Oleh
Mecca
Yumnaning Prisie
Babe
menghentikan bacaannya, membaca koran. Matanya menatap tajam kepada
anak gadisnya, yang berdiri di depannya.
“Lu
mau ngeluarin duit segitu banyak cuma buat gaya-gayaan? Dengan harga
semahal itu Babe bisa buka warteg baru!” seru Babe, yang suka
bicara gaya Betawi.
Mulut
Yuyu membentuk kerucut. Otaknya diputar, mencari kalimat yang tepat,
untuk mendebat perkataan ayahnya.
“Babe,
ini zaman modern. Semua temanku keren, lha aku? Babe mau anaknya
dibilang ketinggalan zaman?” Bantah Yuyu, tapi nadanya persuasif.
Babe
diam. Memang benar kata anak gadisnya. Tapi, tak lama kemudian ia
angkat bicara, berusaha sesabar mungkin.
“Bukannya
Babe gak mau keluar duit. Cuma Babe mikir, lu kan masih
sekolah. Lu harus fokus belajar dulu lah. Urusan penampilan bisa
diurus belakangan, kalo sekolah lu udah selese. Memang
mau lu dapat laki ganteng tapi tolol?”
Yuyu
tak menjawab. Memang benar kata ayahnya, tetapi bukan itu masalahnya.
Baru-baru ini sedang tren cangkang
berwarna-warni dengan aksesoris berlukis. Juga lendir kilau
pelangi, tampak menyala dalam gelap. Trend itu melanda hampir
semua siswa di sekolah Yuyu. Tentu, Yuyu ingin seperti mereka.yang
dianggap keren.
Seekor
siput jantan bernama Pepe yang ditaksir Yuyu juga punya lendir kilau.
Di mata Yuyu, dia sangat ganteng. Ini yang membuat Yuyu yang merasa
kampungan
dan harus mereformasi penampilannya. Betapa tidak? Yuyu hanya
bercangkang coklat, polos berdebu. Berkali-kali ia meyakinkan
dirinya untuk mendapatkan cangkang warna-warni serta lendir
unik itu. Tujuannya, agar ia lebih pantas jika
bersanding dengan Pepe selama pe-de-ka-te.
Harapannya, bisa sampai jadian.
Tetapi
apa daya? Yuyu tidak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya pada
ayahnya. Karena Babe tidak mau Yuyu pacaran, atau apa pun
yang berhubungan dengan romantisme dengan lawan sjenis, selama masa
sekolah. Ayahnya pernah mengatakan, “Cinta mengalahkan segalanya,
kecuali sakit gigi. Jadi cinta gak boleh dibuat main-main. Lu sekolah
dulu aja yang bener.” pesannya pada Yuyu.
Karena
kalimat pesan itu, Yuyu merasa ayahnya tidak menghargai
prestasinya selama ini. Lihatlah piala-piala di rak besar di
ruang tamu rumahnya. Semua hasil keringat prestasi Yuyu selama
bertahun-tahun. Berbagai perlombaan diikutinya dan dimenangkannya.
Baik prestasi akademik maupun non-akademik, Yuyu mendapatkannya.
Rapot? Merah adalah warna yang tidak akan dijumpai dalam semua
rapotnya, kecuali warna sampulnya yang memang merah. Mulai dari
SD sampai sekarang, SMA. Yuyu capek, dia merasa gagal memberi
kebanggaan pada orangtuanya, padahal ia berusaha keras dan
wowww.
Yuyu
menghela nafas. Lalu ia protes pada ayahnya, “Babe, Yuyu
jarang minta apa-apa sama Babe. Masak, permintaan Yuyu kali ini
tidak juga dituruti?”
Babe
meletakkan korannya. “Yuyu, Babe harus mikir dulu sebelum beliin lu
apa-apa, baik dan tidaknya untuk kamu. Oke?”
“Terserah
Babe ah.” Yuyu segera pergi dengan perasaan kecewa.
*
Yuyu sedang berkumpul dengan gengnya, yaitu Gastropodeng, di kantin sekolah. Yuyu, Tata, Fifi, Rere, duduk di sebuah bangku panjang di pojokan, sambil menikmati es podeng favorit mereka.
*
Yuyu sedang berkumpul dengan gengnya, yaitu Gastropodeng, di kantin sekolah. Yuyu, Tata, Fifi, Rere, duduk di sebuah bangku panjang di pojokan, sambil menikmati es podeng favorit mereka.
“Gua
kesel.” Fifi membuka percakapan dengan teman-teman satu gengnya.
“Emak gue gak mau gue ngehias cangkang gue coba. Gila gak tuh? ”
bahasa gaulnya kental.
“Mungkin
dia punya alasan,” balas Tata, siput betina paling alim dan cerdas
di geng tersebut. “Orangtua tidak mungkin ingin mencelakakan
kita, Fi.”
“Ya
tapi masa mereka tidak mau lihat anaknya keren sih.” Yuyu mendukung
pendapat Fifi. Dia merasa kesal dengan penolakan ayahnya.
Sementara
Rere si siput pendiam menonton mereka berdebat. Tidak pro maupun
kontra. Dia menelan es podengnya. Sesekali melihat siput
berwarna-warni hilir mudik di kantin. Ada yang benar-benar sedang
makan, ada yang cuma pacaran, Ada pula yang berdesakan antri
makanan. Tak sedikit yang cuma menonton orang makan.
“Woi
Re, ngomong dong!” tegur Fifi. “Kayak batu kali lu tau gak, diem
mulu. Tinggal dicat terus dijorokin!”
Rere
buka suara. “Yaa menurutku sih biasa aja, malah bisa dibilang
norak. Warna-warnanya itu lho, gak cocok. Kontras, nabrak-nabrak.
Lendirnya juga. Duh.”
“Eaaaa,
seninya keluar nih.” goda Tata, yang diikuti tawa Fifi dan Yuyu
yang terbahak-bahak, sampai menarik perhatian para pengunjung kantin.
“Eh
norak apaan, keren tau!” kata Fifi. “Kita kan siput Jakarta,-
Kota Megapolitan, pastinya harus gaul dan keren dong. Jangan
kayak siput sawah,” Lanjutnya.
“Yoi.”
Yuyu mengangguk, senang ada yang setuju dengannya.
Tata
sebagai anak yang baik berusaha menasehati. “Aku serius. Tidak
setuju dengan pengecatan cankang warna-warni, juga lendir pelangi.
Kesannya, tak menghargai pemberian Allah. Apalagi cat itu permanen,
jika mau dihapus biayanya mahal. Ah, pewarnaan cangkang, trend itu,
memberiku firasat buruk…!”
“Firasat
apa?” tanya Yuyu.
“Aku
belum tahu. Biasanya yang melanggar kodrat Allah…ya gitulah.”
Kata Tata.
“Halah,”
Fifi mengibaskan radarnya. “Itu kan cuma pikiran lu aja Tata. Toh
semua yang ngetrend keliatan baik-baik saja. Berlebihan ah lu.”
“Iya,
semoga..” Tata tersenyum tipis.
Sementara
itu, Yuyu terhanyut dalam pemikirannya tentang mode baru tersebut.
Bagaimana caranya supaya ayahnya mau mengabulkan permintaannya?
Bel
tanda berakhir jam istirahat berbunyi. Gastropodeng berjalan ke
kelasnya masing-masing. Selama pelajaran berlangsung, pikiran Yuyu
berkecamuk. Dia bingung harus berbuat apa agar ayahnya mengabulkan
perminataannya.
Akhirnya
ia menemukan sebuah ide, yang menurutnya ampuh.
*
Babe
terdiam. Matanya tak bisa lepas dari secarik kertas yang tertempel di
pintu kamar Yuyu. Nyak menghampiri Babe.
Di
kertas itu tertulis dengan spidol, huruf kapital semua.
“AKU
TIDAK AKAN PULANG SAMPAI BABE NURUTI PERMINTAANKU
NGEHIAS CANGKANG DI SALON BANG CECE. AKU SERIUS.
BUKAN SETENGAH MATI LAGI, M A T I !!!
“
Nyak
mengetok pintu kamar Yuyu pelan. Dengan lembut dipanggilnya Yuyu.
“Yuyu? Buka pintunya Nak, Nyak mau bicara.”
Hening,
tidak ada jawaban. Babe mengetok pintu. “Yu? Jangan ngendon
di kamar terus dong.” Ujarnya, menahan jengkel.
Tetap
tidak ada jawaban. Nyak dan Babe panik. Kemudian Nyak mendongak
ke atas. Ia baru ingat ada ventilasi di atas pintu tersebut.
“Babe, coba angkatin Nyak deh. Nyak mau ngecek Yuyu dari
ventilasi.”
Babe
pun setuju. Nyak mengintip kamar Yuyu. Betapa
terkejutnya ia saat melihat kamar Yuyu berantakan. Ia
tidak ada di dalam kamar. . Babe dan Nyak pun keluar dari rumah,
menuju jendela kamar Yuyu. Ternyata, jendela itu tertutup rapat .
Babe dan Nyak mengeluh tak bisa masuk
ke kamar Yuyu, padahal pintu kamar itu tak berkunci. Nyak mencari
ide.
“Oh,
gini aja babe. Kan Nyak punya cermin yang agak besar itu. Nah, di
atasnya ada tali buat ngegantungnya, nanti Nyak pake tongkat Babe
yang ujungnya ada kaitnya itu lho. Terus nanti Nyak masukin
lewat ventilasinya itu, di depan pintu kamar Yuyu. Jadi, Nyak
bisa liat apa yang ngehalangin pintunya.”
“Pinter
juga si Nyak.” Babe nyengir. Nyak langsung menjalankan rencananya.
Matanya membelalak melihat refleksi yang terpapar di cermin.
“Ada
apa, Nyak?” Babe bertanya.
“Babe,”
ujar nyak “Tau apa yang dia pakai buat mengunci pintu?”
Betapa
terkejutnya Babe. Ternyata Yuyu mengelem pintu kamarnya dengan
lakban hitam, yang melintang dari ujung pintu sampai ke sudut
ruangan. Babe heran mengapa anaknya menutup kamarnya sedemikian
rupa. Namun dia menyimpan pertanyaan yang lebih penting: di mana
Yuyu?
Babe
khawatir, memikirkan Yuyu. Nyak dan Babe memutuskan mencari
Yuyu.
Mereka
berdua berlari keluar rumah, berteriak-teriak memanggil Yuyu. .
Teriakan mereka didengar oleh satpam. Ia tergopoh-gopoh, “Ada
apa, Be, Nyak?” tanya Satpam. Nyak dan Babe menjelaskan
hilangnya Yuyu. Mereka mencari Yuyu ke seluruh komplek. Nihil
kasiknya. Pencarian dilanjutkan ke kampung-kampung sekitar. Hari
semakin gelap, bulan mulai menggusur matahari. Babe dan Nyak mulai
putus asa. Namun, apapun akan tetap dilakukan untuk menemukan anak
mereka semata wayang.
Tiba-tiba,
terdengar teriakan seekor siput muda, “Ttttt-tadi, saya liat
hantu di pohon!” ujarnya setelah ditanya.
“Hari
gini masih ada hantu? Mana pohonnya yang ada hantu?” Tanya Babe.
Siput muda menunjuk sebuah pohon tinggi besar yang lebat
daunnya, di atasnya terlihat ada sosok tertutupi kain putih.
“Itu
dia hantunya.” Seru Siput Muda.
Babe
melotot. Tiba tiba ada angin berhembus dan menyibakkan
kain putih itu. Babe terkejut, melihat sosok yang ada di
balik kain putih: Yuyu? Anak gadisnya itu menatap tajam ke arah
Babe. Ia tak menghiraukan tatapan para warga yang menontonnya.
Yuyu nekad. Ia tak takut ayahnya marah. Andaikan marah, pikir
Yuyu, ayahnya yang akan malu sendir jika marah i di depan umum.
Yuyu tahu, ayahnya santun dan tahu jaga diri. Memang benar, ayahnya
tak marah.
“Yuyu,
jangan gitu,” kata Babe dengan memelas. “Turun lu sekarang,
Babe mohon dengan sangat.”
“Ogah.”
Ujar Yuyu. Singkat, padat, jelas. Walau dalam hati ia geli mendengar
ucapakan ayahnya, :…Babe
mohon dengan sangat.
“Ayo
kita bicara baek-abek. Nggak usah lu kaya gini.” Babe suaranya
lebih melas.
Yuyu
tertawa sinis sambil menyerang ayahnya. “Mana mau Babe kompromi.”
“Turun.
Sekarang.” Seru Babe, nadanya meninggi tapi nadanya mengalah.
“No.
No….” Yuyu bersikeras.
“Lu
mau Babe tebang nih pohon? Biar lu turun?” Babe menantang.
“Kalau
Babe tebang pohon ini,” jawab Yuyu. “Ada banyak kemungkinan. Bisa
jadi nanti cangkangku pecah karena jatuh. Mungkin juga menimpa
banyak orang, pada luka. Pohon ini kalau Babe
tebang akan merusak beberapa rumah. Babe harus nanggung ganti
rugi besar. Mau?”
Babe
diam, matanya berkerja-kerjap. Yuyu tertawa dalam hati,
walaupun ekspresi mukanya datar. Babe terdiam. Tak berkutik. Nyak
menyaksikan dalam kekhawatiran.
“Jadi,
gimana Babe, masih mau nebang pohon ini?” desak Yuyu.
Babe
menyerah. “Apa yang bisa Babe lakukan supaya lu mau turun?”
Yuyu
terdiam, inilah saatnya.
“Babe,
katakan pada semua orang,” ujar Yuyu. “Bahwa Babe akan
menuruti permintaanku, menghias cangkang dan lendirku di salon Bang
Cece. Kalau Babe bilang, tapi tidak direalisasikan, pasti babe akan
lebih malu dari ini.”
“Gile
lu!” Babe membelalak. Warga masih menonton perdebatan ayah dan
anak..
“Babe
mau, aku turun atau tidak?” Yuyu mengeras lagi.
Terdiam
dan tanpa pilihan lain, Babe pun mengikrarkan janjinya,
memenuhi permiataan anaknya. Ayah Yuyu tidak sanggup jadi tontonan
banyak orang.
Yuyu
merayakan tarian kemenangannya dalam hati.
*
Senin,
minggu berikutnya. Yuyu masuk sekolah dengan lebih pe-de dari
biasanya. Tentu saja karena perubahan pada penampilannya.
Cangkangnya kini berwarna oranye, dengan garis hitam yang
mengikuti arah spiral cangkangnya. Di sela garis spiral tampak
lukisan polkadot berwarna ungu pastel. Lendirnya, tak tanggung
tanggung. Warna pelangi, silau mencolok. Tiba di pangkalan
tongkrongan
Gastropodeng,
penampilannya itu langsung menjadi buah bibir.
“Gila
lu! Keren banget!” Puji Fifi.
“Iya
dong, Yuyu gitu lho.” Ujar Yuyu genit. Dengan bangganya dia
pamerkan cangkangnya dan berjalan mondar mandir untuk
menunjukkan lendirnya.
“Hahaha,
ketularan ya lu?” komentar Rere, “Hedon abis!”
Tata
hanya menatap cangkang dan lendir unik tersebut bergantian, entah apa
yang dipikirkannya.
“Dengan
begini, aku bisa pe-de-ka-te si itu tuuuh…” Yuyu
tertawa-tawa, matanya melirik-lirik ke arah Pepe yang sedang duduk
menikmati mienya.
“Wuh,
berani nggak lu ngedeketin Pepe sekarang?” Rere mengompori.
“Siapa
takut?” Yuyu pun maju, sementara Fifi dan Rere menjadi pemandu
sorak, dan Tata hanya nyengir dan geleng-geleng kepala.
“Hai,
Pepe.” Yuyu menebarkan senyumnya yang paling menawan. “Boleh
aku duduk di sini?”
“Hai
juga,” jawab Pepe ramah, membuat Yuyu tersanjung. “Wah, jangan.
Di situ udah buat seseorang. Maaf ya Yuyu?”
“Siapa?”
Yuyu terheran, tetapi masih tersenyum.
“Pacarku.”
Kata Pepe.
“Ohhh…maaf,”
Yuyu masih tersenyum, namun hatinya retak. Ia sadar, rencananya
tidak berjalan mulus. Ia menoleh ke arah teman-temannya.
Kemudian ia meninggalkan Pepe.
Tapi,
Yuyu tidak kembali ke gengnya, Gastropodeng. Ia ke luar kantin.
Mereka yang melihat Yuyu berjalan ke luar kantin menjadi heran.
Kemudian mereka mengikutinya.
Yuyu
berjalan sampai di pagar sekolah. Tak disangka, Yuyu melompati pagar
sekolah. Geng Gastropodeng berteriak-teriak panik, memanggil Yuyu.
Para siswa berhamburan, ingin mengetahui apa yang terjadi. Yuyu tak
menghiraukan teriakan teman-temannya itu. Ia malah berlari
dengan kecepatan yang sangat kencang. Bahkan, terlalu kencang
untuk seekor siput. Ia telah menjauhi gedung sekolahnya.
Baginya,
sekolahan itu merupakan sumber sakit hatinya. Yuyu terus
berlari. Akhirnya ia sampai di jalan raya. Nafasnya terengah-engah.
Ia sangat lelah dan itu membuatnya menangis. Ia merutuki
kebodohannya sendiri.
“Percuma,
percuma! Seharusnya aku tak harus mengubah diri cuma buat
mendapatkan Pepe. Kalau saja aku dia sudah punya
pacar! Huhh…nyesel aku, bikin malu diri sendiri, juga Babe.
Ia benar, aku seharusnya memikirkan sekolahku saja.”
Yuyu
merunduk. Tiba-tiba ia mendengar derap langkah manusia-manusia
kecil menghampirinya. Salah satu dari mereka mengambil Yuyu,
mengangkatnya dari tanah. Yuyu terkejut..
“Eh,
bagus nih keong!” salah seorang dari mereka berkata.
“Mau
dong!” yang lainnya menyahut, berusaha merebut Yuyu dari genggaman
manusia yang satunya.
“Enak
aja, gue yang nemu duluan!”
“Eh,
tapi kan keong lu udah banyak, buat gue aja sini.” Kata yang
lainnya.
Tak
terelakkan lagi, terjadilah pertengkaran untuk memperebutkan Yuyu.
Dara siput itu merasa limbung. Kemudian dirinya terlempar jauh,
jauh sekali dari kerumunan. Dia jatuh tepat di atas aspal panas,
tepat pada cangkangnya. Cangkangnya yang berwarna-warni retak, dan
pecah. Lendirnya meleleh.
Yuyu
terkapar lemas. Sungai penyesalan mengalir dari kedua
matanya. *.
Mecca
Yumnaning Prisie, Siswi SMAN 99 Jakarta Timur. Selain gemar menulis
fiksi, ia juga melukis dan karya-karyanya sering memenangi lomba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar