Sabtu, 11 Januari 2014

Cinta Gandhari


Oleh Haryas Subyantara Wicaksana
               Kau cinta Gandhari, sejak ia mati.
Debu-debu nisannya menghadiahimu nelangsa. Segelintir kerabat menyemai kamboja. Segelintir pelayat hilang hiba. Wangi mori gadis itu merias ganjil wewajah duka. Bagaimana Izrail bisa begitu tergesa-gesa? Segelintir pikirmu lengang bertanya. Gandhari ke akhirat. Tanpa terkapar sekarat. Tanpa berkabar firasat.
Gendhuk Gandhariku, anakku yang pramesthi1 telah moksa! Tidurnya abadi tadi malam. Persis sewaktu ibunya menutup usia. Di tujuh hari selepas kepergiannya, hendak kupentas lakon ‘Kidung Malam’. Adegan kesukaan mendiang istriku, sebagaimana Gandhari menyayanginya, ketika Destarastra mempersunting nasib kelam.” ungkap Ki Sriono, sang dalang kondang. Nadanya terbang. Sinar matanya runtuh berulang-ulang. Bibir tuan wayang itu ranggas. Kaku. Kau tegas tak setuju. Moksa bukankah lenyap nyawa lenyap raga. Sedang Gandhari tak musnah jasmani. Kaujumpai anomalinya terakhir kali. Cantiknya padam. Dekik pipinya bagai kemarau panjang.

*

Mengapa kau baru mencintainya? Ini cintamu pertama pada seorang perempuan. Rasa itu memacak kenangan sunyi. Semacam kesamaran yang terkunci. Kaurasa kedekatan kalian selama empat semester di SMK serupa berlian palsu. Apalagi ia kawan sebangkumu. Bodohnya lagi, rumah kalian berdampingan. Dan betapa dungunya, bahwa kalian adalah sepasang sahabat sejak kecil. Kautampar dahimu. Kaucakar tengkukmu. ‘Aku tolol!’ dakwamu sambil menakar air liur ke muka kaca. Seonggok jejak kemudian membimbingmu:
Dia jadi usil. Bangkunya sesak coretan. Dia hanya bilang ‘cuma main-main kok, Bu Daning’. Aneh! Pendiam! Introvert! Saya justru khawatir dia bunuh diri. Huruf-huruf stabilo kuning goresannya agak mencekam. Untung sudah Pak Kebon pindah. Sekarang bangku almarhumah itu aman di gudang.” jelas wali kelasmu setengah berbisik menatapmu.
Ia mencekatmu. Kudukmu tegak. Kau dan Gandhari memang banyak bercakap-cakap. Tapi kau bahkan lengah bahwa bangkunya berkali-kali dilanskap. Hatimu terus berdebat. Kau lekas melacak. Bangku itu kuyu. Kakinya akrab dengan gelap. Di mana aksara Gandhari? Kau menyeretnya ke cahaya. Huruf-huruf kerdil. Menggigil. Memorabilia berdenting. Stabilo kuning berbicara hening:
KIDUNG MALAM I: Aku mengenalmu. Sungguh. Waktu ialah segenap hukuman. Mungil sepasang kawan. Sepetak lahan kenangan. Dasawarsa silam. Sejoli bocah. Mengintip resah. Pencarian. Kelana kepandaian. Buku gambar sendu. Surat bergairah waru. Fajar kita beriringan. Malam kita bersandingan….”
Kaupenggal bacaanmu. “Aku pun mengenalmu, Ndhari.”batinmu berdansa getir. Masa lalumu memelintir. Pekikanmu menari. Pekikan bidadari. Dan lunglai badanmu tetaplah lelaki. “Apa kau sengaja mengukirkanku cinta, Ndhari?”desahmu. Kau mulai berharap. Sebelum anak-anak aksara itu menggencatmu cepat:
KIDUNG MALAM 2: Kita murid jurusan salon. Sekolah kita berkelamin perempuan. Di jemari, lelaki tinggal beberapa. Maka kubujuk gelombang tubuhmu guna kutata. Maka aku menyendiri. Supaya cemburu kita terkemas rapi. Perkenankan reruang hati kita berganti nama. Kita tertawa. Tawa yang berbeda. Kita bercanda. Canda yang tak sama. Kita tersenyum. Senyum jadi basah, harum dan ranum. Mata kita telah mengambil bahasa lain. Mata kita tengah berebut makna yang asing….”
Kembali kaupenggal bacaanmu. “Aku pun begitu, Ndhari. Bukankah aku lelakimu?” desismu. Kaulah pria di antara semesta perempuan di sekolah, di rumah, bahkan di dusun kampung. “Aku menang!” ujarmu berbinar. Gesturmu gestur bidadari. Dan busung dadamu tetaplah lelaki. Batang matahari melukismu sesaat. Mejanya makin hangat. Kepalamu makin berat. Siluet Gandhari terus mengiris. Cucu-cucu aksara itu terus menangis:
KIDUNG MALAM 3: Gelora ini takkan kutandas ke kertas. Ia mudah tumpah. Ke lubang curiga. Ke lubuk prasangka. Juga tak kepada telinga sesiapa. Mereka gampang mengembara. Mencipta dusta. Apalagi ayahanda. Aku kaku dalam cintamu. Aku bukan wayangmu. Aku putri semata wayangmu. Kumohon. Turunkan wayangmu sebentar. Peluklah kalbuku sebentar. Cintaku cinta manusia. Cintaku bukan milik pandhawa atau kurawa.
Kau mengumpat! Di pikiranmu, suara-suara Ki Sriono membebat. Dan mulutnya memuntahkan segerombol pengkhianat.
Jadilah Werkudara, Pong Bencong!” petuahnya suatu malam.
Ia terlalu gagah perkasa lagi kasar, Ki Sriono.” balasmu geram.
Bagaimana kalau Arjuna? Kau tentu suka, Pong Bencong.”
Pendekar rupawan itu hanya sebongkah pecundang!”
Meski kau tersinggung, diam-diam kau berkehendak menguasai kegagahan mereka. Meski kaulaknat Mahabharata2, kau selalu datang di depan pagelarannya. Blencong3 melolong. Kepyak4 menyulut jantung wayang. Kelir5 mengarang bebayang. Baratayudha6 berkeliar anggun dan kejam. Malam menggelar pembantaian. Perang menahan matamu hingga bulan terbenam. Bunuh Gatotkaca7! Bunuh Duryudana8! Gempur Ngastina9!
Perintah yang menabung dendam. Jam demi jam.
Tersebab itulah, cinta Gandhari kaku, tuduhmu. Ki Sriono terlalu gagah melebihi Werkudara10! Atau ia selemah Arjuna! Atau hatinya segalak Baratayudha! Gandhari bocah  lembut-luwes-lugu. Ia takkan sanggup menyayangi perseteruan abadi: sosok bapaknya sendiri. Maka ia jarang menghadiri pertunjukan wayang, kecuali terpaksa.
Lima ekor pertanyaan merajammu. Ke manakah Gandhari tiap kali bapaknya berkisah garang? Di rumah? Tidur tenang? Dengan teman? Atau bersama lelaki tampan? Dugaanmu makin serampangan. Tak ada titik terang.
Kidung Malam tamat. Tak kautemui Kidung Malam empat. Kauselidiki celah. Nihil. Kauperiksa sekitar. Nihil. Sarang lelaba bungkam. Meja-meja tua bungkam. Aksara Gandhari bungkam. Mirip kotak pandora terakhir. Dan penasaranmu terkilir. Tinggal satu petunjuk: saudara kembarmu, Cantika. Ia pun sejurusan denganmu. Murid kelas salon. Kau pulang. Gudang diam. Larimu lari perempuan. Dan kekar jakunmu tetaplah tampan. Sergahmu:
Mengapa kauwariskan asmara, Ndhari? Mengapa tak cukup perkabungan saja?”

*
Pekarangan sepi. Bapakmu sudah bersitegang di balik setir truk pasir. Tak ada yang ingin ia ketahui selain dapur biyungmu, rapormu, atur-atur khitanan dan undangan slametan. Selebihnya: setoran, setoran, setoran! Sedangkan biyungmu tergopoh-gopoh dari tempat rewang. Nanti malam kenduri tujuh hari Gandhari. O, Ndhari! Berderit-derit asmaramu. Cantika pasti tahu! Mendadak biyungmu menyentil:
Piye to, Pong? Kamu dan Cantika itu saudara serahim! Pulang kok ndak bareng. Semestinya kalian rukun. Lha malah bubrah begini!”
Ketika sentilan biyungmu masih membenturi tembok, Cantika telah bertengger di kamar. Tatapannya datar. Dipegangnya piring bening. Ia mainkan siang. Ia telan nasinya kencang-kencang. Biyungmu segera menarik bahumu. Ia berujar genting:
Sudah seminggu saudaramu begitu. Nglakoni apa-apa, tapi ndak ngomong apa-apa. Biasanya dia nyeriwis, berkoceh, nyanyi-nyanyi. Sekarang kayak bocah bisu. Kalau ditanya, cuma manggut, cuma geleng-geleng.”
Celaka! Penasaranmu tambah bengkak! Kau takkan berani menghadapi kesenyapannya. Urung sempat kauhela umpatanmu, biyungmu menduga-duga kacau:
Apa Cantika punya pacar, Pong? Apa dia jatuh cinta? Atau putus cinta?”
Kau acuh tak acuh. Meski kalian saudara kembar, jiwa kalian telah terbelah, sejak kau diolok-olok ‘putri tampan’ di sekolah. Jarang sekali kau dikitari lelaki. Bahkan bapakmu sendiri. Cantika membuatmu tumbuh, bermain, bercanda, berbagi rasa bersama para perempuan. Logat, tingkah, dan napasmu milik perempuan. Kaubentak kenangan. Kaubentak waktu. Kaubentak jalur hidupmu. Kaubentak pelan biyungmu:
Itu bukan wilayahku, Mbok. Gandhari akhir-akhir ini dekat banget dengan Cantika. Mungkin dia sedang bersedih. Itu saja!”
Kau melenggang. Tanya di kepalamu berdesakan. Gaduh. Namun jalan keluar kini lumpuh. Tak ada sorot cahaya. Sementara Ki Sriono berteriak dari mulut jendela:
Haduh! Wayangku hilang! Putri ayuku hilang!”
Akal-akalan! Hardikmu. Ia pergunakan picik-picik kemalangannya. Supaya kisahnya dipajang koran. Supaya pamornya meloncat ke media massa. Supaya pagelaran wayangnya terbeli di layar kaca. Kenduri malam nanti sebenarnya doa-doa sepi. Alibi yang pasti. Duka manis yang pelit. Air mata yang pura-pura pahit. Bagi dalang bersurjan tirus kurus beruban itu, kain kafan Gandhari serupa kantung uang! Sialan! Bisu Cantika bertahan. Asmaramu mungkin menggugat jawaban. Asmaramu mungkin meretas tuntas perkabungan. Mungkin.

*

Paruh malam berikutnya, kau semakin curiga. Bukankah Ki Sriono tengah ke luar kota? Tetapi ada bebunyian serak-serak. Kepyak berhentakan. Gamelan. Sindhen menimang tembang. Guruh dalang memekik tajam:
Bumi gonjang-ganjing! Langit kerlap-kerlip!…
Kauteliti gendang kuping. Kemerisik radio di kamar Cantika! Pintu yang selalu ia gembok rapat, kini menganga begitu saja. Batinmu bersengketa. Kau mengorek mata. Tanpa ketukan pintu, kamar itu seperti tak berbaju. Kau mondar-mandir. Jungkirbalik. Kaugeledah penglihatanmu. Kautangkap beberapa momentum.
Pukul 00.43. Matamu bekerja paksa. Cantika duduk. Mengolet. Memanjakan kaki. Tapi lingkar pandangnya tetap tak mau bicara. Kemerisik radio terus melilit gendang kupingmu. Gamelan meruncingi suara dalang. Cantika diam. Ia pasti segera menyegel diri bila kau menghampiri. Maka kau takkan mampu meraihnya. Gila! Kau berjaga tengah malam demi suatu tanya. Demi suatu kelegaan remeh sia-sia. Ah! Masa bodoh! Desismu.
Pukul 01.17. Sengkuni11 berkoar di radio. Cantika berdiri gamang. Ia tilik kolong ambin. Tangannya menjemput sesuatu. Sebatang wayang. Wayang perempuan. Perempuan jelita. Jelita bermata kain gulita. Ia menggamitkan lengan si jelita ke balik jarik. Kau tahu bahwa wayang itu tertikam sengsara. Namun pikiranmu sulit mengiyakan.
Pukul 02.39. Puntadewa12-Duryudana jadi belasungkawa. Baratayudha mencacah semesta. Cantika berhenti memegang wayang. Jarinya membuat volume radio meningkap, menjauh, tenggelam. Ia sekap ketat pendengarannya. Wajahnya sembunyi. Lalu ia tinggalkan kamar. Meninggalimu tanya yang tak kelar. Lekas kaukuasai peluang. Kauringkus wayang itu dari ambin. O! Ki Sriono benar-benar berteriak. Wayangnya benar-benar diculik. Dan wayang itu berasma Gandhari! Segenggam takdir sang Bhisma13! Kekasih Destarastra! Bunda seratus Kurawa! Muara Baratayudha! Kau terpana. Kaupungut si boneka Jawa. Dadamu berdecak bak kilatan kepyak. Perasaanmu diperkosa. Logikamu diperkosa. Stabilo kuning di sanggul gelombang bercemeti naga pada Gandhari itu menyiksamu sopan:
KIDUNG MALAM PAMUNGKAS: Mengapa aku bernama Gandhari? Ayah tak pernah menjeda jarak dengan duka. Aku sekadar sebaris nama. Ayah mencintai mendiang ibu. Bukan aku. Ayah suka nama Gandhari sebab ibu pun suka. Karena Gandhari wayang nan sabar setia. Ayah menanamiku gulungan Mahabharata begitu perkasa. Putri Ayah ini musti manut, nurut tanpa berhak menolak. Ayah tak memberiku kerenggangan bercurah hati. Aku sekedar perempuan. Tugasku kelak masak, menjahit, merias suami. Karena itu aku ke kelas salon. Aku sekadar jiwa terpasung. Akulah nasib Gandhari! Perpanjangan tahta ringkih Ngastina! Permasuri pangeran yang buta! Bunda para raksasa! Rahim peperangan sesama saudara! Kekhawatiran itu memperbudakku. Ketakutan itu memagariku sepanjang waktu. Ayah bilang Gandhari menutup mata sampai ajalnya. Sehingga kututup asmaraku kepada lelaki. Agar itu tak terjadi. Sebab aku takkan setegar wayang Gandhari.
Hendak kaubakar imaji Ki Sriono. Kau tersentak. Huruf-huruf itu menempelengmu telak. Mereka lantas turun ke gerinda ornamen biru baju wayang Gandhari:
Maka hatiku tak pernah menyaksikan Ayah bermain. Aku membias ke hasrat lain. Ingatkah kau pada romantika kita? Pesonamu merentangku ke muara nirwana. Kengerian agung mengguyurku. Bersama desah itu. Kukasihi bibirmu. Seperti kukasihi bibirku sendiri. Kusayang lekuk ragamu. Seperti kusayang lekuk ragaku sendiri. Bila aku mendekapmu, maka kau sejatinya terdekap dirimu. Bila kau merajaiku, maka aku sejatinya terajai diriku. Birahi kita berpetualang. Saling menjamah. Saling terengah. Dahi bertemu. Dara bertemu. Rambut mandi keringat. Malam berkeringat. Pulau sutra basah. Goa kita basah. Selaput kita basah…
Kau kehilangan kata-kata. Kau kehilangan rasa. Huruf itu melaju menyambarmu:
Izinkan aku berlalu. Aku telanjur cemburu pada segala kitarmu. Aku trelanjur melahirkan Baratayudha antara kau dan Pong. Bukankah asmaraku pelarian semata? Aku terlalu bahagia hingga aku tak kuasa lagi menerima. Malam kita tetaplah semesta nista. Rasa malu telah menghunjamku kuat-kuat. Dan perpisahan sanubarimu dengan Pong  mengutukku bagai iblis laknat. Maka kepergianku gelap nanti ialah sebuah pinasti…
Sampai jumpa, Perempuanku. Kuncup geloraku. Cantika-ku.
Sejak kauserap kalimat pertama, Cantika menantimu di sela pintu. Ia bersiap kaugampar atau bahkan kaucincang. Bola matanya merah. Benar-benar merah. Muka bulat sayunya pasrah. Dan kalbumu sudah lepas arah.
Kau melakukannya, Cantika?”tanyamu terbata-bata pada akhirnya.
Cantika terisak lirih. Air matanya melampaui perih. Gemulai tubuh itu nyaris tumbang. Kau cepat memberinya sandaran. Kalbumu hilang daya. Kalbumu hilang kuasa.
Maafkan aku, Pong!”
Mari berpelukan lebih erat, Saudariku. Lama perasaan kita terpisah.”
Aku salah tentangmu. Kau sesungguhnya lelaki sejati, Saudaraku.”
Kau pun perempuan sempurna, Saudariku.”
Asmara Gandhari mempersenjataimu lelara. Kau bangkit tanpa tenaga. Kalbumu terlanjur rempal digdaya. Kalian kian lekat. Air mata kalian kian lebat. Kaubuang mulut bengal kawan-kawanmu. Sebab bagi Cantika, tegak sanubarimu tetaplah pejantan.   *

*)
1. Pramesthi : cantik jelita
2. Mahabharata : kitab wayang kulit purwa Jawa dari India karangan Resi Wiyasa
3. Blencong : lampu penerangan pagelaran wayang yang asli
4. Kepyak : kotak yang biasa dipukuli dhalang untuk mengatur tempo
5. Kelir : layar mori pagelaran wayang
6. Baratayudha : peperangan akbar antara Pandhawa dan Kurawa
7. Gathotkaca : ksatria Pringgondani putra Werkudara
8. Duryudana : saudara tertua Kurawa
9. Ngastina : tahta kerajaan yang diperebutkan dalam Baratayudha
10. Werkudhara : ksatria tertua kedua dalam Pandhawa
11. Sengkuni : paman para Kurawa
12. Puntadewa : saudara tertua Pandhawa
13. Sang Bhisma : salah satu dewa yang mengatur takdir Ngastina

Haryas Subyantara Wicaksana, Siswa SMAN 1 Pacitan. Ketika ia duduk di bangku SMP, cerpen karyanya pernah menjadi pemenang LMCR 2012 Rohto-Mentholatum Golden Award.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar