Oleh
Joshua Timothy
Cahaya
lampu minyak menerobos bola mataku, membuatku tersentak. Aku
terbangun, aroma rempeyek teri menggeletik hidungku dan
menuntunku ke dapur tempat ibuku memasak. Cipratan minyak
panas menyambut kedatanganku, di dapur sederhana ini. Dengan
cekatan, ibuku menggoreng adonan tepung rempeyek teri kedalam
wajan. Aku tak larut menyaksikan ibuku. Dengan pisau di tangan,
aku mulai memotong sayuran yang akan jadi pecel, setelah
direbus dan disajikan dengan bumbu kacang.
*
Fajar
mengantar pagi. Aku dan ibuku bergegas menuju pasar. Rempeyek
teri, pecel, kue bugis,
dan kue nagasari
telah tersusun rapih didalam keranjang kami bawa bersama. Kicauan
burung dan hemusan angin pagi angin mengiringi perjalanan kami. Aku
pun terbuai oleh suasana, sampai tak sadar jika aku sudah berada di
pasar. Simfoni alam yang indah bergantikan hiruk-pikuknya keramaian
pasar. Aku dan ibu menuju lapak tempat kami berdagang. Hanya beberapa
menit kemudian, para pembeli pun berdatangan. Makanan masakan ibuku
memang selalu diburu pelanggannya. Tak sampai berjam-jam,
dagangan ibuku habis, laris manis. Lapak segera dibereskan. Ibuku
berbelanja untuk berjualan esok harinya dan aku pulang ke rumah
membawa keranjang dan peralatan dagang.
Matahari
mulai terik, ketika aku menuju ke rumah. Aku merasakan,
perjalanan pulang ini terasa lebih berat dibandingkan perjalanan
kala berangkat ke pasar. Ah, tak usah mengeluh. Aku memang
harus menjalaninya. Sampai di rumah terasa lega. Walau rumah yang
kutempati bersama ibuku hanya berlantai kasar, dindingnya
anyaman bambu, atapnya genting murahan. Tapi, aku dan ibuku
menganggap rumah kami adalah istana. Juga rumah kenangan, warisan
dari almarhum ayahku. Aku berjanji akan merawatnya sampai kapan pun.
Menjelang
siang, aku pamitan pada ibuku, untuk bekerja. Sudah hampir tiga
tahun aku bekerja di sentra produksi pengolahan kolang-kaling.
Perjalanan memakan waktu sekitar tiga puluh menit dengan berjalan
kaki. Aku memilih berjalan kaki, untuk menghemat ongkos.
Harapanku, aku bisa menabung dan bertekad menembok rumah warisan
ayah.
Di
sentra prodiksi kolang-kaling, tugasku mengupas buah aren. Mungkin
pekerjaan ini terlihat mudah. Namun jika sembarangan dalam
mengerjakannya, getah yang terdapat pada kulit buah aren dapat
membuat tangan gatal-gatal. Belum lagi jika salah ‘memainkan’
pisau, maka mata tajam pisau dapat memotong jari. Proses pembuatan
kolang-kaling cukup panjang. Buah aren dipetik masih setengah
matang. Selanjutnya, buah aren dibakar untuk untuk
menghilangkan getahnya. Selanjutnya, buah aren direbus
sekitar dua jam agar getahnya hilang tuntas, Berikutnya, buah aren
dikupas untuk mengeluarkan biji inti, yang disebut kolang-kaling.
Masih berlanjut, biji-biji aren dipukul-pukul agar empuk dan pipih
saat dimakan. Tahap akhir, kolang-kaling direndam dalam air
kapur selama tiga hari, agar kolang-kaling bersih dan bertekstur
kenyal. Setelah itu barulah kolang-kaling dapat disantap sebagai
varian sekoteng, kolak, es campur, maupun minuman segar
lainnya.
Aku
menyukai pekerjaanku. Di tempat ini, ada gadis remaja – Puji,
namanya. Ia sahabatku, bekerja bersamaku. Kami berdua
menopang ekonomi keluarga. Kami telah menjadi saudara. Walau kadang
aku agak kecewa, karena Puji terlalu pendiam. Tapi, akhir-akhir ini
sikapnya berubah. Ia menceritakan masa lalunya. Sungguh, aku
terkejut. Ia mengaku, anak yang lahir dari hubungan seks diluar
nikah. Dengan berbagai cara, ayahnya pernah berusaha menggagalkan
kehadirannya di dunia ini. Namun apa dayanya, jika Tuhan berkehendak
- Puji pun lahir dan tumbuh menjadi gadis cantik.. Ibunya
membesarkannya dengan penuh kasih sayang, namun ayahnya tetap tidak
mau menerima kehadirannya. Bahkan, Puji sering ia siksa. Juga jadi
ejekan para tetangganya.
“Makanya,
ibuku lalu membawaku ke mari. Dari kota pindah ke desa,” tegas
Puji, dengan suara pedih.
“Aaauuuuw!”
tiba-tiba aku berteriak kesakitan karena pisau di tanganku menyayat
jariku. Aku tersentak oleh kalimat Puji.
“O,
maaf.” Seru Puji, sambil memegangi jariku yang terluka. Kemudian ia
berlari mengambil obat merah dan membalut luka jariku dengan lembut.
Tapi matanya menyimpan kepedihan yang mendalam. “Gara-gara
ceritaku, jarimu terluka.” Bisik Puji.
“Ah…tidak
mengapa. Kau sudah mengobati dan membalutnya.” Sahutku, sambil
mengusap pipinya.
Tiba-tiba
air mata Puji menetes bening. Kemudian wajahnya sangat muram.
Kutenangkan dia. Aku pura-pura ceria, walau pekerjaanku menjadi
terganggu karena luka di jariku. Bersamaan dngan itu, langit gelap.
Petir-petir membelah keheningan langit sore.
“Gara-gara
aku, aren yang kau kupas jadi hanya sedikit.” Bibir Puji bergerak
kaku, menatapku dengan sendu. Aku berusaha tersenyum, lagi-lagi untuk
menenangkannya.
Aku
tahu, Puji merasa tak enak hati. Kami sebagai pengupas aren, sistem
pembayaranya berdasarkan jumlah buah yang kami kupas. Kata orang upah
kami sangat rendah. Per kilogram upahnya seharga ¼ kilogram beras
termurah. Biasanya, kerja sekitar enam jam kami bisa mengupas bersih
enam kilogram kolang-kaling. Karena jariku luka, aku hanya bisa
mengupas empat kilogram. Tapi, aku tak peduli. Bagiku, yang
penting dapat penghasilan dan aku bersyukur.
Sudah
satu jam hujan mengguyur desa ini, namun tak kunjung reda. Puji yang
telah selesai melakukan pekerjaannya menghampiriku sedang berdiri
dipinggir jendela. Matanya menatap ke arah luar jendela dengan
pandangan kosong.
“Sukma.”
Ia memangggilku.
“Ada
apa? Katakan saja, jika kau ingin bercerita lagi.” Sahutku,
memandanginya.
Puji
diam saja. Matanya tetap kosong melihat lebatnya hujan. Aku
mendesaknya agar ia bicara. Akhirnya Puji membuka mulut perlahan,
“Puji, lihatlah hujan begitu deras. Apakah kita bisa mati karena
hjan deras itu?”
Aku
diam. Puji mendesakku agar menjawab. Tapi, aku tetap diam. Aku tak
suka bicara tentang kematian. Aku suka bicara tentang hidup dan
perjuangannya.
Hujan mulai reda, tapi langit masih tampak muram, semuram wajah kami berdua. Aku menggenggam tangan Puji dan mengajaknya pulang.
“Tunggu! Kamu masih belum menjawab pertanyaanku Sukma.”
Puji melepaskan genggaman tanganku.
“Kita bicara tentang perjuangan hidup saja. Tentang masa depan kita dan orangtua kita.” Jawabku lembut tapi tegas.
Mendengar pernyataanku, mata Puji memerah. Ia memelukku.
“Sudah, kamu jangan bersedih terus. Kau gadis yang kuat, mampu atasi masalah. Kamu harus bangkit. Kubur masa lalumu. Janji yah?” Ujarku meyakinkan Puji sambil menatap matanya, berharap agar tatapanku mengalirkan kekuatan lebih pada Puji. Perlahan, matanya bersinar. Langit memang belum cerah, tapi hujan berhenti tuntas. Puji menggandeng tanganku erat menyusuri jalan basah dan licim, karena diguyur hujan hampir dua jam tanpa henti. Sesekali puji menatap dan tersenyum kepadaku. Aku senang dapat melihat Puji kembali tersenyum.
Hujan mulai reda, tapi langit masih tampak muram, semuram wajah kami berdua. Aku menggenggam tangan Puji dan mengajaknya pulang.
“Tunggu! Kamu masih belum menjawab pertanyaanku Sukma.”
Puji melepaskan genggaman tanganku.
“Kita bicara tentang perjuangan hidup saja. Tentang masa depan kita dan orangtua kita.” Jawabku lembut tapi tegas.
Mendengar pernyataanku, mata Puji memerah. Ia memelukku.
“Sudah, kamu jangan bersedih terus. Kau gadis yang kuat, mampu atasi masalah. Kamu harus bangkit. Kubur masa lalumu. Janji yah?” Ujarku meyakinkan Puji sambil menatap matanya, berharap agar tatapanku mengalirkan kekuatan lebih pada Puji. Perlahan, matanya bersinar. Langit memang belum cerah, tapi hujan berhenti tuntas. Puji menggandeng tanganku erat menyusuri jalan basah dan licim, karena diguyur hujan hampir dua jam tanpa henti. Sesekali puji menatap dan tersenyum kepadaku. Aku senang dapat melihat Puji kembali tersenyum.
Semburat
warna oranye menghiasi langit yang penuh dengan gumpalan awan.
Tenang. Damai. Namun keadaan berputar seratus delapan puluh derajat
ketika aku mendengar bunyi gemuruh air dari kejauhan. Puji semakin
mengeratkan genggaman tangannya. Gemuruh air itu bagaikan hentakan
kaki sepuluh ribu tentara yang siap berperang. Orang-orang
mulai berhamburan berteriak ketakutan. Mereka berlari berusaha
menyelamatkan diri. Apa terjadi tsunami?
Namun tidak mungkin, sebab tempatku berada di daerah
perbukitan. Bunyi gemuruh air itu terdengar semakin besar. Aku dan
Puji segera berlari sekuat tenaga kami. Di kejauhan, aku melihat
gulungan air bak ombak samudra.
Gulungan
ombak itu melahap semua yang dilaluinya. Yang terlintas dipikiranku
hanya, bagaimana caranya aku dan Puji dapat selamat. Tiba-tiba
aku melihat sebatang pohon randu yang berdiri tegak. Kuajak
Puji memanjat pohon randu itu., Kami berdua bergantungan pada
dahannya. Tapi, derasnya air merobohkan pohon. Terdengar jeritan di
sana-sini. Juga jeritan kami yang terombang-ambing arus air bah. Puji
memegangiku erat-erat. Wajahnya sangat pucat. Dan, tiba-tiba ia lepas
dari tanganku, terseret air bah.
“Puji…Pujiiiii…,”
panggilku dan ia lenyap dari pandanganku. Tak seorang pun bisa
menolongnya, karena semua orang sekitarku tergerus musibah. Juga aku.
Aku
terus berusaha menyelamatkan diri. Tapi, di mana gadis jelita
sahabatku – Puji? Dari kejauhan terdengar bunyi nyaring sirine
mobil ambulan. Tampak seorang pemuda dengan pakaian relawan berlari
ke arahku. Ia memasukkanku ke dalam mobil ambulans. Seorang perawat
memberiku selimut. Tapi, di mana Puji? Aku menangis, memanggil
namanya. Orang-orang yang ada di mobil mengatakan, Puji sedang
dicari, juga para kortban lainnya. Ketika sampai di Posko Banjir,
hatiku sedikit lega, karena melihat ibuku selamat. Ia memelukku
hangat Kehangatan bertambah, kala kami mendapat jatah makanan
mie hangat.
Tapi,
di mana Puji? Sampai menjelang pagi, ia belum juga ditemukan. Aku
terus menangisi Puji. Aku tak bisa menikmati makanan yang diberikan
para relawan, juga pertunjukkan boneka yang mereka bawakan untuk
menghibur penghuni Posko Banjir. Bagiku, kehilangan Puji bukanlah
sesuatu yang mudah kulupakan.
Ibuku
menasihatiku, agar aku merelakan kepergian Puji. Tak mudah aku
menerima nasihat ibuku. Aku masih terus berduka, karena pencarian
Puji belum juga berhasil. Padahal, ini pencariana hari ketiga. Hampir
semua korban telah ditemukan dan didata. Jasad Puji tak
kutemukan di antara korba-korban yang tergolek kaku dalam
kantong-kantong mayat. Aku dan ibuku kembali ke rumah.
“Nak
Sukma!” kudengar suara seorang perempuan memanggil namaku. Aku
mengenalinya. Perempuan itu, ibunya Puji – Ibu Manti. Kupersilakan
ia duduk di ruang tamu tamu yang sederhana dan lembab akibat banjir
bandang.
“Apa
kabar, Bu?” sapaku. Ibu Manti hanya menunduk. Kesedihanku tambah
menjadi-jadi. Air mataku terus menetes, melihat perempuan yang
melahirkan Puji itu. Ia pucat, kurus, pandangan matanya kosong. Ia
berdiri menyondong. Kecantikannya terhapus deritanya. Pakaiannya
lusuh. Ia memelukku erat dan menangis panjang. Setelah tangisannya
reda, ia mengambil sesuatu dari saku bajunya, diserahkan
padaku.
“Surat?”
gumamku.
“Iya.
Surat. Surat dari Puji. Untuk saya dan kau, Nak.” Suara ibu Puji
pedih menikam.
Ia
serahkan surat yang ada di tangannya ke dalam genggamku. Surat segera
kubuka dengan tangan gemetar. Hurufnya tampak lamat-lamat karena
kubangan air mataku.
Untuk
ibuku – Ibu Manti yang melahirkanku dan Sukma – sahabatku.
Aku
bukanlah setetes embun di padang pasir. Juga bukan sebuah
pelita di tengah kegelapan. Sebab aku adalah seorang gadis yang
terlahir tanpa restu di bumi ini. Lelaki yang seharusnya menjadi
ayahku, menolakku. Juga, banyak orang yang tak menginginkan
kehadirank, kecuali ibuku. Namun sejak terlahir aku hanya
menambahkan beban derita ibuku. Ibu disingkirkan dari
keluarganya. Ibu juga diusir tetangga dan menggeser kami dari
kota ke desa ini. Aku bosan hidup dalam belenggu permasalahan.
Hanya ibu dan Sukma yang menjadi tempat pengaduanku.
Secarik
surat ini kutulis kala jiwa gundah gelisah. Kapankah berakhir
hidupku? Maka, sebelum jiwaku meninggalkan tubuhku kutulis
permintaan maafku. Selama ini aku sering menyakiti
perasaan ibu, dengan perilakuku yang selalu membisu. Aku juga membuat
Sukma bingung karena aku sering diam jika diajak bicara. Karena, aku
bingung dan selalu bingung. Saat aku mau bicara, aku telah
membuat pekakdan panas telinga Sukma untuk mendengarkan
permasalahanku yang penuh aib. Aku sampah. Aku penuh noda. Aku
membuat banyak orang sengsara dan juga menyengsarakan diriku sendiri.
Aku benar-benar tak tahan. Kapankah hidup berakhir? Akankah mobil
menabrakku atau suatu hari terseret banjir? Banjir berasal dari air
hujan…mungkinkah hujan membunuhku? Aku memunggu melaslui doa-doaku.
Semoga Tuhan memberiku jalan terbaik untuk mati, karena aku pernah
dibunuh ayahku berkali-kali dalam kandungan tapi tidak mempan.
Jika
nanti tubuhku telah melebur menyatu dengan tanah, kuharap ibu dan
Sukma untuk tidak bersedih. Sekali lagi kuucapkan maaf untuk Ibu dan
Sukma. Juga, untuk semua orang yang pernah kusakiti. Semoga
perjalananku kelak lancar dalam menghadapNya. Terima kasih.
Salam
hormat,
Pujiwati
Surat
dari Puji kulipat. Matakuku yang basah mencari bayangannya.*
Joshua
Timothy, Siswa SMPK Ora et Labora Bumi Serpong Damai Tangerang. Ia
tidak hanya gemar menulis cerita pendek, tapi juga menulis puisi.
Karyanya antara lain dibukukan dalam Antologi Prosa-Puisi berjudul
Ketika
Laut Berbicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar