Sabtu, 18 Januari 2014

Sudah Sempurna


Oleh Adreaningsih Rustandi

Berdiri tegak, dagu terangkat, pandangan mata ke depan dan tersenyum. Sempurna!” demikian dia bergumam. Bahkan setiap kali, sebelum hendak membuka sebuah pintu besar sebuah ruangan yang disebutnya sebagai kelas. Rena, gadis periang yang sempurna itu, kembali mengatakan kalimatnya di dalam hati. Dan ketika pintu itu terbuka, semua mata tertuju padanya.
Hai Ren… Pagi!”
Ren, sini gabung.”
Kok baru berangkat? Kita dari tadi nunggu kamu.”
Ya! Dia memang hebat. Pintar, cantik, kaya, punya banyak teman dan hal-hal lain yang membuatnya istimewa. Tapi sebenarnya, dia bukan seperti yang orang lain pikirkan. Bahkan gadis itu membenci apapun tentang dirinya sendiri.
Rena hanya tersenyum dan berjalan menuju arah suara-suara itu datang. “Maaf, bisnya lama.” jawabnya sambil menepuk kedua tangannya di depan wajahnya, diiringi ekspresi menyesal yang mendalam.

Serunai dari Seberang


Oleh Ilham
Prolog
Aku menulis cerita ini ketika hujan baru saja reda dan pucuk-pucuk cemara di halaman belakang masih basah. Ada jengah yang menguasai rasa ketika kalimat pertama kutulis penuh luka. Alangkah indah sesungguhnya kisah kita, Kekasih. Bukan karena peristiwa-peristiwa yang menjalinnya melainkan karena engkaulah yang di mataku begitu indah. Maukah kusingkap tirai sutra yang menyelubung raga hingga kita berkaca tanpa sebuah pun dusta? Ataukah cukup kuberi makna pada tiap-tiap kata agar engkau percaya bahwa tak senoktah pun cela sanggup kusisa.
Begitulah, selaksa kisah sepenuhnya coba kutuang mendedah pedih tidak terkira. Pedih yang niscaya karena engkau tidak kuasa menerima cinta yang mengejawantah. Pula, aku yang tidak pernah menakar rasa sekedar memberimu ruang yang lapang untuk bicara. Jadilah, sejak beku ini tercipta, kita seperti tidak tahu arah. Apakah semua yang sudah kita duga? Apakah yang bisa kita  terka? Semua berubah sehitam jelaga untuk akhirnya pilihan ini demikian duka. Pilihan untuk berpisah tentu tidak kita sangka-sangka.

Serandang Setai Palang Pintu


Oleh Retno Handoko

Mereka yang sekerindangan berfasihat dengan filsafat. Di bangku taman, skala Richter menaris mereka hingga bindam. Matine hebat hening dalam dua detik, yang abad. Mereka repih. Degup di dada mereka, berjibaku begitu gemuruh. Mereka berpeluh bukan di kulit, melainkan di ujung hati yang menderit.
Pria itu menghitung rumput yang terpijak oleh kakinya. “Aku tidak terima.”
Aku tak bisa apa.” Wanita itu menghitung jemari tangannya berulang-ulang.
Apa kita kini?”
Tidak ada.”
Kita masih muda.”
Tidak kata mereka.”
Mereka tahu apa?”
Pun kita sama.”
Tapi kenapa nikah?”
Surgaku yang meminta.”
Surga?”
Ibu.”

Selama Kita Masih Memandang Langit yang Sama


Oleh Safuroh Ahmad
Hei” suara Nada mengagetkanku dari lamunanku.“hayo lagi ngapain pagi-pagi udah ngelamun di jendela, nungguin si itu yah? haha”
Pertanyaannya langsung membuatku memerah layaknya udang direbus.. yah, tapi memang benar apa yang Nada katakan. Saat ini aku berdiri di depan jendela kelas – tepatnya setiap pagi, sebelum pengajian pagi dimulai – hanya untuk melihat Ashfar kembali ke kelas usai membereskan masjid sekolah.
Siapa yang tak kenal Ashfar, sang ketua risma yg begitu ramah, sholeh, menyenangkan dan agamis. Dari mulai guru, staff TU, satpam sekolah, orang kantin, siswa-siwa, sampai tukang sapu sekolah pun mengenalnya. Sebenarnya jika dilihat dari fisik, tidak ada yang istimewa darinya, dia tidak tampan, tidak putih, juga tidak kaya.Namun hampir di setiap kelas ada wanita yang mengaguminya. Mereka menyukainya bukan karena fisik, lebih dari itu karena Ashfar sosok yang mempunyai kharisma dan aura tersendiri, siapa saja yang melihatnya pasti akan jatuh cinta padanya dengan keteduhan wajahnya.

Pertarungan


Oleh Ilham Q. Moehiddin 
Kepala Nungku seakan mau pecah, saat darah mengalir cepat dari ribuan pembuluh di tulang belakangnya. Telapak dan jemarinya panas, perih tergesek tali pancing. Bebuku jemarinya pun terasa ngilu. Perutnya geli. Ombak menggulung berlapis, menyeret perahu kecil itu kemana-mana, dihantam air dari segala arah, bikin lambungnya bergolak dan isinya serasa hendak tumpah.
Di tengah deru badai, nelayan muda itu bertahan. Ia membatin: demi Tuhan yang hidup dan matiku di tangan-Nya, sekarang bukan waktunya untuk menyerah.
Sebaiknya pakai perahu kakakmu saja, Nung. Mesinnya lebih besar dan kuat.” Begitu saran Maulida pada Nungku, sebelum ia melaut subuh kemarin. Saran ibunya itu kini terngiang-ngiang lagi di anak telinganya.
Bukannya Nungku tak mau mengindahkan saran itu. Dalam cuaca yang cerah, perahu kecil pun bisa mengarungi laut yang tenang begitu. Sedari kecil hingga jadi pemuda begini, ia diajari untuk percaya diri saat melaut sendirian. Kulitnya legam, juga karena terpanggang teriknya matahari di laut. Segala bengkak, memar, dan retak di belulangnya, juga pengalaman yang membenam di benaknya, tak ia dapat dari sekadar melihat.
Nungku memang harus membuktikan sesuatu.

Retaknya Cangkang Yuyu


Oleh Mecca Yumnaning Prisie

     Babe menghentikan bacaannya, membaca koran. Matanya menatap tajam kepada  anak gadisnya, yang berdiri   di depannya.
Lu mau ngeluarin duit segitu banyak cuma buat gaya-gayaan? Dengan harga semahal itu Babe bisa buka warteg baru!” seru Babe, yang suka bicara gaya Betawi.
Mulut Yuyu membentuk kerucut. Otaknya diputar, mencari kalimat yang tepat, untuk mendebat perkataan ayahnya.
Babe, ini zaman modern. Semua temanku keren, lha aku? Babe mau anaknya dibilang ketinggalan zaman?” Bantah Yuyu, tapi nadanya persuasif.
Babe diam. Memang benar kata anak gadisnya. Tapi, tak lama kemudian ia  angkat bicara, berusaha sesabar mungkin.
Bukannya Babe gak mau keluar duit. Cuma Babe mikir,  lu kan masih sekolah. Lu harus fokus belajar dulu lah. Urusan penampilan bisa diurus belakangan, kalo  sekolah lu  udah selese. Memang mau lu dapat laki  ganteng tapi tolol?”

Mencari Bayangan Puji


Oleh Joshua Timothy
Cahaya lampu minyak menerobos  bola mataku, membuatku tersentak. Aku terbangun,  aroma rempeyek teri menggeletik  hidungku dan  menuntunku ke  dapur tempat ibuku memasak. Cipratan minyak panas menyambut kedatanganku,  di dapur sederhana ini. Dengan cekatan,  ibuku menggoreng adonan tepung rempeyek teri kedalam wajan. Aku tak larut  menyaksikan ibuku. Dengan pisau di tangan, aku mulai memotong sayuran yang akan jadi  pecel, setelah direbus dan disajikan dengan bumbu kacang.
*
Fajar mengantar pagi. Aku dan ibuku bergegas  menuju pasar. Rempeyek teri, pecel, kue bugis, dan kue nagasari telah tersusun rapih didalam keranjang kami bawa bersama. Kicauan burung dan hemusan angin pagi angin mengiringi perjalanan kami. Aku pun terbuai oleh suasana, sampai tak sadar jika aku sudah berada di pasar. Simfoni alam yang indah bergantikan hiruk-pikuknya keramaian pasar. Aku dan ibu menuju lapak tempat kami berdagang. Hanya beberapa menit kemudian, para pembeli pun berdatangan. Makanan masakan ibuku  memang selalu diburu pelanggannya. Tak sampai berjam-jam, dagangan ibuku habis, laris manis. Lapak segera dibereskan. Ibuku berbelanja untuk berjualan esok harinya dan aku pulang ke rumah membawa keranjang dan peralatan dagang.

Mejikuhibiniu


Oleh Irma Kurniasih
            “Benarkah putih itu sebenarnya bukan warna? Melainkan spektrum di mana seluruh warna diwakilkan kehadirannya. Ya! Seluruh warna, contohnya Mama, Papa, orang itu, dan orang-orang lain dengan warnanya masing-masing. Pernahkah tersadar bahwa keberadaan mereka sangat berharga?”
Abu-abu kehitaman yang melunturkan cerah di awan masih belum puas membuat kami tidak bisa berfotosintesis. Bulir-bulir air mata langit berlomba-lomba menuju titik gravitasi dan menyisakan lapisan mendung di ruang bumi. Aku berpura-pura mengabaikan hujan yang mempermainkan suhu. Membiarkan rinainya membasahi tubuh hijauku yang hanya sehelai dan bergantung pada ranting. Aku menoleh ke arah teman-temanku yang lain. Mereka kuyu. Sebagian sudah berguguran. Sebagian sudah menyatu dengan tanah, menjadi daun kering yang perlahan akan terurai, lalu mati untuk ke sekian kalinya karna terinjak oleh kaki-kaki manusia. Kebisingan hujan memekik, mengelupasi panik, dan menghantamkan sarcasme ke jalan sepi dengan bentuk relief menurun tempat pohon kami tumbuh di tepian.

Rabu, 15 Januari 2014

Lelaki Pohon


Oleh Sugiarti
Ia tak ubahnya pohon. Meliuk ke sana ke mari menyambangi kami, saban hari. Dari pagi yang menguning hingga langit memerah di sebelah barat. Kulitnya legam, meski sebenarnya ia bekerja di ruang-ruang yang teduh. Tapi ia tak sempat merawat kulitnya. Walau, sekadar mengusapkan spoon ke tubuh. Apalagi memakai lulur bermerk mahal. Tidak. Dia  membiarkan kulitnya hitam mengeras, dijalari urat-urat beton varises di sebagian kakinya. Tangannya lebih mirip amplas. Meski tangan itu kami akui sebagai satu-satunya tangan paling rajin di tempat ini. Di pandangan kami dan di pandangan setiap mata yang pernah menatap tangan itu.
Kami menjulukinya Lelaki Pohon. Bukan lantaran postur tubuhnya yang menjulang melampaui dahan-dahan yang menyerempet mengenai tubuhnya, tidak. Tetapi, karena kami telah bersepaham, lelaki itu telah menyatu dengan kehidupan kami. Sejak dulu, sejak awal kampung kami dibangun. Ia telah menunggui kami, dari semenjak pagi, siang, petang, malam bahkan. Orang-orang tak ada yang seperti dia. Entah karena mereka yang malas atau pun pria itu yang terlampau rajin, kami tak peduli. Yang jelas, dia telah menunggui kami, setia dan sangat setia.

Lelaki Berkubang Air Mata


Oleh Bambang Kariyawan Ys
Diam. Menakung di lekuk fajar. Lelah menjemput singgasana. Saat rembulan rebah air mataku selalu menampung. Dua telapak tangan ini menggenangi air mata yang menetes dari tepian sungai mataku. Tumpah, membanjiri lantai yang gamang kupijak. Aku mencoba melawan gamang dengan tersenyum pada siapa saja yang memandangku dengan luka. Tapi tebaran senyum yang kupaksakan menjadi bumerang ke sudut lukaku. Terasa perih tertanam di liang luka setiap bibir ini ingin memberikan penjelasan. Susunan huruf yang kususun rebah berkecai di hamparan kalimat-kalimat rancu. Bahasa bicaraku kehilangan struktur agar aku bisa menjelaskan mengapa air mataku tak mampu kuasa kubendung.
“Aku lelaki kalah.”  Partikel dan senyawa kekalahan itu menjalar bebas dalam aliran darahku. Lunglai. Pasrah tergulung air mata yang membusuk. Bau menusuk pori-pori yang tersumbat aroma hampa. Sunyi menusuk gendang telinga yang rumit mengalir melalui labirinnya. Tak satu pun kesunyian itu yang bisa kutangkap agar kekalahanku tidak semakin membangkai. Jijik. Lendir menyisakan belatung yang menarikan jentikan. Mual.

Sabtu, 11 Januari 2014

Kabut Masa Silam


Oleh Budi Saputra
Sebuah pagi, sebuah hari dengan udara dingin yang terasa lembab dalam diriku. Jatuhan tetes gerimis selepas subuh, mengingatkanku tentang timbunan musim hujan masa lalu. Tentang musim dimana burung-burung kedinginan di balik jendela. Begitu murung, begitu bergegas segalanya tentang yang kau sebut hidup. Dengan mengenakan jaket dingin yang lusuh, aku kembali menyusuri jalanan ini. Betapa kulalui dengan tabah, dengan jalan usia yang entah kapan berakhir atau remuk.  Rumah-rumah penduduk, daun-daun yang berguguran karena diterpa badai, dan langkahku yang tergesa di jalan licin ini.  Kulewati sebuah rumah kayu dengan warna cat kecoklatan itu. Rumah yang begitu murung. Wajah itu, suara itu, betapa pedih hidup mengalir. Mengalir bagai sungai dengan segala isinya, yang kemudian  berakhir  di  sebuah muara.
Menjelang langkahku sampai di stasiun, wajah itulah senantiasa terpana menatapku. Di tengah gerimis mengalir deras, samar-samar wajah  Buk  Rinah  tampak duduk terpaku di teras itu. Aku kadang tak kuasa menahan air mata hingga aku duduk terpaku atau terpaksa berdiri di sebuah gerbong yang padat. Kuingat wajah ibu di rumah, ibu yang  semakin tua di dapur. Menyambung hidup membuat penganan kecil-kecilan, dan dibawanya di sebuah sekolah  dasar  tempat  Naila  menimba  ilmu.

Jerit Sunyi Kumbolo


Oleh Nabilla Nailur Rohmah

Aku takut menyadari, kau satu-satunya manusia yang dapat melihat merah memar di ujung bibirku. Bukan karena aku tak ingin menampakkan luka ini, tapi bagaimana jika kau pergi? Aku tahu kau harus pergi pada akhirnya, sedang aku hanya akan terus di sini, menggenangi rumah kawah yang tak lagi berapi.
Hari ini kali keduanya kau bersinggah di pelataranku. Seperti tiga hari yang lalu, kau  memilih diam dalam petang. Kau tak peduli, meski langit tak bergemintang. Aku tahu kau tak benci api. Kau hanya takut nyala api itu akan semakin membakar bibirku, kan?
Kau bisa melihat luka ini, kan? Tidakkah kau merasa jijik? Bukan hanya memar di bibir, luka di tepi-tepinya berdarah dan tak lekas kering, sehingga sampah kotoran yang melintasinya akan menempel melayang-layang. Andaikan saja mereka tahu, betapa berat bagiku harus menyungging senyum bersama dengan kotoran-kotoran yang menempel pada bibirku ini.
Kian hari bibirku kian lebam. Bukan hanya lebam, tapi luka di tepi-tepinya telah membusuk. Ada aroma nanah yang menyeringai, bersaing dengan bau busuk sampah dan kotoran yang masih menempel di atas luka yang membangkai.

Cinta Gandhari


Oleh Haryas Subyantara Wicaksana
               Kau cinta Gandhari, sejak ia mati.
Debu-debu nisannya menghadiahimu nelangsa. Segelintir kerabat menyemai kamboja. Segelintir pelayat hilang hiba. Wangi mori gadis itu merias ganjil wewajah duka. Bagaimana Izrail bisa begitu tergesa-gesa? Segelintir pikirmu lengang bertanya. Gandhari ke akhirat. Tanpa terkapar sekarat. Tanpa berkabar firasat.
Gendhuk Gandhariku, anakku yang pramesthi1 telah moksa! Tidurnya abadi tadi malam. Persis sewaktu ibunya menutup usia. Di tujuh hari selepas kepergiannya, hendak kupentas lakon ‘Kidung Malam’. Adegan kesukaan mendiang istriku, sebagaimana Gandhari menyayanginya, ketika Destarastra mempersunting nasib kelam.” ungkap Ki Sriono, sang dalang kondang. Nadanya terbang. Sinar matanya runtuh berulang-ulang. Bibir tuan wayang itu ranggas. Kaku. Kau tegas tak setuju. Moksa bukankah lenyap nyawa lenyap raga. Sedang Gandhari tak musnah jasmani. Kaujumpai anomalinya terakhir kali. Cantiknya padam. Dekik pipinya bagai kemarau panjang.

Bebas


Oleh Nabila Gita Andani
            Aku terlahir sebagai seseorang yang selalu berusaha mencari eksistensi kebebasan.
Oke, tepatnya bukan terlahir mungkin, melainkan terbentuk menjadi. Sejak kecil, aku dididik dengan cara-cara tradisional ala Zaman Penjajahan. Indonesia sudah merdeka selama 67 tahun, tapi aku tak pernah merasakan sejuknya kemerdekaan, indahnya melepaskan diri, maupun kenikmatan hidup bebas.
Aku dijajah oleh pikiranku sendiri. Juga oleh pikiran orang lain.
Matahari baru beranjak dari peraduannya, dan langit seolah menarik awan-awan ke dalam pelukannya. Aku membuka jendela besar yang ada di dekat ruang keluarga, lalu menarik napas dalam-dalam, menikmati saripati bumi yang berfusi dengan udara. Mengingat ini  hari libur,  bisa dipastikan akan menjadi hari yang sempurna. Aku mengambil toples berisi biskuit, lalu duduk di sofa dan menyalakan televisi. Aku menyaksikan acara kesukaanku, ketika tiba-tiba Mama menghampiriku, duduk di sebelahku. “Sarah, kamu ngapain sih, nonton gituan melulu. Apa itu, anime atau apalah. Cari yang bermutu dong, yang bermisi pendidikan,” Mama mengambil remot televisi yang ada di meja. Mulutku terlalu penuh dengan biskuit dan aku hanya dapat melambaikan tanganku keras-keras, yang merupakan: “Jangan diganti channel-nya! Lagi seru!”