Oleh Irma Kurniasih
“Benarkah putih itu sebenarnya bukan warna? Melainkan spektrum di mana seluruh
warna diwakilkan kehadirannya. Ya! Seluruh warna, contohnya Mama, Papa, orang
itu, dan orang-orang lain dengan warnanya masing-masing. Pernahkah tersadar
bahwa keberadaan mereka sangat berharga?”
Abu-abu kehitaman yang melunturkan cerah di awan masih belum
puas membuat kami tidak bisa berfotosintesis. Bulir-bulir air mata langit
berlomba-lomba menuju titik gravitasi dan menyisakan lapisan mendung di ruang
bumi. Aku berpura-pura mengabaikan hujan yang mempermainkan suhu. Membiarkan
rinainya membasahi tubuh hijauku yang hanya sehelai dan bergantung pada
ranting. Aku menoleh ke arah teman-temanku yang lain. Mereka kuyu. Sebagian
sudah berguguran. Sebagian sudah menyatu dengan tanah, menjadi daun kering yang
perlahan akan terurai, lalu mati untuk ke sekian kalinya karna terinjak oleh
kaki-kaki manusia. Kebisingan hujan memekik, mengelupasi panik, dan
menghantamkan sarcasme ke jalan sepi dengan bentuk relief menurun tempat pohon
kami tumbuh di tepian.
Tunggu! Aku merasa sebuah getaran yang dihentakkan oleh
langkah kaki…
Ah, gadis itu lagi! Tubuhnya ringkih. Bola matanya
menyembunyikan jutaan rahasia. Bibirnya pucat, sama seperti jiwanya yang telah
tersungkur, jatuh dengan sayap berdarah-darah, serta luka fisik dan mental yang
ia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengobatinya. Aku melihatnya berlari dari
ujung jalan ke arah pohon kami. Pohon yang terletak di dekat pagar rumahnya
yang mulai berkarat. Dari air wajahnya, terlihat ia sedang menganyam helai demi
helai energi agar kerangka tulangnya mampu tetap tegap. Rasa dingin masih belum
puas menertawakannya di kemidi putar berporos emosi. Dan kekosongan jalan
seakan belum menghunus tubuh kurusnya dari belakang.
Tiba-tiba gadis itu menghentikan langkah ketika menunduk dan
mendapati genangan air yang ia injak mencerminkan wajah keputusasaannya. Ia berusaha
menolak argumen itu. Ia tidak percaya pada apapun, bahkan pada harapan yang
belakangan ini terlihat mengkhianatinya. Seketika petir dan geluduk
mengintimidasi gema. Membuat ia refleks menutup keras kedua telinga. Ia
mendongakkan kepala sesaat, lalu memicingkan mata saat melihat apa yang ada di
depannya. Ia terdiam memandangi seorang laki-laki berdiri di sebelah pohon
kami. Laki-laki yang tengah berteduh di bawah atap dari rumah yang terletak di
sebelah rumahnya. Ya! Kau! Laki-laki berambut kecokelatan dengan sebuah kamera
yang menggantung di leher.
Suara derap langkah getir gadis itu mengetuk daun telingamu,
berusaha mengalahkan kebisingan hujan. Aku terus memperhatikan gadis itu, ia
berjalan melawatiku, lalu semakin mendekat ke arahmu. Menyentuh pundakmu dari
belakang dengan sentuhan yang biasanya sedingin bongkahan es.
Kau menoleh saat menyadari sentuhan itu. Lalu menatap aneh
gadis tak dikenal yang sekarang berdiri di hadapanmu. Gadis berkulit putih
pucat dengan pakaian dan rambut kuyup.
Gadis itu mengerutkan keningnya. Lalu membuka mulutnya,
“Kau?”
“Hey?” kau tersenyum ramah.
“Kau…” ucap gadis itu lagi dengan nada menggantung dan ragu.
“Kau yang menyelamatkan ibuku dua hari yang lalu?”
“Ya.” ucapmu singkat setelah beberapa detik memperlihatkan
raut wajah berpikir. Gadis itu memandangmu dengan tatapan redup dan kosong yang
sulit kau terjemahkan. Kau membuang muka, menghindar dari tatapan itu. Lalu
menganalisis pandangan balik dari hujan di hadapan kalian.
“Kau sedang apa di sini? Apa kau juga selalu menunggu hujan
berhenti untuk melihat pelangi?” tanya gadis itu. Bola matanya lalu terarah
pada Canon EOS 7D yang menggantung di lehermu, “Apa kau ingin memotret
pelangi?”
Senyuman di bibirmu tiba-tiba luntur saat mendengar
pertanyaan itu. Bibirmu terkatup rapat tanpa sedikit pun keinginan untuk
merespon pertanyaan itu. Aku tahu, kau menuduh bahwa pertanyaan itu hanya
halusinasi. Fana. Dan tidak pernah nyata.
“Kenapa?” ucap gadis itu lagi. Tiba-tiba bola matanya
membesar, “Kenapa kau menyelamatkannya? Dia bukan ibu kandungku! Seharusnya kau
membiarkan kereta menabrak perempuan tuna netra itu.”
Matamu terbelalak tiba-tiba. Mulutmu ternganga. Napasmu
tercekat saat mendengar kalimat itu meluncur dari bibir tipisnya. Kau menatap
gadis itu penuh emosi, “Dengar! Saya tidak akan memotret pelangi karna saya
tidak tahu apa itu warna,”
Kau segera melangkah menjauh. Hujan yang mulai reda berpihak
padamu.
Sama sepertiku dan semua manusia yang pernah berlalu-lalang
melewati pohon kami, akhirnya secara intuisi kau sadar bahwa gadis itu tidak
waras.
“Bukan aku yang iblis!” gadis itu berteriak. “Perempuan tuna
netra itulah yang iblis!”
Kau tetap berlari. Mati-matian menulikan telingamu.
Jangankan menoleh, peduli pun kau tidak ingin.
“Siapapun namamu, kita sama! Kita sama-sama benci pada
pelangi. Pada warna kehidupan.” gadis itu berteriak lagi. Membuatmu
menghentikan langkah.
Kau membalikkan badan. “Kau?” ucapmu. Lalu tersenyum ironi,
“Jangan pernah mengutuk pelangi, jangan juga membenci warna dalam hidupmu. Saya
tidak sama sepertimu! Sedikitpun saya tidak pernah benci pada pelangi.”
Kau kembali melangkah meninggalkannya. Kau segera berlari.
Dan lagi-lagi langkahmu terhenti saat kau mendengar sesuatu. Isakan tangis.
Kau menoleh ke belakang. Gadis itu meringkuk duduk di aspal basah.
Ia menekuk kedua kakinya, dan memeluknya dengan kedua tangan. Bahunya
berguncang menahan tangis. Ia menundukkan kepala sedalam-dalamnya, hingga
keningnya menyentuh lutut. Dan aku belum pernah melihat manusia menangis hingga
sehebat ini sebelumnya.
Di detik pertama, aku kira kau bisa saja meninggalkan gadis
tidak waras ini sendirian. Tapi sepertinya sebuah dorongan impulsif memaksamu
untuk diam di tempat. Berdiri mematung menyaksikan gadis itu menangis. Jika aku
jadi kau, mungkin aku masih harus berdebat dengan ego saat berpikir apa yang
harus dilakukan saat ini. Kau menghela napas getir. Dan perlahan kakimu
melangkah lagi medekati gadis itu. Kau berdiri di sampingnya tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Seakan diam sudah menjadi alat komunikasi yang mentransfer
seluruh kekacauan dalam hatimu. Kau bisa melihatnya, gadis itu menggigil
kedinginan. Ia masih menangis, dan kau hanya memperhatikan, tanpa memberi
isyarat suara atau gerak untuk menghentikannya.
Kau menunduk. Ke arahnya yang masih terduduk. “Kau tidak
sekolah?” ucapmu asal. Seolah kalian bukanlah orang asing satu sama lain.
Gadis itu akhirnya berhenti menangis. Lalu menegakkan
kepalanya. Ia memberikan gelengan kecil yang hampir tak kasat mata. “Aku sudah
lulus SMA.”
“Kau tidak bekerja hari ini? Atau kuliah?” ucapmu lagi,
berusaha mencairkan suasana.
Gadis itu kembali menggeleng, “Aku tidak punya cita-cita
semenjak perempuan tuna netra itu memisahkan keluarga kami.”
“Sudah! Jangan katakan itu! Kau tidak tahu mengapa saya
tidak ingin memotret pelangi, kan? Karna warna itu terlalu indah. Kau tahu? Kau
belum terlambat! Tuhan masih memberimu waktu. Sebelum kesempatan itu hilang,
ada satu hal yang harus kau lakukan. Sebuah alasan kuat untuk menjawab berapa
harga untuk satu detik. Tidak ada kesalahan fatal di dunia ini, yang ada hanya
orang-orang yang tidak mau berjuang untuk memperbaiki kesalahan itu sendiri.”
Gadis itu mengerutkan keningnya. Kau hanya tersenyum ke
arahnya. Kali ini, kau benar-benar beranjak meninggalkan gadis itu karena
tangisannya sudah mulai reda.
“Apa kita akan bertemu lagi?” tanya gadis itu saat kau sudah
melangkah.
“Entahlah!” Kau berteriak. Terus berjalan semakin menjauh.
“Jika kau percaya kita akan bertemu lagi, kita pasti akan bertemu lagi. Saat
iblis dalam tubuhmu sudah keluar. Saat kau tidak punya satu pun alasan untuk
menangis kecuali karena kebahagiaan. Saat kau berhasil memperbaiki kesalahanmu
sebesar apapun itu. Saat kau bersemangat mengejar cita-citamu sekaligus
membahagiakan kedua orang tuamu. Saya tidak akan membenci pelangi, sekalipun
saya seorang buta warna monokromasi.”
Sesak. Gadis itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya
tidak percaya. Seketika detak jantungnya berdegup kencang tidak pada getaran
yang seharusnya. Ia memandang nanar ke arahmu yang sekarang sudah berlari
hingga ke ujung jalan. Ia tetap mempertahankan posisi mematungnya sampai kau
menghilang di persimpangan. Terduduk. Tenggelam dalam lamunannya. Tanpa
menyadari, orang lain yang entah sejak kapan berada di belakangnya tengah
memandangnya pilu.
“Prisa…”
Gadis itu masih bergeming tanpa bergerak sedikitpun.
Jangankan untuk menoleh, untuk mengakui bahwa itu adalah namanya saja ia tidak
ingin. Kedua bibirnya tetap mengatup. Merasa diam adalah satu-satunya cara
beradaptasi pada kenyataan.
“Prisa…” suara itu terdengar semakin lirih.
Seseorang mendekat dan menampakkan tubuhnya di hadapan pohon
kami. Papanya. Ia mendekati gadis itu. Menyentuhnya lembut dengan sentuhan yang
membuatnya tenang di sisi ketakutan. Lalu meletakkan jaket ke pundak anaknya
diiringi satu harapan mustahil yaitu dapat membunuh rasa dingin.
“Prisa, jangan seperti ini, Nak! Berhenti melakukan hal
bodoh.” ucapnya. Ia masih menunggu, berharap akan ada sebuah suara atau sepatah
kata yang meluncur dari lidah anaknya. Yang kini bukan lagi gadis kecil periang
semenjak Tuhan memanggil ibu kandungnya.
Sepasang anak dan ayah itu melakukan percakapan hening
dengan durasi datar. Hingga akhirnya salah satu dari mereka, ayahnya, menyerah.
Melangkah kembali ke dalam rumah saat sadar, seandainya ia menarik lengan
anaknya secara paksa hanya akan menjadi hal yang sia-sia. Seperti hari-hari
sebelumnya.
Gadis itu menatap lurus, ke arah selain utara, barat, timur
dan selatan. Entah ke arah mata angin mana. Ia masih belum juga mengerjapkan
matanya. Terjebak dalam sekelebat kilasan yang mengancam.
Tiba-tiba ia menoleh dan melempar pandangan ke arahku. Lalu
membuka mulutnya, “Aku punya banyak memori, banyak cerita, banyak harapan,
sebelum semuanya pergi. Perempuan itu mencoba menggantikan posisi Mama di
hatiku. Perempuan itu telah menghancurkan keluargaku bahkan sebelum Mama pergi.
Aku benci dia. Aku hampir mencelakakannya di rel kereta. Aku bertemu laki-laki
berambut kecokelatan di peron kereta api saat ia menyelamatkan Mama. Lagi… baru
saja kami bertemu untuk kedua kalinya. Laki-laki itu tidak benci pada
kehidupannya. Dia tidak benci pada pelangi meski ia tidak tahu apa itu warna.
Dia… dia membuatku menyesal telah benci pada warna kehidupan. Apa Tuhan masih
benar-benar memberiku kesempatan? Apa waktu masih membiarkanku memperbaiki
semua kesalahanku? Apa benar tidak ada kesalahan fatal di dunia ini? Apakah
kesempatan itu layak untuk orang yang tidak pernah menyadari arti bersyukur?”
*
Jari-jemari cantik perempuan tuna netra itu meraba-raba pagar rumahnya yang
mulai berkarat. Mencari jalan aman saat ia terkunci dalam etalase kegelapan
sejak seperempat dekade yang lalu. Napasnya mulai terdengar putus-putus ketika
aku mendengar sebuah ancaman, sebuah suara derap langkah kaki, dan sebuah
sentuhan tangan.
Ah, Gadis itu lagi!
Kaki-kaki perempuan tuna netra itu dengan cepat bergerak dan
terus-menerus menekan aspal, berusaha untuk mundur hingga akhirnya punggung
belakangnya terpentok pagar. Perempuan itu tercekat, menyadari ia tidak bisa
lagi mundur. Ia segera duduk meringkuk, berusaha menciptakan jarak sejauh
mungkin dengan gadis itu.
Perempuan tuna netra itu mati-matian menekan ketakutannya ke
dalam jurang tercuram di jiwanya. Sekelebat bayangan akan hal-hal yang pernah
ia alami dulu muncul menghantuiku. Ketika beberapa hari lalu, aku melihat jelas
gadis itu melakukannya di ambang pintu rumah.
“Saya mohon, jangan…” ucap perempuan tuna netra itu parau.
Bibir dan gigi-giginya bergetar hebat. “Jangan sakiti saya lagi, Prisa.”
Tidak!!! Aku tidak bisa berhenti melihat. Gadis itu berdiri
tegak, sementara perempuan tuna netra itu kini tengah duduk dan meringkuk
menggigil di depannya. Gadis itu kemudian membungkuk, lalu mengangkat bahu
perempuan tuna netra itu hingga mereka akhirnya berdiri saling berhadapan.
“Mama…” gadis itu berusaha bicara, meski lidahnya kelu dan
beku.
“Mama…” detik selanjutnya gadis itu sudah memeluk perempuan
tuna netra itu. Medekapnya hangat. “Mama, Prisa menyesal.”
Perempuan tuna netra itu hanya bisa terperangah tidak
percaya. Ini pertama kalinya gadis itu memanggilnya dengan sebutan ‘Mama’. Dan
aku mendengarnya lagi. Gadis itu terisak. Lalu perlahan, mereka melepaskan
pelukan itu saat menyadarinya.
Perempuan tuna netra itu mencoba menggerakkan tangannya dan
meraba wajah gadis di depannya. Basah. Senyap dan lirih butiran-butiran kristal
itu menetes dari matanya dan mengaliri pipinya. Ya! Gadis itu benar-benar
menangis.
Gadis itu kemudian membungkuk lalu bertekuk lutut di hadapan
ibu tirinya. “Mama ngga perlu maafin Prisa, Prisa ngga pantas mendapatkannya.
Prisa janji, Prisa akan perbaiki semuanya. Jika masih layak, Prisa ingin
berusaha menjadi anak yang menyayangi Mama seperti sepasang anak dan ibu
kandung lainnya. Prisa mau! Prisa mau sayang sama Mama… Itu pun jika Mama
mengizinkan.”
*
Tentang sehelai daun yang duduk di kursi penonton dalam drama nyata yang
diperankan oleh seorang gadis. Drama nyata dengan setting sebuah rumah
bergaya gothic classic yang pagarnya mulai berkarat. Sebuah pohon
belimbing berdiri kokoh di dekat pagarnya. Sebuah pohon tempat kami hidup lalu
mati dalam hitungan hari. Berfotosintesis tiap energi panas terbesar di dunia
menjadi lampu sorot drama ini. Bekerja sama dengan keluarga besar di pohon ini
untuk menghasilkan oksigen sebagai salah satu royalti bagi tokoh-tokoh di
dalamnya. Menunggu takdir gugur sambil mengamati tiap jengkal aktivitas yang
terjadi di halaman rumah, jendela kamar yang kadang terbuka, dan ambang pintu
rumah di hadapan kami. Ini hanya lembaran-lembaran kertas. Yang ditulis oleh
seorang gadis yang dulu tidak percaya pada harapan dan kebahagiaan. Gadis anti
sosial yang bernapas nyaris tanpa interaksi luar.
Waktu membuatku memahaminya. Tiap cahaya matahari yang
dipantulkan bulan berpijar memasuki jendela kamarnya yang terbuka di
malam-malam ekuivalen, gadis itu pasti akan menuliskannya. Sebuah cerita. Ia
menciptakan karakter-karakter dongeng agar ia tidak merasa kesepian.
Karakter-karakter dongeng itu hidup dalam hatinya. Dia hidup dalam dunia yang
nyaris tanpa benang pembatas antara fana dan nyata, normal dan irasional, juga
logis dan sinting. Karakter-karakter dongeng itu tidak pernah mengkhianatinya
atau membiarkannya menangis. Gadis itu sangat hebat dalam hal menyembunyikan
kerapuhannya. Mereka tidak pernah tahu bahwa gadis itu jauh lebih rapuh dari kelihatannya.
Bahkan lebih rapuh dariku. Dalam satu sentuhan saja, ia bisa hancur seperti
daun kering yang diremas kuat-kuat dan menghasilkan serpihan-serpihan kecil.
Gadis itu menginginkan kebahagiaan sederhana, yang sekarang
ia ekspresikan dalam lembaran-lembaran ini. Ia menuliskan emosi. Mencari-cari
kebahagiaan, yang kini ia temukan dengan caranya sendiri. Sekarang gadis itu
mencoba lagi. Mengumpulkan puing-puing nyali, serpihan-serpihan harapan, hanya
untuk percaya bahwa ia ingin membuatkan sebuah pelangi untukmu. Dia tidak salah
ketika dia menemukan seseorang yang mampu membuatnya percaya lagi pada harapan.
Kau hanya laki-laki biasa, berambut kecokelatan yang baru ia temui dua kali.
Kau bahkan tidak mengenalnya, dan hal terbodoh yang akan ia sesali adalah ia
lupa menanyakan siapa namamu. Bagaimana bisa kau memberinya energi sekuat ini
hingga ia ingin bangkit dari keterpurukannya? Bagaimana bisa kau membuatnya
ingin berhenti mencari alasan untuk menangis, berhenti untuk benci pada
pelangi, berhenti untuk menghindar dari kenyataan, dan mengejar cita-citanya
lagi?
“Apa seperti ini yang dinamakan eksamen tak tertulis?”
Selalu kalimat itu yang gadis itu tanyakan padaku. Pagi,
siang, sore, dan malam. Hingga aku hafal detail bagaimana nada itu terdengar
datar. Sekarang, apa ia mampu menjawab pertanyaannya sendiri? Apa semua manusia
mampu memperjuangkan hal kecil berdampak besar yang kadang terbentuk tanpa
asumsi pasti? Contohnya sebuah perubahan. Sejauh mana manusia dapat
mempertahankan genggaman tangan antara diri sendiri dan harapan? Sehebat apa
manusia bisa memakai intuisi dan logikanya secara bersamaan? Ada sebuah waktu
yang dapat menjawab pertanyaan itu. Tak ada detik yang mencair begitu saja.
Kumpulan detik itu terlalu rumit untuk dijadikan sebuah menit baginya. Gadis
itu menghayati tiap pergerakan jarum jam yang tidak mengijinkannya untuk
melewatinya. Gadis itu mencoba meminta maaf kepada semua orang yang pernah ia
sakiti. Bukan kata maaf yang meluncur lewat lisan. Melainkan kata maaf dalam
bentuk lain. Yaitu tindakan!
Beberapa hari kemudian gadis itu tidak pernah mengulangi
pertanyaan yang sama lagi. Tidak peduli seberapa banyak sisi gelap yang ia
miliki di masa lalu. Yang aku tahu, pertanyaan itu kini terganti oleh
pernyataan:
“Aku belum terlambat untuk memperbaiki semuanya. Dan aku ingin membuatkan
sebuah pelangi untuk dia, Mama, dan Papa.”
Sejuk menjalar saat aku mendengarnya. Hari demi hari ia
lewati tanpa pertanyaan. Setiap pasang mata menatap jijik, tidak yakin gadis
itu benar-benar berubah. Dengan bentakan kasar, dia tercakar. Dengan tuduhan,
dia dikucilkan. Dengan karma, dia terbunuh oleh dirinya sendiri. Dengan tatapan
sinis, dia dieksekusi. Ia memperbaiki satu kesalahan tidak semudah
mendefinisikannya. Sulit melewati siklus ini. Saat niat baik ditafsirkan ke
bahasa yang salah. Namun gadis itu tetap berjuang di fase-fase tersulit. Ia
menghabiskan waktunya untuk merawat ibunya yang tuna netra. Dengan tulus
menyuapinya makan setiap hari di halaman rumah, mengajaknya berjalan-jalan
keliling kompleks, dan mengobati luka-luka fisik hasil karya tangannya dulu.
Ada kesabaran di tiap gerak dan bahasa tubuh gadis itu. Ia mencoba beristeraksi
lagi dan melupakan kesalahan-kesalahan papanya di masa lalu. Ini semua…
Tentang keinginan untuk menebus kesalahan.
*
Jendela kamar yang tidak tertutup lagi-lagi membuatku bisa mengamati
aktivitasnya. Angin malam bertiup dengan frekuensi teratur menerobos gorden
jendela yang setengah terbuka. Mempermainkan helai-helai rambut gadis itu yang
terurai panjang. Udara malam sukses berdesir tanpa suara, menerobos celah di
jendela kamarnya. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan bahwa dia tidak
pernah tidur sedetik pun selama beberapa hari belakangan ini. Emsivitas cahaya
dari layar laptop di pangkuannya menerpa wajah cantiknya. Jari-jemarinya
bergemerutuk di atas keyboard laptop. Dan perlahan, ia menangis tanpa
suara. Aku tidak tahu untuk apa air matanya terjatuh. Untuk sebuah kisah fiksi
yang sedang ia tuliskah? Atau untuk masa lalunya? Atau atas tekad untuk
berjuang mati-matian mengejar cita-citanya yang telah terkubur waktu?
Sepertinya ia merasa bersemangat lagi untuk memperjuangkan
mimpi-mimpinya. Dan kau? Yang hanya pernah ia temui dua kali dalam hidupnya,
akan selalu hadir dalam drama percakapan bisu di setiap mimpi gadis itu.
Sepenggal mimpi klise yang mampu membuat gadis itu bertahan hingga detik ini.
*
Embun menetes dan berevaporasi dengan sejuk. Tetesan-tetesannya menghapus inchi
demi inchi debu tipis di permukaan tubuhku. Perlahan, kurasakan tubuhku
terlepas dari pucuk. Gugur. Mungkin ini saatnya. Aku terhempas ringan mengikuti
arah angin yang membawa. Udara seolah bergerak dan membungkamku dengan getir
hingga akhirnya tubuhku mendarat. Bukan! Bukan di aspal atau tanah. Ini
seperti…
Ah, gadis itu lagi. Ternyata aku jatuh di atas kepalanya.
Tangan gadis itu mulai menyentuh tubuhku yang berbaring di atas rambutnya. Dia
mengambilku dan memperhatikanku. Lama. Lalu ia meletakan tubuh layuku pada
salah satu lembar dari manuskrip tebal yang sedang ia pegang. Salah satu lembar
bertuliskan:
Mejikuhibiniu
Karya Prisa Mei
Adakah letak kemurkaan Tuhan ketika aku gagal belajar
beradaptasi dengan vonis logis dari hukum alam?
Dimana warna merah itu ketika aku mendustakan kepakkan sayap
yang bergerak melawan arah?
Diam? Diam lagi, kan? Kenapa aku cuma bisa diam saat
diremehkan dan diinjak-injak seperti daun kering yang menyampah?
Mematung di tempat ketika yang lain sudah maju melangkah.
Bagimana mungkin aku menyederhanakan sepenggal takdir yang
seharusnya utuh?
Ini bukan sekedar percakapan dalam bahasa hening! Bola mata
orang itu mampu!
Membuatku melakukannya hanya karna satu hal yang sama-sama
kami miliki.
Kami menyala lemah, setengah redup seperti jingga.
Siapa yang berkhianat antara aku dan harapan?
Jubah ini terlalu mengurungku dari dunia luar sebelum dia
datang dan membawa arti optimisme secerah warna kuning.
Meski mimpi-mimpi itu telah terkubur oleh waktu.
Tapi sekarang aku merasakannya, masih ada detak jantung
kehidupan dalam mimpi itu.
Yang sama seperti keberaniannya bertindak impulsif untuk
mewakilkan warna hijau.
Pelangi ini sudah hampir jadi, tidak mungkin aku menyerah di
tengah.
Biru adalah ketika aku bertahan.
Sekalipun aku harus diasingkan di tempat yang seharusnya
membuatku tenang.
Menghitung satu per satu cacian, tamparan keras, atau
hujatan karma.
Sekarang, aku kesulitan mengimajinasikan satu warna ini.
Cinta? Aku tidak pernah berpikir akan menemukan warna nila
dalam keasingannya.
Yang menyisakan sebuah transformasi yang dilambangkan oleh
ungu.
Dan membuatku bangkit dari keterpurukan dua kata yang lebih
gelap dari warna hitam.
Yaitu: masa laluku.
Benarkah putih itu sebenarnya bukan warna?
Jika putih adalah keberadaan mereka dalam hidupku, maka
putih adalah keajaiban dari Tuhan yang baru kusadari.
Pelangi ini harus aku selesaikan! Pelangi untukmu, Mama, dan
Papa…*
Irma Kurniasih, Siswi SMKN 2 Cikarang Barat Jawa Barat.
Gadis kelahiran Jakarta ini, sejak awal menulis cerpen telah membiasakan diri
menggunakan bahasa literer. Beberapa piala telah diraihnya berkat prestasinya
menulis fiksi literer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar