Oleh
Haryas Subyantara Wicaksana
Kau cinta Gandhari,
sejak ia mati.
Debu-debu
nisannya menghadiahimu nelangsa. Segelintir kerabat menyemai kamboja.
Segelintir pelayat hilang hiba. Wangi mori gadis itu merias ganjil
wewajah duka. Bagaimana Izrail bisa begitu tergesa-gesa? Segelintir
pikirmu lengang bertanya. Gandhari ke akhirat. Tanpa terkapar
sekarat. Tanpa berkabar firasat.
“Gendhuk
Gandhariku,
anakku
yang
pramesthi1
telah
moksa!
Tidurnya abadi tadi malam. Persis sewaktu ibunya menutup usia. Di
tujuh hari selepas kepergiannya, hendak kupentas lakon ‘Kidung
Malam’. Adegan kesukaan mendiang istriku, sebagaimana Gandhari
menyayanginya, ketika Destarastra mempersunting nasib kelam.”
ungkap Ki Sriono, sang dalang kondang. Nadanya terbang. Sinar matanya
runtuh berulang-ulang. Bibir tuan wayang itu ranggas. Kaku. Kau tegas
tak setuju. Moksa bukankah lenyap nyawa lenyap raga. Sedang Gandhari
tak musnah jasmani. Kaujumpai anomalinya terakhir kali. Cantiknya
padam. Dekik pipinya bagai kemarau panjang.
*
Mengapa
kau baru mencintainya? Ini cintamu pertama pada seorang perempuan.
Rasa itu memacak kenangan sunyi. Semacam kesamaran yang terkunci.
Kaurasa kedekatan kalian selama empat semester di SMK serupa berlian
palsu. Apalagi ia kawan sebangkumu. Bodohnya lagi, rumah kalian
berdampingan. Dan betapa dungunya, bahwa kalian adalah sepasang
sahabat sejak kecil. Kautampar dahimu. Kaucakar tengkukmu. ‘Aku
tolol!’ dakwamu sambil menakar air liur ke muka kaca. Seonggok
jejak kemudian membimbingmu:
“Dia
jadi usil. Bangkunya sesak coretan. Dia hanya bilang ‘cuma
main-main kok, Bu Daning’. Aneh! Pendiam! Introvert! Saya justru
khawatir dia bunuh diri. Huruf-huruf stabilo kuning goresannya agak
mencekam. Untung sudah Pak Kebon pindah. Sekarang bangku almarhumah
itu aman di gudang.” jelas wali kelasmu setengah berbisik
menatapmu.
Ia
mencekatmu. Kudukmu tegak. Kau dan Gandhari memang banyak
bercakap-cakap. Tapi kau bahkan lengah bahwa bangkunya berkali-kali
dilanskap. Hatimu terus berdebat. Kau lekas melacak. Bangku itu kuyu.
Kakinya akrab dengan gelap. Di mana aksara Gandhari? Kau menyeretnya
ke cahaya. Huruf-huruf kerdil. Menggigil. Memorabilia berdenting.
Stabilo kuning berbicara hening:
“KIDUNG
MALAM I: Aku mengenalmu. Sungguh. Waktu ialah segenap hukuman. Mungil
sepasang kawan. Sepetak lahan kenangan. Dasawarsa silam. Sejoli
bocah. Mengintip resah. Pencarian. Kelana kepandaian. Buku gambar
sendu. Surat bergairah waru. Fajar kita beriringan. Malam kita
bersandingan….”
Kaupenggal
bacaanmu. “Aku pun mengenalmu, Ndhari.”batinmu berdansa getir.
Masa lalumu memelintir. Pekikanmu menari. Pekikan bidadari. Dan
lunglai badanmu tetaplah lelaki. “Apa kau sengaja mengukirkanku
cinta, Ndhari?”desahmu. Kau mulai berharap. Sebelum anak-anak
aksara itu menggencatmu cepat:
“KIDUNG
MALAM 2: Kita murid jurusan salon. Sekolah kita berkelamin perempuan.
Di jemari, lelaki tinggal beberapa. Maka kubujuk gelombang tubuhmu
guna kutata. Maka aku menyendiri. Supaya cemburu kita terkemas rapi.
Perkenankan reruang hati kita berganti nama. Kita tertawa. Tawa yang
berbeda. Kita bercanda. Canda yang tak sama. Kita tersenyum. Senyum
jadi basah, harum dan ranum. Mata kita telah mengambil bahasa lain.
Mata kita tengah berebut makna yang asing….”
Kembali
kaupenggal bacaanmu. “Aku pun begitu, Ndhari. Bukankah aku
lelakimu?” desismu. Kaulah pria di antara semesta perempuan di
sekolah, di rumah, bahkan di dusun kampung. “Aku menang!” ujarmu
berbinar. Gesturmu gestur bidadari. Dan busung dadamu tetaplah
lelaki. Batang matahari melukismu sesaat. Mejanya makin hangat.
Kepalamu makin berat. Siluet Gandhari terus mengiris. Cucu-cucu
aksara itu terus menangis:
“KIDUNG
MALAM 3: Gelora ini takkan kutandas ke kertas. Ia mudah tumpah. Ke
lubang curiga. Ke lubuk prasangka. Juga tak kepada telinga sesiapa.
Mereka gampang mengembara. Mencipta dusta. Apalagi ayahanda. Aku kaku
dalam cintamu. Aku bukan wayangmu. Aku putri semata wayangmu.
Kumohon. Turunkan wayangmu sebentar. Peluklah kalbuku sebentar.
Cintaku cinta manusia. Cintaku bukan milik pandhawa atau kurawa.”
Kau
mengumpat! Di pikiranmu, suara-suara Ki Sriono membebat. Dan mulutnya
memuntahkan segerombol pengkhianat.
“Jadilah
Werkudara, Pong Bencong!” petuahnya suatu malam.
“Ia
terlalu gagah perkasa lagi kasar, Ki Sriono.” balasmu geram.
“Bagaimana
kalau Arjuna? Kau tentu suka, Pong Bencong.”
“Pendekar
rupawan itu hanya sebongkah pecundang!”
Meski
kau tersinggung, diam-diam kau berkehendak menguasai kegagahan
mereka. Meski kaulaknat Mahabharata2,
kau selalu datang di depan pagelarannya. Blencong3
melolong. Kepyak4
menyulut jantung wayang. Kelir5
mengarang bebayang. Baratayudha6
berkeliar anggun dan kejam. Malam menggelar pembantaian. Perang
menahan matamu hingga bulan terbenam. Bunuh Gatotkaca7!
Bunuh Duryudana8!
Gempur Ngastina9!
Perintah
yang menabung dendam. Jam demi jam.
Tersebab
itulah, cinta Gandhari kaku, tuduhmu. Ki Sriono terlalu gagah
melebihi Werkudara10!
Atau ia selemah Arjuna! Atau hatinya segalak Baratayudha! Gandhari
bocah lembut-luwes-lugu. Ia takkan sanggup menyayangi
perseteruan abadi: sosok bapaknya sendiri. Maka ia jarang menghadiri
pertunjukan wayang, kecuali terpaksa.
Lima
ekor pertanyaan merajammu. Ke manakah Gandhari tiap kali bapaknya
berkisah garang? Di rumah? Tidur tenang? Dengan teman? Atau bersama
lelaki tampan? Dugaanmu makin serampangan. Tak ada titik terang.
Kidung
Malam tamat. Tak kautemui Kidung Malam empat. Kauselidiki celah.
Nihil. Kauperiksa sekitar. Nihil. Sarang lelaba bungkam. Meja-meja
tua bungkam. Aksara Gandhari bungkam. Mirip kotak pandora terakhir.
Dan penasaranmu terkilir. Tinggal satu petunjuk: saudara kembarmu,
Cantika. Ia pun sejurusan denganmu. Murid kelas salon. Kau pulang.
Gudang diam. Larimu lari perempuan. Dan kekar jakunmu tetaplah
tampan. Sergahmu:
“Mengapa
kauwariskan asmara, Ndhari? Mengapa tak cukup perkabungan saja?”
*
Pekarangan
sepi. Bapakmu sudah bersitegang di balik setir truk pasir. Tak ada
yang ingin ia ketahui selain dapur biyungmu, rapormu, atur-atur
khitanan dan undangan slametan. Selebihnya: setoran, setoran,
setoran! Sedangkan biyungmu tergopoh-gopoh dari tempat rewang. Nanti
malam kenduri tujuh hari Gandhari. O, Ndhari! Berderit-derit
asmaramu. Cantika pasti tahu! Mendadak biyungmu menyentil:
“Piye
to, Pong? Kamu dan Cantika itu saudara serahim! Pulang kok ndak
bareng. Semestinya kalian rukun. Lha malah bubrah begini!”
Ketika
sentilan biyungmu masih membenturi tembok, Cantika telah bertengger
di kamar. Tatapannya datar. Dipegangnya piring bening. Ia mainkan
siang. Ia telan nasinya kencang-kencang. Biyungmu segera menarik
bahumu. Ia berujar genting:
“Sudah
seminggu saudaramu begitu. Nglakoni apa-apa, tapi ndak ngomong
apa-apa. Biasanya dia nyeriwis, berkoceh, nyanyi-nyanyi. Sekarang
kayak bocah bisu. Kalau ditanya, cuma manggut, cuma geleng-geleng.”
Celaka!
Penasaranmu tambah bengkak! Kau takkan berani menghadapi
kesenyapannya. Urung sempat kauhela umpatanmu, biyungmu menduga-duga
kacau:
“Apa
Cantika punya pacar, Pong? Apa dia jatuh cinta? Atau putus cinta?”
Kau
acuh tak acuh. Meski kalian saudara kembar, jiwa kalian telah
terbelah, sejak kau diolok-olok ‘putri tampan’ di sekolah. Jarang
sekali kau dikitari lelaki. Bahkan bapakmu sendiri. Cantika membuatmu
tumbuh, bermain, bercanda, berbagi rasa bersama para perempuan.
Logat, tingkah, dan napasmu milik perempuan. Kaubentak kenangan.
Kaubentak waktu. Kaubentak jalur hidupmu. Kaubentak pelan biyungmu:
“Itu
bukan wilayahku, Mbok. Gandhari akhir-akhir ini dekat banget dengan
Cantika. Mungkin dia sedang bersedih. Itu saja!”
Kau
melenggang. Tanya di kepalamu berdesakan. Gaduh. Namun jalan keluar
kini lumpuh. Tak ada sorot cahaya. Sementara Ki Sriono berteriak dari
mulut jendela:
“Haduh!
Wayangku hilang! Putri ayuku hilang!”
Akal-akalan!
Hardikmu. Ia pergunakan picik-picik kemalangannya. Supaya kisahnya
dipajang koran. Supaya pamornya meloncat ke media massa. Supaya
pagelaran wayangnya terbeli di layar kaca. Kenduri malam nanti
sebenarnya doa-doa sepi. Alibi yang pasti. Duka manis yang pelit. Air
mata yang pura-pura pahit. Bagi dalang bersurjan tirus kurus beruban
itu, kain kafan Gandhari serupa kantung uang! Sialan! Bisu Cantika
bertahan. Asmaramu mungkin menggugat jawaban. Asmaramu mungkin
meretas tuntas perkabungan. Mungkin.
*
Paruh
malam berikutnya, kau semakin curiga. Bukankah Ki Sriono tengah ke
luar kota? Tetapi ada bebunyian serak-serak. Kepyak berhentakan.
Gamelan. Sindhen menimang tembang. Guruh dalang memekik tajam:
“Bumi
gonjang-ganjing! Langit kerlap-kerlip!…”
Kauteliti
gendang kuping. Kemerisik radio di kamar Cantika! Pintu yang selalu
ia gembok rapat, kini menganga begitu saja. Batinmu bersengketa. Kau
mengorek mata. Tanpa ketukan pintu, kamar itu seperti tak berbaju.
Kau mondar-mandir. Jungkirbalik. Kaugeledah penglihatanmu. Kautangkap
beberapa momentum.
Pukul
00.43.
Matamu bekerja paksa. Cantika duduk. Mengolet. Memanjakan kaki. Tapi
lingkar pandangnya tetap tak mau bicara. Kemerisik radio terus
melilit gendang kupingmu. Gamelan meruncingi suara dalang. Cantika
diam. Ia pasti segera menyegel diri bila kau menghampiri. Maka kau
takkan mampu meraihnya. Gila! Kau berjaga tengah malam demi suatu
tanya. Demi suatu kelegaan remeh sia-sia. Ah! Masa bodoh! Desismu.
Pukul
01.17.
Sengkuni11
berkoar di radio. Cantika berdiri gamang. Ia tilik kolong ambin.
Tangannya menjemput sesuatu. Sebatang wayang. Wayang perempuan.
Perempuan jelita. Jelita bermata kain gulita. Ia menggamitkan lengan
si jelita ke balik jarik. Kau tahu bahwa wayang itu tertikam
sengsara. Namun pikiranmu sulit mengiyakan.
Pukul
02.39.
Puntadewa12-Duryudana
jadi belasungkawa. Baratayudha mencacah semesta. Cantika berhenti
memegang wayang. Jarinya membuat volume radio meningkap, menjauh,
tenggelam. Ia sekap ketat pendengarannya. Wajahnya sembunyi. Lalu ia
tinggalkan kamar. Meninggalimu tanya yang tak kelar. Lekas kaukuasai
peluang. Kauringkus wayang itu dari ambin. O! Ki Sriono benar-benar
berteriak. Wayangnya benar-benar diculik. Dan wayang itu berasma
Gandhari! Segenggam takdir sang Bhisma13!
Kekasih Destarastra! Bunda seratus Kurawa! Muara Baratayudha! Kau
terpana. Kaupungut si boneka Jawa. Dadamu berdecak bak kilatan
kepyak. Perasaanmu diperkosa. Logikamu diperkosa. Stabilo kuning di
sanggul gelombang bercemeti naga pada Gandhari itu menyiksamu sopan:
KIDUNG
MALAM PAMUNGKAS: Mengapa aku bernama Gandhari? Ayah tak pernah
menjeda jarak dengan duka. Aku sekadar sebaris nama. Ayah mencintai
mendiang ibu. Bukan aku. Ayah suka nama Gandhari sebab ibu pun suka.
Karena Gandhari wayang nan sabar setia. Ayah menanamiku gulungan
Mahabharata begitu perkasa. Putri Ayah ini musti manut, nurut tanpa
berhak menolak. Ayah tak memberiku kerenggangan bercurah hati. Aku
sekedar perempuan. Tugasku kelak masak, menjahit, merias suami.
Karena itu aku ke kelas salon. Aku sekadar jiwa terpasung. Akulah
nasib Gandhari! Perpanjangan tahta ringkih Ngastina! Permasuri
pangeran yang buta! Bunda para raksasa! Rahim peperangan sesama
saudara! Kekhawatiran itu memperbudakku. Ketakutan itu memagariku
sepanjang waktu. Ayah bilang Gandhari menutup mata sampai ajalnya.
Sehingga kututup asmaraku kepada lelaki. Agar itu tak terjadi. Sebab
aku takkan setegar wayang Gandhari.
Hendak
kaubakar imaji Ki Sriono. Kau tersentak. Huruf-huruf itu
menempelengmu telak. Mereka lantas turun ke gerinda ornamen biru baju
wayang Gandhari:
Maka
hatiku tak pernah menyaksikan Ayah bermain. Aku membias ke hasrat
lain. Ingatkah kau pada romantika kita? Pesonamu merentangku ke muara
nirwana. Kengerian agung mengguyurku. Bersama desah itu. Kukasihi
bibirmu. Seperti kukasihi bibirku sendiri. Kusayang lekuk ragamu.
Seperti kusayang lekuk ragaku sendiri. Bila aku mendekapmu, maka kau
sejatinya terdekap dirimu. Bila kau merajaiku, maka aku sejatinya
terajai diriku. Birahi kita berpetualang. Saling menjamah. Saling
terengah. Dahi bertemu. Dara bertemu. Rambut mandi keringat. Malam
berkeringat. Pulau sutra basah. Goa kita basah. Selaput kita basah…
Kau
kehilangan kata-kata. Kau kehilangan rasa. Huruf itu melaju
menyambarmu:
Izinkan
aku berlalu. Aku telanjur cemburu pada segala kitarmu. Aku trelanjur
melahirkan Baratayudha antara kau dan Pong. Bukankah asmaraku
pelarian semata? Aku terlalu bahagia hingga aku tak kuasa lagi
menerima. Malam kita tetaplah semesta nista. Rasa malu telah
menghunjamku kuat-kuat. Dan perpisahan sanubarimu dengan Pong
mengutukku bagai iblis laknat. Maka kepergianku gelap nanti
ialah sebuah pinasti…
Sampai
jumpa, Perempuanku. Kuncup geloraku. Cantika-ku.
Sejak
kauserap kalimat pertama, Cantika menantimu di sela pintu. Ia bersiap
kaugampar atau bahkan kaucincang. Bola matanya merah. Benar-benar
merah. Muka bulat sayunya pasrah. Dan kalbumu sudah lepas arah.
“Kau
melakukannya, Cantika?”tanyamu terbata-bata pada akhirnya.
Cantika
terisak lirih. Air matanya melampaui perih. Gemulai tubuh itu nyaris
tumbang. Kau cepat memberinya sandaran. Kalbumu hilang daya. Kalbumu
hilang kuasa.
“Maafkan
aku, Pong!”
“Mari
berpelukan lebih erat, Saudariku. Lama perasaan kita terpisah.”
“Aku
salah tentangmu. Kau sesungguhnya lelaki sejati, Saudaraku.”
“Kau
pun perempuan sempurna, Saudariku.”
Asmara
Gandhari mempersenjataimu lelara. Kau bangkit tanpa tenaga. Kalbumu
terlanjur rempal digdaya. Kalian kian lekat. Air mata kalian kian
lebat. Kaubuang mulut bengal kawan-kawanmu. Sebab bagi Cantika, tegak
sanubarimu tetaplah pejantan. *
*)
1.
Pramesthi : cantik jelita
2.
Mahabharata : kitab wayang kulit purwa Jawa dari India karangan Resi
Wiyasa
3.
Blencong : lampu penerangan pagelaran wayang yang asli
4.
Kepyak : kotak yang biasa dipukuli dhalang untuk mengatur tempo
5.
Kelir : layar mori pagelaran wayang
6.
Baratayudha : peperangan akbar antara Pandhawa dan Kurawa
7.
Gathotkaca : ksatria Pringgondani putra Werkudara
8.
Duryudana : saudara tertua Kurawa
9.
Ngastina : tahta kerajaan yang diperebutkan dalam Baratayudha
10.
Werkudhara : ksatria tertua kedua dalam Pandhawa
11.
Sengkuni : paman para Kurawa
12.
Puntadewa : saudara tertua Pandhawa
13.
Sang Bhisma : salah satu dewa yang mengatur takdir Ngastina
Haryas
Subyantara Wicaksana, Siswa SMAN 1 Pacitan. Ketika ia duduk di bangku
SMP, cerpen karyanya pernah menjadi pemenang LMCR 2012
Rohto-Mentholatum Golden Award.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar