fatal di dunia ini, yang ada hanya orang-orang yang tidak mau berjuang untuk memperbaiki kesalahan itu sendiri.”
Gadis itu mengerutkan keningnya. Kau hanya tersenyum ke arahnya. Kali ini, kau benar-benar beranjak meninggalkan gadis itu karena tangisannya sudah mulai reda.
“Apa kita akan bertemu lagi?” tanya gadis itu saat kau sudah melangkah.
“Entahlah!” Kau berteriak. Terus berjalan semakin menjauh. “Jika kau percaya kita akan bertemu lagi, kita pasti akan bertemu lagi. Saat iblis dalam tubuhmu sudah keluar. Saat kau tidak punya satu pun alasan untuk menangis kecuali karena kebahagiaan. Saat kau berhasil memperbaiki kesalahanmu sebesar apapun itu. Saat kau bersemangat mengejar cita-citamu sekaligus membahagiakan kedua orang tuamu. Saya tidak akan membenci pelangi, sekalipun saya seorang buta warna monokromasi.”
Sesak. Gadis itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Seketika detak jantungnya berdegup kencang tidak pada getaran yang seharusnya. Ia memandang nanar ke arahmu yang sekarang sudah berlari hingga ke ujung jalan. Ia tetap mempertahankan posisi mematungnya sampai kau menghilang di persimpangan. Terduduk. Tenggelam dalam lamunannya. Tanpa menyadari, orang lain yang entah sejak kapan berada di belakangnya tengah memandangnya pilu.
“Prisa…”
Gadis itu masih bergeming tanpa bergerak sedikitpun. Jangankan untuk menoleh, untuk mengakui bahwa itu adalah namanya saja ia tidak ingin. Kedua bibirnya tetap mengatup. Merasa diam adalah satu-satunya cara beradaptasi pada kenyataan.
“Prisa…” suara itu terdengar semakin lirih.
Seseorang mendekat dan menampakkan tubuhnya di hadapan pohon kami. Papanya. Ia mendekati gadis itu. Menyentuhnya lembut dengan sentuhan yang membuatnya tenang di sisi ketakutan. Lalu meletakkan jaket ke pundak anaknya diiringi satu harapan mustahil yaitu dapat membunuh rasa dingin.
“Prisa, jangan seperti ini, Nak! Berhenti melakukan hal bodoh.” ucapnya. Ia masih menunggu, berharap akan ada sebuah suara atau sepatah kata yang meluncur dari lidah anaknya. Yang kini bukan lagi gadis kecil periang semenjak Tuhan memanggil ibu kandungnya.
Sepasang anak dan ayah itu melakukan percakapan hening dengan durasi datar. Hingga akhirnya salah satu dari mereka, ayahnya, menyerah. Melangkah kembali ke dalam rumah saat sadar, seandainya ia  menarik lengan anaknya secara paksa hanya akan menjadi hal yang sia-sia. Seperti hari-hari sebelumnya.
Gadis itu menatap lurus, ke arah selain utara, barat, timur dan selatan. Entah ke arah mata angin mana. Ia masih belum juga mengerjapkan matanya. Terjebak dalam sekelebat kilasan yang mengancam.
Tiba-tiba ia menoleh dan melempar pandangan ke arahku. Lalu membuka mulutnya, “Aku punya banyak memori, banyak cerita, banyak harapan, sebelum semuanya pergi. Perempuan itu mencoba menggantikan posisi Mama di hatiku. Perempuan itu telah menghancurkan keluargaku bahkan sebelum Mama pergi. Aku benci dia. Aku hampir mencelakakannya di rel kereta. Aku bertemu laki-laki berambut kecokelatan di peron kereta api saat ia menyelamatkan Mama. Lagi… baru saja kami bertemu untuk kedua kalinya. Laki-laki itu tidak benci pada kehidupannya. Dia tidak benci pada pelangi meski ia tidak tahu apa itu warna. Dia… dia membuatku menyesal telah benci pada warna kehidupan. Apa Tuhan masih benar-benar memberiku kesempatan? Apa waktu masih membiarkanku memperbaiki semua kesalahanku? Apa benar tidak ada kesalahan fatal di dunia ini? Apakah kesempatan itu layak untuk orang yang tidak pernah menyadari arti bersyukur?”
*
            Jari-jemari cantik perempuan tuna netra itu meraba-raba pagar rumahnya yang mulai berkarat. Mencari jalan aman saat ia terkunci dalam etalase kegelapan sejak seperempat dekade yang lalu. Napasnya mulai terdengar putus-putus ketika aku mendengar sebuah ancaman, sebuah suara derap langkah kaki, dan sebuah sentuhan tangan.
Ah, Gadis itu lagi!
Kaki-kaki perempuan tuna netra itu dengan cepat bergerak dan terus-menerus menekan aspal, berusaha untuk mundur hingga akhirnya punggung belakangnya terpentok pagar. Perempuan itu tercekat, menyadari ia tidak bisa lagi mundur. Ia segera duduk meringkuk, berusaha menciptakan jarak sejauh mungkin dengan gadis itu.
Perempuan tuna netra itu mati-matian menekan ketakutannya ke dalam jurang tercuram di jiwanya. Sekelebat bayangan akan hal-hal yang pernah ia alami dulu muncul menghantuiku. Ketika beberapa hari lalu, aku melihat jelas gadis itu melakukannya di ambang pintu rumah.
“Saya mohon, jangan…” ucap perempuan tuna netra itu parau. Bibir dan gigi-giginya bergetar hebat. “Jangan sakiti saya lagi, Prisa.”
Tidak!!! Aku tidak bisa berhenti melihat. Gadis itu berdiri tegak, sementara perempuan tuna netra itu kini tengah duduk dan meringkuk menggigil di depannya. Gadis itu kemudian membungkuk, lalu mengangkat bahu perempuan tuna netra itu hingga mereka akhirnya berdiri saling berhadapan.
“Mama…” gadis itu berusaha bicara, meski lidahnya kelu dan beku.
“Mama…” detik selanjutnya gadis itu sudah memeluk perempuan tuna netra itu. Medekapnya hangat. “Mama, Prisa menyesal.”
Perempuan tuna netra itu hanya bisa terperangah tidak percaya. Ini pertama kalinya gadis itu memanggilnya dengan sebutan ‘Mama’. Dan aku mendengarnya lagi. Gadis itu terisak. Lalu perlahan, mereka melepaskan pelukan itu saat menyadarinya.
Perempuan tuna netra itu mencoba menggerakkan tangannya dan meraba wajah gadis di depannya. Basah. Senyap dan lirih butiran-butiran kristal itu menetes dari matanya dan mengaliri pipinya. Ya! Gadis itu benar-benar menangis.
Gadis itu kemudian membungkuk lalu bertekuk lutut di hadapan ibu tirinya. “Mama ngga perlu maafin Prisa, Prisa ngga pantas mendapatkannya. Prisa janji, Prisa akan perbaiki semuanya. Jika masih layak, Prisa ingin berusaha menjadi anak yang menyayangi Mama seperti sepasang anak dan ibu kandung lainnya. Prisa mau! Prisa mau sayang sama Mama… Itu pun jika Mama mengizinkan.”
*
            Tentang sehelai daun yang duduk di kursi penonton dalam drama nyata yang diperankan oleh seorang gadis. Drama nyata dengan setting sebuah rumah bergaya gothic classic yang pagarnya mulai berkarat. Sebuah pohon belimbing berdiri kokoh di dekat pagarnya. Sebuah pohon tempat kami hidup lalu mati dalam hitungan hari. Berfotosintesis tiap energi panas terbesar di dunia menjadi lampu sorot drama ini. Bekerja sama dengan keluarga besar di pohon ini untuk menghasilkan oksigen sebagai salah satu royalti bagi tokoh-tokoh di dalamnya. Menunggu takdir gugur sambil mengamati tiap jengkal aktivitas yang terjadi di halaman rumah, jendela kamar yang kadang terbuka, dan ambang pintu rumah di hadapan kami. Ini hanya lembaran-lembaran kertas. Yang ditulis oleh seorang gadis yang dulu tidak percaya pada harapan dan kebahagiaan. Gadis anti sosial yang bernapas nyaris tanpa interaksi luar.
Waktu membuatku memahaminya. Tiap cahaya matahari yang dipantulkan bulan berpijar memasuki jendela kamarnya yang terbuka di malam-malam ekuivalen, gadis itu pasti akan menuliskannya. Sebuah cerita. Ia menciptakan karakter-karakter dongeng agar ia tidak merasa kesepian. Karakter-karakter dongeng itu hidup dalam hatinya. Dia hidup dalam dunia yang nyaris tanpa benang pembatas antara fana dan nyata, normal dan irasional, juga logis dan sinting. Karakter-karakter dongeng itu tidak pernah mengkhianatinya atau membiarkannya menangis. Gadis itu sangat hebat dalam hal menyembunyikan kerapuhannya. Mereka tidak pernah tahu bahwa gadis itu jauh lebih rapuh dari kelihatannya. Bahkan lebih rapuh dariku. Dalam satu sentuhan saja, ia bisa hancur seperti daun kering yang diremas kuat-kuat dan menghasilkan serpihan-serpihan kecil.
Gadis itu menginginkan kebahagiaan sederhana, yang sekarang ia ekspresikan dalam lembaran-lembaran ini. Ia menuliskan emosi. Mencari-cari kebahagiaan, yang kini ia temukan dengan caranya sendiri. Sekarang gadis itu mencoba lagi. Mengumpulkan puing-puing nyali, serpihan-serpihan harapan, hanya untuk percaya bahwa ia ingin membuatkan sebuah pelangi untukmu. Dia tidak salah ketika dia menemukan seseorang yang mampu membuatnya percaya lagi pada harapan. Kau hanya laki-laki biasa, berambut kecokelatan yang baru ia temui dua kali. Kau bahkan tidak mengenalnya, dan hal terbodoh yang akan ia sesali adalah ia lupa menanyakan siapa namamu. Bagaimana bisa kau memberinya energi sekuat ini hingga ia ingin bangkit dari keterpurukannya? Bagaimana bisa kau membuatnya ingin berhenti mencari alasan untuk menangis, berhenti untuk benci pada pelangi, berhenti untuk menghindar dari kenyataan, dan mengejar cita-citanya lagi?
“Apa seperti ini yang dinamakan eksamen tak tertulis?”
Selalu kalimat itu yang gadis itu tanyakan padaku. Pagi, siang, sore, dan malam. Hingga aku hafal detail bagaimana nada itu terdengar datar. Sekarang, apa ia mampu menjawab pertanyaannya sendiri? Apa semua manusia mampu memperjuangkan hal kecil berdampak besar yang kadang terbentuk tanpa asumsi pasti? Contohnya sebuah perubahan. Sejauh mana manusia dapat mempertahankan genggaman tangan antara diri sendiri dan harapan? Sehebat apa manusia bisa memakai intuisi dan logikanya secara bersamaan? Ada sebuah waktu yang dapat menjawab pertanyaan itu. Tak ada detik yang mencair begitu saja. Kumpulan detik itu terlalu rumit untuk dijadikan sebuah menit baginya. Gadis itu menghayati tiap pergerakan jarum jam yang tidak mengijinkannya untuk melewatinya. Gadis itu mencoba meminta maaf kepada semua orang yang pernah ia sakiti. Bukan kata maaf yang meluncur lewat lisan. Melainkan kata maaf dalam bentuk lain. Yaitu tindakan!
Beberapa hari kemudian gadis itu tidak pernah mengulangi pertanyaan yang sama lagi. Tidak peduli seberapa banyak sisi gelap yang ia miliki di masa lalu. Yang aku tahu, pertanyaan itu kini terganti oleh pernyataan:
            “Aku belum terlambat untuk memperbaiki semuanya. Dan aku ingin membuatkan sebuah pelangi untuk dia, Mama, dan Papa.”
Sejuk menjalar saat aku mendengarnya. Hari demi hari ia lewati tanpa pertanyaan. Setiap pasang mata menatap jijik, tidak yakin gadis itu benar-benar berubah. Dengan bentakan kasar, dia tercakar. Dengan tuduhan, dia dikucilkan. Dengan karma, dia terbunuh oleh dirinya sendiri. Dengan tatapan sinis, dia dieksekusi. Ia memperbaiki satu kesalahan tidak semudah mendefinisikannya. Sulit melewati siklus ini. Saat niat baik ditafsirkan ke bahasa yang salah. Namun gadis itu tetap berjuang di fase-fase tersulit. Ia menghabiskan waktunya untuk merawat ibunya yang tuna netra. Dengan tulus menyuapinya makan setiap hari di halaman rumah, mengajaknya berjalan-jalan keliling kompleks, dan mengobati luka-luka fisik hasil karya tangannya dulu. Ada kesabaran di tiap gerak dan bahasa tubuh gadis itu. Ia mencoba beristeraksi lagi dan melupakan kesalahan-kesalahan papanya di masa lalu. Ini semua…
Tentang keinginan untuk menebus kesalahan.
*
            Jendela kamar yang tidak tertutup lagi-lagi membuatku bisa mengamati aktivitasnya. Angin malam bertiup dengan frekuensi teratur menerobos gorden jendela yang setengah terbuka. Mempermainkan helai-helai rambut gadis itu yang terurai panjang. Udara malam sukses berdesir tanpa suara, menerobos celah di jendela kamarnya. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan bahwa dia tidak pernah tidur sedetik pun selama beberapa hari belakangan ini. Emsivitas cahaya dari layar laptop di pangkuannya menerpa wajah cantiknya. Jari-jemarinya bergemerutuk di atas keyboard laptop. Dan perlahan, ia menangis tanpa suara. Aku tidak tahu untuk apa air matanya terjatuh. Untuk sebuah kisah fiksi yang sedang ia tuliskah? Atau untuk masa lalunya? Atau atas tekad untuk berjuang mati-matian mengejar cita-citanya yang telah terkubur waktu?
Sepertinya ia merasa bersemangat lagi untuk memperjuangkan mimpi-mimpinya. Dan kau? Yang hanya pernah ia temui dua kali dalam hidupnya, akan selalu hadir dalam drama percakapan bisu di setiap mimpi gadis itu. Sepenggal mimpi klise yang mampu membuat gadis itu bertahan hingga detik ini.
*
            Embun menetes dan berevaporasi dengan sejuk. Tetesan-tetesannya menghapus inchi demi inchi debu tipis di permukaan tubuhku. Perlahan, kurasakan tubuhku terlepas dari pucuk. Gugur. Mungkin ini saatnya. Aku terhempas ringan mengikuti arah angin yang membawa. Udara seolah bergerak dan membungkamku dengan getir hingga akhirnya tubuhku mendarat. Bukan! Bukan di aspal atau tanah. Ini seperti…
Ah, gadis itu lagi. Ternyata aku jatuh di atas kepalanya. Tangan gadis itu mulai menyentuh tubuhku yang berbaring di atas rambutnya. Dia mengambilku dan memperhatikanku. Lama. Lalu ia meletakan tubuh layuku pada salah satu lembar dari manuskrip tebal yang sedang ia pegang. Salah satu lembar bertuliskan:

Mejikuhibiniu
Karya Prisa Mei
Adakah letak kemurkaan Tuhan ketika aku gagal belajar beradaptasi dengan vonis logis dari hukum alam?
Dimana warna merah itu ketika aku mendustakan kepakkan sayap yang bergerak melawan arah?
Diam? Diam lagi, kan? Kenapa aku cuma bisa diam saat diremehkan dan diinjak-injak seperti daun kering yang menyampah?
Mematung di tempat ketika yang lain sudah maju melangkah.
Bagimana mungkin aku menyederhanakan sepenggal takdir yang seharusnya utuh?
Ini bukan sekedar percakapan dalam bahasa hening! Bola mata orang itu mampu!
Membuatku melakukannya hanya karna satu hal yang sama-sama kami miliki.
Kami menyala lemah, setengah redup seperti jingga.

Siapa yang berkhianat antara aku dan harapan?
Jubah ini terlalu mengurungku dari dunia luar sebelum dia datang dan membawa arti optimisme secerah warna kuning.
Meski mimpi-mimpi itu telah terkubur oleh waktu.
Tapi sekarang aku merasakannya, masih ada detak jantung kehidupan dalam mimpi itu.
Yang sama seperti keberaniannya bertindak impulsif untuk mewakilkan warna hijau.

Pelangi ini sudah hampir jadi, tidak mungkin aku menyerah di tengah.
Biru adalah ketika aku bertahan.
Sekalipun aku harus diasingkan di tempat yang seharusnya membuatku tenang.
Menghitung satu per satu cacian, tamparan keras, atau hujatan karma.
Sekarang, aku kesulitan mengimajinasikan satu warna ini.
Cinta? Aku tidak pernah berpikir akan menemukan warna nila dalam keasingannya.
Yang menyisakan sebuah transformasi yang dilambangkan oleh ungu.
Dan membuatku bangkit dari keterpurukan dua kata yang lebih gelap dari warna hitam.
Yaitu: masa laluku.
Benarkah putih itu sebenarnya bukan warna?
Jika putih adalah keberadaan mereka dalam hidupku, maka putih adalah keajaiban dari Tuhan yang baru kusadari.
Pelangi ini harus aku selesaikan! Pelangi untukmu, Mama, dan Papa…*
Irma Kurniasih, Siswi SMKN 2 Cikarang Barat Jawa Barat. Gadis kelahiran Jakarta ini, sejak awal menulis cerpen telah membiasakan diri menggunakan bahasa literer. Beberapa piala telah diraihnya berkat prestasinya menulis fiksi literer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar